Kabar tentang kesembuhan Permaisuri menyebar cepat di dalam istana. Semua orang tahu, tabib buangan bernama Xin Yao-lah yang berjasa. Namun, keputusan soal statusnya masih menggantung.
Di aula istana utama, Permaisuri duduk anggun meski wajahnya masih terlihat pucat. Kaisar berada di sampingnya, sementara para selir, pejabat dalam, dan kasim istana menundukkan kepala.
“Xin Yao,” suara Permaisuri terdengar lembut, “kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku ingin memberikanmu kedudukan khusus di istana ini. Bukan hanya sebagai tabib biasa, tapi sebagai orang kepercayaanku. Mulai hari ini, kau akan selalu berada di sisiku, membantuku mengurus semua hal yang ada di istana.”
Xin Yao terperanjat. “Yang Mulia … hamba hanya melakukan tugas hamba. Hamba tidak layak menerima kehormatan sebesar itu.”
Permaisuri tersenyum tipis. “Layak atau tidak, akulah yang menentukan. Kau berbeda dari tabib lain. Aku percaya padamu.”
Kaisar mengangguk pelan, wajahnya sulit ditebak. “Kalau begitu, aku tidak menentang. Tabib Xin akan menjadi orang kepercayaan Permaisuri. Namun ingat …” Tatapan matanya menusuk Xin Yao. “Sekali saja kau berkhianat atau lalai, bukan hanya posisimu yang hilang, tapi kepalamu pun ikut melayang.”
Xin Yao meneguk ludah, dalam hati merutuk. “Ya ampun, Kaisar ini. Kalau bukan karena tampannya, sudah aku cekik hingga mati.”
Selir Pertama, Min Hua, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Yang Mulia, bukankah itu terlalu berlebihan? Memberi kedudukan khusus pada seorang tabib buangan hanya akan membuat istana ini jadi bahan tertawaan. Menurutku, biarlah dia tetap di tempatnya sebagai tabib istana biasa.”
Permaisuri menoleh dengan tatapan tajam, membuat Min Hua terdiam seketika. “Kalau tidak karena dia, mungkin aku sudah tiada. Jadi, kurasa, itu adalah hadiah yang pantas untuknya. Kenapa kamu harus keberatan, Selir Min?”
Suasana menegang. Kaisar justru tersenyum samar, matanya melirik ke arah Xin Yao. “Menarik … bahkan Permaisuri saja sudah membelamu. Bagaimana aku bisa menolak?”
Xin Yao hanya bisa menunduk, wajahnya kaku. Dalam hati ia menghela napas.
“Astaga, apa aku baru saja naik pangkat? Jadi orang kepercayaan Permaisuri? Kalau begini, aku harus siap hidup di tengah api cemburu para selir.”
Sementara itu, dari kejauhan, Min Hua menggenggam erat jarinya hingga memutih. Rasa kesal dan iri membakar hatinya.
“Baiklah, Xin Yao. Kalau kau ingin tinggal di sisi Permaisuri, aku akan pastikan kau tidak akan bisa bertahan lama. Aku, Selir Pertama Min Hua, tidak akan membiarkan seorang tabib rendahan merebut perhatian Kaisar.”
Malam harinya, di paviliun utama, Kaisar mendatangi Permaisuri yang sedang beristirahat.
“Istriku, aku tak menyangka kau akan mengangkat Xin Yao sebagai orang kepercayaanmu,” kata Kaisar sambil menuangkan teh hangat untuk Permaisuri.
Permaisuri menatapnya dengan lembut. “Aku tahu apa yang orang lain pikirkan. Tapi aku butuh seseorang yang selalu ada di sisiku, bukan sekadar selir yang memperebutkan perhatianmu. Xin Yao berbeda. Dia tulus.”
Kaisar menyandarkan tubuhnya, lalu tersenyum samar. “Tentu saja. Aku pun tak keberatan. Bahkan, aku justru senang. Dengan kedudukan itu, ia akan semakin dekat … dengan kita.”
Permaisuri mengernyit, merasakan niat ambigu pada kalimat sang Kaisar, tapi memilih tak memperdulikannya.
---
Sementara itu, di kamar pribadinya, Xin Yao duduk termenung. Ia menatap langit, mencoba memahami jalan takdirnya yang begitu cepat berubah.
“Aku hanya ingin pulang ke duniaku … tapi kini malah terjebak di istana Tiongkok kuno ini,” gumamnya dengan wajah lelah.
Dayang yang ditugaskan menemaninya tersenyum. “Nona Xin, Anda sungguh beruntung. Banyak wanita rela melakukan apa saja demi menjadi orang kepercayaan Permaisuri. Tapi Anda mendapatkannya hanya karena keahlian Anda.”
Xin Yao menghela napas panjang. “Beruntung atau sial, aku belum tahu. Yang jelas, mulai sekarang aku tak akan bisa hidup tenang.”
Niken merasa asing meski berada di istana yang megah. Ia duduk sendirian di pavilion kecil dekat kolam teratai, memandang bayangan dirinya yang terpantul di air. Wajah yang ia lihat bukan lagi dirinya, melainkan tabib istana yang dipanggil “Xin Yao.”
Tiba-tiba, ingatannya kembali pada malam sebelum dia masuk ke dunia ini.
Malam itu, sebuah pesan dari Bima sang kekasih adalah awal dari kehancuran hidupnya.
“Maaf, Sayang. Aku tidak bisa datang ke acara wisudamu, ada meeting penting sekali di kantor. Nanti sore kita rayakan, ya.”
Niken memandang pesan itu dengan raut wajah kecewa. Di hari bahagianya ini, tak ada satupun orang yang menemaninya menerima penghargaan dari kampus sebagai wisudawan terbaik dengan predikat cumlaude. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Niken hidup bersama Paman dan Bibinya.
Semasa tinggal bersama Bibi, Niken tak ubahnya seperti pembantu yang melakukan semua pekerjaan di rumah itu.
Setelah acara wisuda selesai, ia langsung menuju rumah sakit tempat Bima praktek. Dia ingin merayakan kelulusannya sekaligus hari jadian mereka. Dia sudah membayangkan, pelukan hangat dari sang kekasih yang akan dia terima karena telah lulus kuliah.
Namun, ketika sampai di depan pintu ruang kerja kekasihnya, Niken menghentikan langkahnya. Suara aneh terdengar samar, membuat bulu kuduknya meremang seketika.
“Ahh … Mas … pelan-pelan …” suara desahan wanita terdengar.
Disusul dengan suara berat yang sudah sangat dia hapal di luar kepala, “Bukankah begini lebih nikmat? Kamu memang bikin aku gila, Sayang …”
Tubuh Niken mendadak kaku. Tangannya mengepal erat hingga buku-bukunya memutih.
Tidak mungkin … itu bukan Bima, kan? pikirnya, tapi rasa sakit di dadanya justru semakin kuat.
Dengan napas terengah, ia memberanikan diri memutar gagang pintu. Pintu terbuka perlahan, dan pemandangan yang ada di hadapannya membuat air matanya jatuh seketika.
Disana, Bima, kekasih yang sangat dia sayangi, tengah bercinta dengan seorang perawat di atas meja. Tubuh mereka saling menyatu tanpa malu, tanpa peduli dimana mereka berada saat ini.
Buket bunga yang dipegang Niken pun terjatuh. Suara itu membuat kedua orang itu menoleh.
“Ni … Niken?!” Bima terperanjat, wajahnya pucat seketika. Lelaki itu buru-buru menaikkan celananya. Sementara wanita dibawahnya hanya menurunkan roknya dengan cepat sambil menyeringai sinis, seolah mengejek keberadaan Niken.
Air mata mengalir di pipi Niken tanpa bisa dia tahan. “Ini yang kamu sebut sibuk, Mas? Kamu lebih memilih bercinta dengan wanita itu ketimbang hadir di wisudaku? Jahat kamu, Mas!”
Bima panik, berusaha menghampiri kekasihnya.
“Niken, tunggu! Ini nggak seperti yang kamu lihat. Aku bisa jelaskan!”
Namun, Niken mundur selangkah demi selangkah, kepalanya menggeleng keras.
“Jelaskan apa, Mas? Semua yang aku lihat sudah jelas! Bodohnya aku, selama ini percaya semua alasanmu. Aku pikir kamu sibuk kerja untuk masa depan kita. Ternyata … kamu malah sibuk bermain gila dengan wanita lain.”
“Sayang, please, jangan pergi. Aku khilaf, aku—”
“Berhenti panggil aku sayang!” potong Niken dengan suara parau.
Hati Niken serasa dicabik-cabik. Ia tak bisa membendung air matanya lagi. Malam yang seharusnya dipenuhi cinta berubah menjadi neraka yang menelan seluruh dunianya.
Niken berlari keluar dari rumah sakit itu dengan air mata yang membasahi pipinya. Suasana malam yang dingin tak mampu menyejukkan hatinya yang hancur lebur. Napasnya terengah, tubuhnya gemetar, ia pun duduk di bawah derasnya guyuran air hujan.
Kenapa harus aku yang dikhianati? Kenapa cinta tulus yang aku beri justru dibalas dengan pengkhianatan?
Lelah menangis, Niken pun berjalan kembaki
“Niken! Tunggu!” suara Bima memanggil dari kejauhan.
Niken berhenti, menoleh, matanya masih dipenuhi air mata. Bima menyusulnya dengan wajah tegang, nafasnya memburu.
“Niken maafkan aku … aku salah. Kumohon dengarkan dulu penjelasanku.” Bima berusaha menggenggam pergelangan tangannya.
Niken berusaha menghempaskannya, tapi genggaman Bima terlalu kuat. “Lepaskan aku, Bima! Kau sudah menghancurkan segalanya! Aku sudah melihat dengan mataku sendiri. Apa lagi yang ingin kau katakan?!”
Bima menunduk, suaranya lirih tapi matanya berkilat aneh. “Aku … aku tidak bisa kehilanganmu, Niken. Kau terlalu tahu banyak tentangku, tentang pekerjaanku, tentang semua hal yang seharusnya tidak kau campuri …”
Niken membulatkan matanya. “Apa maksudmu?”
Dalam sekejap, sesuatu yang dingin dan tajam menancap di perutnya. Mata Niken terbelalak. Tangannya refleks memegang perutnya yang sudah bersimbah darah.
“Bi … Bima …?”