Langkah Denta berhenti tepat di depan pintu putih mengilap dengan ukiran khas Pratama Hotel. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk dua kali—pelan, sopan, tapi cukup untuk terdengar oleh orang-orang di dalam ruangan. Tak lama, pintu terbuka sedikit dan menampakkan wajah seorang perempuan yang sudah sangat dikenalnya. “Ada apa?” tanya Salina dingin. Mata teduhnya menyipit curiga. Denta mengangkat alis. “Kalia ngapain, Mbak? Bisa masuk enggak?” tanyanya, mencoba tetap ramah walau nada Salina jelas tak bersahabat. “Emang sama Uncle Ad udah disuruh ke sini?” Salina bertanya balik, alisnya terangkat. Denta mengerutkan kening. Dalam hatinya mengumpat. Kalau aku udah sampai sini, ya berarti disuruh lah, Mbak… duh! “Kalau aku udah di sini berarti paman Adrian udah nyuruh dong, Mbak,” gu

