Bab 15 : Too Little, Too Late.

1434 Kata
Salina menggenggam gelas es kopinya erat, jemarinya terasa dingin bukan hanya karena suhu minuman itu, tetapi juga karena perasaan yang bergejolak di dalam dadanya. Matanya menatap kosong pada cairan di dalam gelas, seolah-olah sedang mencari jawaban di sana. "Dua hari yang lalu, gue kasih surat cerai ke Dante," ucapnya akhirnya, suaranya terdengar tenang, tapi ada luka yang tersembunyi di balik nada itu. Kalia terkejut, sementara Aidan yang sedari tadi mendengarkan hanya menatap Salina dalam diam. "Lo serius, Lin?" tanya Kalia, mencondongkan tubuhnya ke depan. Salina mengangguk. "Gue udah capek, Kal. Gue udah nggak bisa bertahan dengan keadaan kayak gini terus. Gue dan Dante… kita nggak pernah benar-benar jadi suami istri. Dia selalu menjaga jaraknya, gue juga." Dia mendesah, meneguk sedikit kopinya sebelum melanjutkan, "Jadi buat apa dipertahankan?" Kalia terdiam, tak langsung menjawab. Di sampingnya, Aidan menghela napas pelan. Ada sesuatu yang menghimpit dadanya saat mendengar pengakuan Salina. Dia pernah ada di kehidupan wanita itu dulu. Pernah menjadi seseorang yang penting baginya, sebelum dia sendiri yang memilih mundur. Dan sekarang, melihat Salina berbicara tentang perceraiannya, Aidan tidak bisa menahan perasaan menyesal yang kembali menghantamnya. "Lin… lo beneran yakin sama keputusan lo?" suara Aidan terdengar lebih berat dari biasanya. Salina menoleh ke arahnya, menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk. "Iya, Dan. Gue nggak mungkin terus-terusan kayak gini." Aidan tersenyum kecil, meski ada kepedihan yang tersirat di dalamnya. "Gue nyesel." Salina mengernyit. "Nyesel kenapa?" Aidan menatap ke arah luar jendela, seakan sedang memilih kata yang tepat. "Karena gue dulu terlalu pengecut buat memperjuangkan lo." Suasana di antara mereka mendadak sunyi. Kalia menatap Aidan dengan sorot terkejut, sementara Salina hanya diam, membiarkan pernyataan itu menggantung di udara. Di dalam hatinya, Aidan tahu dia tidak punya hak untuk berkata seperti itu. Dia yang dulu melepas Salina, memilih pergi daripada memperjuangkan hubungannya. Dan sekarang, wanita itu sedang berada di ambang kehancuran pernikahannya dengan pria lain. Mungkin ini yang namanya too little, too late. Salina tersenyum kecil, tapi bukan senyum bahagia. "Kita semua punya penyesalan, Dan. Tapi yang udah lewat, ya udah." Aidan menatapnya dalam. "Lo bahagia?" Salina tidak langsung menjawab. Dia menunduk, memainkan sedotannya sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Gue nggak tau." Dan itu adalah jawaban yang paling jujur yang bisa dia berikan saat ini. *** Dante melangkah masuk ke mansion Bramasta dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Biasanya, rumah ini memberinya ketenangan, tempat di mana ia bisa melepas lelah dari dunia bisnis yang menuntut. Namun malam ini, rumah ini terasa lebih sesak dari biasanya. Di ruang tengah, Papi Bram dan Maminya, Rere, sudah menunggunya dengan wajah serius. Dante tahu, topik pembicaraan malam ini hanya satu: Salina dan surat cerai yang diberikan istrinya dua hari lalu. Begitu melihat putranya masuk, Rere langsung bersedekap. "Akhirnya anak Mama pulang juga," suaranya terdengar dingin. "Sekarang jelasin, Dan. Apa yang kamu lakukan sampai Salina berpikir untuk menceraikan kamu?" Dante mendesah pelan, menatap mamanya yang jelas-jelas lebih memihak Salina saat ini. "Ma, bisa kita bicara tanpa harus langsung menghakimi? Saya nggak akan ninggalin Salina, saya nggak akan tanda tangan surat cerai itu." "Oh? Kamu nggak mau cerai, tapi kamu juga nggak pernah bersikap layaknya suami ke istrimu!" Rere menyergah cepat. Matanya tajam menatap Dante. "Apa kamu kira pernikahan bisa bertahan kalau cuma ada nama di atas kertas?" Dante terdiam. Ia tahu, mamanya benar. Papi Bram yang sedari tadi diam akhirnya ikut bersuara, suaranya tenang tapi penuh wibawa. "Dante, Salina mungkin nggak bicara banyak ke kami, tapi dari tatapan matanya, dari cara dia bicara, Papa tahu dia lelah. Dia mungkin nggak meminta banyak dari kamu, tapi kalau kamu terus menjaga jarak seperti ini, apa yang kamu harapkan?" Dante menekan pelipisnya, mencoba mengendalikan emosinya. "Saya nggak bermaksud menjauh dari dia, Pa. Saya hanya… terbiasa sendiri. Saya butuh waktu." Rere mendecak. "Waktu? Dan, kalian sudah menikah lebih dari setahun! Sampai kapan kamu mau butuh waktu? Sampai Salina benar-benar pergi dan nggak bisa kamu kejar lagi?" Dante mengepalkan tangannya. Itu hal yang paling tidak ia inginkan. "Dengar, Nak," suara Papi Bram terdengar lebih lembut sekarang. "Kalau kamu benar-benar nggak mau kehilangan Salina, lakukan sesuatu. Perbaiki semuanya sebelum terlambat." Dante menatap kedua orang tuanya dalam diam. Jauh di dalam hatinya, ia tahu… inilah saatnya. Entah bagaimana, ia harus mendapatkan kembali kepercayaan istrinya sebelum semuanya benar-benar berakhir. Dante duduk di sofa ruang tengah, kepalanya tertunduk dalam. Rasa sesak di dadanya semakin berat ketika mendengar suara tegas Papi Bram yang mengingatkan masa lalu. "Dante, kamu ingat dua tahun lalu, siapa yang datang ke hadapan Papa dengan penuh keyakinan? Siapa yang meminta izin untuk menjadi wali Salina? Itu kamu, Dan. Kamu sendiri yang meminta menikahi Salina agar bisa melindungi dia dan Pranata Group." Dante mengatup rahangnya. Tentu saja dia ingat. Saat itu, Pranata Group berada di ambang kehancuran setelah kepergian Arhan Pranata. Salina yang masih terlalu muda untuk memegang kendali dikelilingi oleh orang-orang yang hanya ingin memanfaatkan situasi. Dante, yang saat itu sudah memiliki peran besar di dunia bisnis, melangkah maju. Dengan penuh keyakinan, dia mengatakan pada Papi Bram bahwa dia akan menikahi Salina—bukan hanya untuk menjaga perusahaan, tetapi juga menjaga Salina sendiri. "Saya akan bertanggung jawab, Papi. Saya akan pastikan Salina tetap berdiri. Saya akan melindungi dia dengan cara saya." Itulah janjinya kala itu. Namun sekarang, melihat situasi yang ada, Papi Bram menatapnya dengan sorot kecewa. "Kalau tahu kamu akan memperlakukan Salina seperti ini, Papa nggak akan pernah menyerahkan dia ke kamu, Dan. Kamu tahu bagaimana Salina dulu? Dia gadis yang ceria, punya semangat yang tinggi. Sekarang? Dia hanya bertahan. Dan itu semua karena kamu." Dante mengepalkan tangannya. Ia tahu, setiap kata yang diucapkan Papi Bram benar adanya. Dari samping, Rere menghela napas panjang. Tatapan matanya bukan sekadar kecewa, tapi juga terluka. "Dante, Mami bisa memahami kalau kamu ingin menghargai Salina. Tapi kamu sadar nggak, cara kamu justru menyakiti dia? Menghormati itu bukan berarti menjauh, bukan berarti mengabaikan perasaannya." Dante menutup matanya sejenak, seakan mencoba menahan semua emosi yang bergejolak dalam dirinya. Benar. Ia yang meminta Salina. Ia yang berjanji akan menjaga istrinya. Tapi selama ini, apa yang dia lakukan? Membiarkan dinding tinggi tetap berdiri di antara mereka, seolah-olah pernikahan ini hanya formalitas. Kini, Dante sadar. Jika dia tidak bertindak, Salina benar-benar akan pergi dari kehidupannya. Dan saat itu terjadi, mungkin tidak akan ada kesempatan kedua. Dante menyandarkan kepalanya ke sofa, matanya menerawang ke langit-langit. Kata-kata Papi Bram dan Maminya terus terngiang di kepalanya. "Menghormati itu bukan berarti menjauh atau memberi jarak" Sialan. Apakah selama ini dia benar-benar telah menyakiti Salina tanpa dia sadari? Atau sebenarnya dia sadar, tapi terlalu pengecut untuk mengakui bahwa dia takut kehilangan kendali? Dante mengusap wajahnya dengan kasar. Pikirannya terlalu penuh. Sementara itu, Papi Bram masih menatapnya dengan sorot tegas, sedangkan Mami Rere menghela napas lelah. "Apa kamu benar-benar ingin kehilangan dia, Dan?" tanya Mami Rere, kali ini dengan nada lebih lembut, lebih keibuan. Dante mengangkat kepalanya, menatap sang mama dalam-dalam. Kehilangan? Kata itu terasa menyesakkan di dadanya. Dia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu secara nyata. Salina selalu ada di sana—meski dengan sikap dingin dan penuh kemarahan belakangan ini, tapi dia tetap berada di sisinyai? Jika Dante tetap bersikeras menutup dirinya, Salina benar-benar akan pergi. "Apa yang harus saya lakukan, Ma?" Itu pertama kalinya Dante terdengar begitu pasrah. Papi Bram dan Mami Rere saling bertukar pandang. Lalu, dengan nada tegas, Papi Bram berkata, "Mulailah dengan memperjuangkannya. Karena kalau tidak, kamu akan menyesal seumur hidupmu." Dante menghela napas panjang. Ada banyak hal yang perlu dia lakukan. Tapi satu yang pasti—dia tidak akan membiarkan Salina pergi begitu saja. --- Di tempat lain, Salina duduk di salah satu sudut kafe milik Aidan. Kalia sudah lebih dulu sampai dan kini menyesap minumannya sambil menatap sahabatnya yang terlihat lelah. "Jadi, benar gugat cerai Dante?" Kalia bertanya pelan. Salina mengangguk, matanya menatap kosong ke arah cangkir kopi di depannya. "Iya." Aidan yang duduk di seberang mereka menghela napas panjang. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya mendengar hal itu. "Lo yakin, Sal?" Salina terdiam beberapa detik sebelum menjawab. "Gue capek, Dan. Dua tahun ini… rasanya gue yang berjuang sendirian." Aidan menatap Salina lebih lama. Dulu, dia yang seharusnya ada di posisi Dante. Dia yang dulu bisa memiliki Salina, kalau saja dia tidak terlalu pengecut untuk memperjuangkannya. Sekarang, ketika Salina berada di depan matanya lagi, Aidan bisa melihat luka yang tidak pernah benar-benar terlihat sebelumnya. Dan entah kenapa, hal itu semakin membuatnya menyesal. "Kalau gue bilang jangan pergi dari dia, lo bakal dengerin gue?" Aidan bertanya, mencoba membaca ekspresi Salina. Salina tersenyum tipis. "Lo udah nggak punya hak buat bilang itu, Dan." Dan dengan kalimat itu, Aidan tahu—meskipun Salina marah dan kecewa pada Dante, hatinya masih terikat pada pria itu. "Jadi boleh gue ambil lo dari Dante? "
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN