Bab 14 : Biar seperti ini dulu, Sal

1270 Kata
Salina melangkah masuk ke ruangan suaminya tanpa mengetuk, langsung menuju meja kerja pria itu dengan langkah cepat dan mata yang menyala. Dante mendongak sekilas, sama sekali tidak terkejut dengan sikap istrinya. Sudah biasa. Bedanya, kali ini Salina terlihat lebih agresif dari biasanya—seakan dalam mode senggol bacok. "Kenapa lo gak bilang kalau saham perusahaan turun?" suara Salina meluncur tajam, langsung ke intinya. Dante tetap tenang, meletakkan pulpen di atas dokumen yang sedang ditandatanganinya. "Bukannya kamu sudah tahu?" tanyanya datar. Salina mendengus. "Ya, kan seharusnya lo bicara sama gue! Untung gue bisa jawab pertanyaan lo tadi!" Padahal sebenarnya, Salina sama sekali tidak tahu soal penurunan saham itu. Namun berkat semua yang telah dia pelajari selama ini—terutama dari Dante—setidaknya dia tahu bagaimana harus bersikap. Dante mengernyit tipis, lalu menatap istrinya dengan intens. Sejenak, sudut bibirnya melengkung membentuk seringai tipis. "Jadi?" tanyanya dengan nada menantang. Salina mengembuskan napas kasar. "Ya lo bilang ke gue, jelasin semuanya!" Dante mengangguk. "Oke." Lalu tanpa peringatan, pria itu menarik pinggang Salina dengan satu tarikan kuat. Salina terkejut, nyaris memekik ketika mendapati dirinya kini terduduk di pangkuan suaminya. Tubuhnya menegang seketika. Sial, ini pertama kalinya Dante melakukan ini. Jantungnya langsung berdebar tak karuan. Hawa panas dari tubuh Dante menembus pakaiannya, membuatnya semakin panik. "Dante! Apa-apaan sih lo?" serunya sambil berusaha bangkit. Tapi pria itu tidak bergeming. Tangan besarnya mencengkeram erat pinggang ramping Salina, menahannya agar tidak ke mana-mana. Mata tajam Dante menatap wajah istrinya yang mulai memerah, menikmati bagaimana wanita itu gelagapan di pangkuannya. Sementara Salina merasa paniknya semakin menjadi-jadi. Kenapa jarak mereka bisa sedekat ini?! Dan sebelum dia bisa melakukan apa pun, Dante kembali bergerak—mengangkat tubuhnya sedikit, membuatnya kini benar-benar menghadap ke arah pria itu. Kini, Salina dan Dante berhadapan langsung. Brengsek! Ini terlalu dekat! Tubuhnya terasa membeku. Kedua tangannya kini bertumpu di d**a bidang Dante, menciptakan sedikit jarak. Tapi tetap saja, dia bisa merasakan panas tubuh pria itu dengan jelas. Mata hitam Dante tetap menatapnya lekat, seolah mengamati setiap detail ekspresinya. Salina menggigit bibir, menelan ludah dengan susah payah. "Dante, lepasin!" desisnya dengan suara lebih pelan dari yang dia maksudkan. Tapi Dante tidak peduli. Tangan besarnya tetap berada di pinggang istrinya, menahannya dengan kokoh. Hingga akhirnya, dengan suara rendah dan dalam, dia berbisik, "Dengar baik-baik, Salina. Saya ini suamimu. Sudah saatnya kamu mulai menerima itu." Salina semakin gelisah. Sial! Kenapa Dante yang selama ini dingin dan jauh, sekarang berubah jadi lebih mendominasi?! Dan kenapa, di balik kemarahannya, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai goyah? Salina menggeram kesal dalam hatinya. Bagaimana bisa dia terjebak dalam posisi seperti ini? Dadanya berdegup begitu cepat, seolah jantungnya ingin melompat keluar. Napasnya terasa pendek dan tidak teratur, bukan hanya karena posisi mereka yang begitu dekat, tapi juga karena tatapan Dante yang begitu intens, begitu mendominasi. Sementara itu, Dante hanya diam. Menikmati momen ini. Tangan besar pria itu tetap menggenggam pinggang rampingnya erat, menahan agar Salina tak bisa kabur dari pangkuannya. Sementara Salina, dengan kedua telapak tangannya yang bertumpu di d**a bidang pria itu, berusaha menciptakan jarak di antara mereka. Sia-sia. Sebesar apa pun usahanya, Salina tetap berada di sana. Dalam kurungan tangan Dante, dalam perangkap yang diciptakan pria itu. "Dan, lepas! Ini di kantor!" desisnya, berusaha terdengar tegas, meski suara hatinya sendiri bergetar. Dante hanya mengangkat sebelah alisnya, lalu membalas dengan nada santai. "Jadi kalau tidak di kantor, tidak masalah?" Salina memutar bola matanya. "Lo sinting, Dan. Lo nggak boleh kayak gini. Gue udah minta talak sama lo!" Dante mendengus pelan. Sekilas, dia tampak bosan dengan ucapan Salina yang terus-terusan mengungkit soal perceraian. Sungguh, wanita ini keras kepala sekali. "Tapi saya tidak mengucapkan talak itu," jawabnya datar, tapi penuh keyakinan. "Jadi kamu masih sah sebagai istri saya." Salina mencibir sinis. "Tapi gue nggak mau! Gue mau lo lepasin gue sekarang juga!" Namun Dante, alih-alih menuruti permintaan istrinya, justru semakin mengeratkan cengkeramannya. "Saya yang tidak mau." Salina menatapnya tajam. "Bener-bener sinting lo." Alih-alih tersinggung, sudut bibir Dante justru tertarik ke atas. "I know. And it's because of you." — Dante menarik napas panjang, lalu tanpa peringatan, dia membenamkan wajahnya ke ceruk leher Salina. Seolah menemukan tempat yang nyaman, pria itu menghirup aroma lembut yang khas dari kulit istrinya. Aroma yang dulu tidak pernah dia pedulikan, tapi kini terasa begitu memabukkan. Salina membeku. Napasnya tersangkut di tenggorokan, otaknya kosong dalam sekejap. Jari-jarinya mengepal, mencoba untuk tetap bertahan dalam kesadarannya, tapi usahanya sia-sia. Tubuhnya terlalu sadar akan panas yang dipancarkan Dante. Dan brengseknya, dia tidak bisa menolak bahwa ini terasa… nyaman. Andai saja sejak dulu Dante seperti ini… Andai saja mereka tidak memulai pernikahan dengan segala kepahitan dan ego masing-masing. Salina menggigit bibirnya. Ini salah. Dia tidak boleh terjebak dalam perasaan seperti ini. "Dan, cukup..." bisiknya lirih. Dante tidak langsung merespons. Pria itu hanya diam di sana, menikmati kehangatan yang lama tidak dia rasakan. Lalu dengan suara rendah, hampir seperti gumaman, dia berkata, "Biar seperti ini dulu, Sal." Salina menelan ludah. Mereka sama-sama terluka. Sama-sama terjebak dalam hubungan yang awalnya hanya sekadar perjanjian. Tapi mengapa rasanya semakin sulit untuk berpaling? Mengapa rasanya semakin sulit untuk membenci pria ini? Diam-diam, di dalam dadanya, ada sesuatu yang mulai retak. Sesuatu yang selama ini dia coba pertahankan—benteng yang melindunginya dari Dante. Tapi semakin pria itu mendekat, semakin pertahanannya runtuh perlahan. *** Senja mulai menyapa ketika Salina akhirnya tiba di kafe milik Aidan. Langit sudah mulai meredup, dan lampu-lampu jalan mulai menyala, memberikan suasana temaram yang menenangkan. Di sudut kafe yang lebih privat, Kalia sudah duduk santai dengan secangkir kopi di depannya, sementara Aidan berdiri di belakang meja bar, tampak sibuk mengutak-atik sesuatu. Begitu melihat Salina masuk, Kalia melambai dengan senyum. "Lama banget, Lin! Gue kira lo batal datang." Salina mendesah sambil melepas blazer yang dikenakannya, lalu duduk di kursi kosong di hadapan sahabatnya. "Jangan tanya, hari ini gue udah naik roller coaster emosi," gumamnya sambil meraih menu. Aidan, yang baru saja selesai meracik minuman, mendekat dan meletakkan satu gelas es kopi di depan Salina. "Kayaknya lo butuh ini," ujarnya sambil menyeringai. Salina melirik minuman itu, lalu menatap Aidan curiga. "Lo udah ngapain sama kopi gue?" Aidan tertawa. "Gue nggak sejahat itu, Lin. Itu favorit lo, es kopi hazelnut, kurang gula." Salina akhirnya tersenyum tipis dan menyeruput minumannya. Begitu rasa pahit manis itu menyentuh lidahnya, sedikit ketegangan dalam tubuhnya mulai mengendur. "Jadi, tadi katanya lo naik roller coaster emosi?" Kalia mengangkat alis, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Salina mendesah panjang. "Dante." Kalia dan Aidan langsung bertukar pandang. "Lagi-lagi suami lo," Aidan berkomentar sambil melipat tangan di d**a. "Lo tuh sebenernya benci banget sama dia atau gimana, sih?" Salina mengusap wajahnya. "Gue juga nggak tau, Dan. Kadang gue benci, kadang gue…" Dia menggigit bibir, enggan menyelesaikan kalimatnya. Kalia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kadang lo apa?" desaknya. Salina diam sebentar, memainkan sedotan dalam gelasnya. "Kadang gue ngerasa… kayak gue nggak bisa lepas dari dia," ucapnya akhirnya dengan suara pelan. Kalia mengangkat alis tinggi-tinggi. "Wow, ini baru perkembangan." "Maksud lo?" "Lo selama ini selalu ngotot bilang kalau pernikahan lo sama Dante itu cuma bisnis. Tapi denger deh cara lo ngomong barusan, Lin," Kalia tersenyum penuh arti. "Kayak ada yang berubah." Salina langsung mendengus, berusaha menyangkal. "Gue cuma… capek aja. Hari ini dia bener-bener ngeselin. Tau-tau narik gue duduk di pangkuannya di kantor, terus ngomong seolah-olah gue istrinya beneran." Aidan yang sedang minum hampir tersedak. "Wait, what?! Dante narik lo duduk di pangkuannya?! Di kantor?!" Kalia ikut melongo. "Holy— Lo serius, Lin?" Salina mengangguk. "Lo tau kan betapa brengseknya dia? Selama ini dia dingin dan nggak peduli, tapi tiba-tiba dia berubah. Gue nggak ngerti apa maunya!" Aidan terkekeh. "Kayaknya suami lo mulai sadar kalau dia punya istri, deh." Salina mencibir. "Telat."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN