Dante meneguk minumannya dengan kasar, membiarkan sensasi panas dari alkohol menyusuri tenggorokannya. Kepalanya terasa berat, bukan hanya karena minuman yang sudah dia habiskan, tapi juga karena pikirannya yang kacau.
Salina.
Nama itu berputar di kepalanya tanpa henti, seperti mantra yang tidak bisa dia hilangkan. Wanita itu meminta cerai. Meminta untuk keluar dari hidupnya. Tapi dia tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dia tidak akan pernah bisa.
"Damn it," geramnya pelan, menatap kosong ke dalam gelasnya yang hampir kosong.
Namun, sebelum dia bisa meneguk minuman lagi, tangan Denta lebih dulu merebut gelasnya.
"Bang, udah." Suara Denta terdengar tegas, tapi juga sedikit kesal. "Ngapain lo ke club gue lagi? Minum sampai mabuk juga nggak akan nyelesain masalah."
Dante mendengus, berusaha mengambil kembali gelasnya, tapi Denta menahannya.
"Jangan ikut campur, Den," Dante menggeram, suaranya lebih berat dari biasanya.
Denta menyipitkan mata, menatap kakaknya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Gue nggak ikut campur. Gue cuma nggak mau lo tambah nyusahin diri sendiri."
Dante hanya mendengus, membuang napas panjang.
"Lo pikir mami nggak bakal tau lo di sini? Inget, Bang. Mami punya mata-mata."
Dante diam. Dia tahu itu benar. Rere Bramasta bukan tipe wanita yang bisa dibohongi. Kalau dia mau, dalam hitungan jam saja, Dante bisa kena omelan panjang lebar dari mamanya.
"Lo dengerin gue deh," lanjut Denta, menyesap minumannya sendiri sebelum menatap sang kakak dengan serius. "Kalau lo emang cinta sama Salina, kasih tau dia, Bang. Jangan sembunyiin obsesi lo selama dua tahun ini. Jangan biarin dia mikir kalau selama ini dia sendirian di pernikahan kalian."
Dante terdiam. Kata-kata Denta menusuk tepat di tempat yang paling sakit. Dia tahu adiknya benar.
Tapi… bagaimana?
"Gampang ngomong," gumam Dante pelan. "Buktinya lo aja dua tahun juga nggak nemu tuh cewek."
Denta tersenyum miring, tapi ada kesedihan di matanya. "Beda, Bang."
Dante tidak menjawab, hanya menatap kosong ke gelas kosongnya.
"Udah, Bang, balik sana."
Dante masih diam. Pulang? Ke rumah di mana Salina ada di dalamnya, tapi terasa begitu jauh?
Tapi…
Dia menghela napas panjang. Mungkin sudah waktunya dia berhenti lari.
Dante menyandarkan tubuhnya ke sofa kulit di ruangan VIP klub milik Denta. Kepalanya terasa berat, efek dari alkohol yang terlalu banyak dia teguk. Dia pikir minuman ini bisa sedikit mengusir kepenatan yang menghantui pikirannya, tapi nyatanya justru semakin kacau.
Salina.
Lagi-lagi nama itu. Bahkan dalam keadaan setengah sadar seperti ini, wajah istrinya tetap menghantuinya.
Percuma. Tidak ada gunanya mencoba melupakan seseorang yang sudah tertanam begitu dalam di pikirannya.
Denta, yang duduk di seberangnya, hanya bisa mendesah pelan sambil menggelengkan kepala. Kakaknya memang keras kepala, tapi kali ini dia benar-benar melihat Dante dalam keadaan menyedihkan.
"Lo serius mau hancur kayak gini, Bang?" suara Denta terdengar penuh sindiran.
Dante tidak menjawab, hanya meneguk minumannya lagi tanpa peduli.
Denta mendecak kesal sebelum melirik seseorang yang berdiri tak jauh dari mereka. "Alex!" panggilnya.
Seorang pria berjas rapi yang sedari tadi bersandar di dinding segera menghampiri. Alex bukan cuma asisten pribadi Dante, tapi juga sahabat mereka berdua. Dia paham betul kebiasaan buruk Dante ketika sedang kacau seperti ini.
"Lo liat kan, Lex? Kakak gue udah nggak bisa mikir jernih," ujar Denta, menatap Alex seolah meminta bantuan.
Alex menatap Dante, lalu mendesah. "Udah cukup, Dan. Gue antar lo pulang."
Dante membuka matanya dengan berat, menatap Alex malas. "Gue masih mau di sini."
"Nggak bisa," jawab Alex tegas. "Lo pikir bisa menyelesaikan masalah dengan mabuk kayak gini?"
Dante menggeram pelan. "Jangan ikut campur, Lex."
"Kalau bukan gue, siapa lagi?" balas Alex. "Lo mau pagi-pagi mami jemput lo di sini?"
Dante terdiam. Kepalanya terlalu pening untuk berdebat, jadi dia memilih diam saat Alex dengan sigap menarik lengannya, membantu dia berdiri.
Denta menepuk bahu kakaknya sebelum dia benar-benar pergi. "Bang, lo nggak bisa lari terus. Hadapin semuanya."
Dante tidak menjawab. Dengan langkah sedikit gontai, dia membiarkan Alex membimbingnya keluar dari klub.
Dan sekarang, dia akan pulang—ke rumah yang di dalamnya ada Salina. Yang mungkin masih menunggunya, atau malah bersiap pergi dari kehidupannya.
***
Salina yang sudah bersiap untuk tidur menghela napas panjang saat mendengar ketukan di pintu kamarnya. Sudah larut, siapa lagi yang mencarinya? Dengan sedikit enggan, dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu.
Begitu dibuka, seorang ART berdiri di sana dengan wajah sedikit cemas. "Bu, maaf mengganggu, tapi Pak Dante baru saja pulang dan keadaannya... kurang baik," ujarnya ragu.
Dahi Salina berkerut. "Kurang baik gimana?"
"Dia mabuk," suara lain terdengar, dan Salina langsung menoleh, menemukan Alex yang berdiri di belakang ART dengan tangan masih menyangga tubuh Dante yang setengah sadar.
Salina mengembuskan napas kasar. "Lagi-lagi..." gumamnya, sebelum melangkah mendekat.
Dante tidak benar-benar tak sadarkan diri, matanya sedikit terbuka meski sayu. Wajahnya memerah, mungkin karena alkohol yang mengalir dalam darahnya.
Salina menoleh pada Alex. "Lo bawa dia dari mana?"
"Dari klub Denta." Alex mendesah. "Dia minum banyak banget. Gue nggak mungkin biarin dia pulang sendiri, apalagi nyetir dalam keadaan begini."
Salina menghela napas. Dia sebal, tapi di saat yang sama, entah kenapa perasaan lain muncul dalam hatinya. Lelah? Marah? Atau mungkin... khawatir?
"Masukin ke kamar," perintahnya akhirnya.
Alex mengangguk, lalu dengan hati-hati membawa Dante masuk ke kamar. Dia memapah pria itu menuju ranjang dan membaringkannya di sana. Salina yang melihat kondisi suaminya hanya bisa mendecak pelan sebelum berjalan ke kamar mandi, mengambil handuk kecil yang dibasahi air hangat.
Alex berdiri di dekat pintu, memperhatikan gerak-gerik Salina yang kini duduk di tepi ranjang, mengusap wajah Dante dengan handuk.
"Kenapa lo masih peduli?" tanya Alex tiba-tiba.
Salina menghentikan tangannya sejenak, lalu mendengus. "Gue bukan orang sejahat itu, Lex. Lagian, ini masih rumah gue juga."
"Tapi lo mau cerai, kan?"
Salina terdiam. Matanya menatap wajah Dante yang tertidur dengan napas teratur. Tangannya tanpa sadar kembali bergerak, mengusap kening pria itu dengan lembut.
"Gue udah capek, Lex," gumamnya lirih. "Gue capek nunggu dia sadar kalau gue juga manusia yang punya perasaan."
Alex menatap Salina dengan ekspresi sulit ditebak. Dia paham betul hubungan Salina dan Dante tidak mudah. Tapi melihat cara Salina merawat Dante sekarang, dia tahu satu hal—perasaan itu belum benar-benar hilang.
"Gue pergi dulu," ujar Alex akhirnya. "Lo juga istirahat, Lin. Kalau ada apa-apa, panggil gue."
Salina mengangguk pelan, masih tidak melepaskan pandangannya dari wajah Dante.
Saat Alex menutup pintu dan meninggalkan mereka berdua, Salina menghela napas panjang.
"Gue capek, Dan," bisiknya pelan. "Tapi kenapa lo malah begini?"
Dia tidak mengharapkan jawaban. Karena dia tahu, Dante bahkan tidak bisa mendengarnya saat ini.
Dante mengerang pelan, tubuhnya bergerak gelisah di atas ranjang. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan tangannya tiba-tiba terangkat, meraih apa pun yang ada di dekatnya—hingga akhirnya, jemarinya mencengkeram pergelangan tangan Salina yang masih duduk di tepi ranjang.
Salina tersentak. "Dante?"
Dante tidak sadar sepenuhnya, tapi cengkeramannya erat. Napasnya berat, sesekali terdengar gumaman samar dari bibirnya.
"Jika waktu bisa diulang..." suaranya serak, bergetar.
Salina terdiam.
"Aku tidak akan bersikap seperti orang bodoh... Aku tidak akan menyakitimu, Salina..."
Jantung Salina mencelos. Dia menatap wajah Dante yang masih terpejam, ekspresinya terlihat lelah dan penuh penyesalan.
"Loh, lepasin," bisik Salina, mencoba menarik tangannya. Tapi Dante justru semakin erat menggenggamnya.
"Aku hanya ingin melindungimu... Aku ingin kau tetap di sisiku..." suara Dante melemah, hampir seperti bisikan. "Tapi aku malah menjauh... Bodoh..."
Salina merasakan dadanya sesak. Dia tidak tahu Dante bisa seperti ini, bahkan dalam keadaan mabuk dan mengigau.
"Dante..."
"Lina..." suara itu terdengar begitu lirih.
Salina menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang tiba-tiba menyangkut di tenggorokannya.
Ini tidak adil. Kenapa Dante baru menunjukkan sisi ini ketika semuanya hampir berakhir?
Salina menghela napas panjang, sebelum akhirnya dengan hati-hati mengangkat tangan Dante yang masih menggenggamnya dan meletakkannya kembali di ranjang.
"Lo emang bodoh, Dan," gumamnya pelan. "Dan gue lebih bodoh karena masih aja peduli."
Dia bangkit, menarik selimut untuk menutupi tubuh pria itu, lalu beranjak pergi.
Dante tidak tahu, tapi malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Salina menahan air mata yang ingin jatuh.