Kalia terbangun dengan napas memburu, seolah paru-parunya baru saja diberi nyawa kembali setelah lama tenggelam dalam kehampaan. Matanya terbelalak, pandangannya buram oleh sisa air mata dan cahaya putih yang menusuk dari langit-langit ruangan. Napasnya tersengal. Tubuhnya lunglai, tapi jantungnya berdetak begitu cepat, seperti sedang melarikan diri dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Tangannya, yang terpasang infus di sisi kiri, langsung ia tarik dengan kasar. Nyeri yang menjalar tak sebanding dengan rasa panik yang mencengkeram dadanya. Ia terduduk dengan tubuh gemetar, matanya bergerak liar. “Mas Denta…” Isak tangis itu pecah begitu saja, nyaring dan penuh luka. Suara Kalia menggema di dalam kamar, menggetarkan udara dengan kepedihan yang terlalu dalam untuk dijelaskan. Rere yang d

