“Apa kau yakin?” tanya Kaisar ragu.
Xin Yao mendongak, menatap lurus ke mata Kaisar. “Paduka, saya ini tabib terkenal. Kalau saya tidak yakin, lebih baik saya jadi tukang jamu keliling. Percayalah, ramuan ini akan bekerja dengan baik dan Permaisuri akan sembuh.”
Ruangan mendadak hening. Tabib-tabib istana terdiam, sebagian tidak percaya pada kecepatan kerja Xin Yao.
Kaisar bangkit dari kursinya, langkahnya mantap mendekat. Ia menunduk, menatap wajah Xin Yao dari jarak yang sangat dekat, hingga membuat jantung wanita itu berdegup kacau.
“Awas jika kamu gagal!” katanya pelan namun mengandung ancaman. “Aku tidak akan pernah mengampunimu. Tapi jika ini berhasil …” bibir Kaisar melengkung tipis.
Xin Yao buru-buru memotong, lalu menunduk. “Kalau berhasil, tolong jangan potong kepalaku. Tapi kalau gagal … setidaknya, tolong kasih aku peti mati yang bagus.”
Kaisar menatapnya, lalu tertawa kecil—suara langka yang membuat seluruh ruangan tertegun.
“Perempuan ini … benar-benar berbeda.”
Beberapa saat kemudian …
Aroma hangat dari ramuan herbal memenuhi ruangan kamar Permaisuri. Uap tipis mengepul dari mangkuk yang disodorkan oleh Xin Yao. Tangannya sedikit bergetar, bukan karena ragu, melainkan karena perasaan tertekan berada di bawah tatapan banyak pasang mata, terutama Kaisar yang tak kunjung mengalihkan pandangannya.
“Ayo Permaisuri, tubuhnya miring sedikit. Minum ramuan ini perlahan. Ramuan ini akan membantu menetralkan racun di tubuh Anda,” ucap Xin Yao lembut.
Dengan bantuan dayang, Permaisuri meneguk cairan itu dalam tiga kali tegukan. Raut wajahnya semula pucat pasi, perlahan merona segar kembali. Kelopak matanya yang berat akhirnya bergerak, lalu terbuka. Suara napas lega terdengar dari seluruh ruangan.
“Yang Mulia …?” suara Permaisuri parau, namun jelas.
“Permaisuri!” seru Kaisar bahagia. Tapi alih-alih langsung mendekap istrinya yang baru saja sadar, Kaisar justru berbalik dan tanpa sadar menarik Xin Yao ke dalam pelukannya.
Xin Yao terkejut, tubuhnya menegang di dalam dekapan pria yang begitu gagah dan penuh wibawa. Kedua pipinya memanas, sementara para dayang dan tabib yang lain hanya bisa menunduk menahan keterkejutan.
“Xin Yao, kau luar biasa …,” bisik Kaisar dengan suara bergetar, seolah dunia hanya menyisakan mereka berdua.
Suasana mendadak canggung. Kaisar akhirnya sadar akan tindakannya, segera melepaskan pelukan itu, dan melirik sekilas ke arah Permaisuri yang cemberut.
“Paduka … bukankah seharusnya yang dipeluk adalah aku?” lirih Permaisuri pelan.
Kaisar berdeham, wajahnya memerah, lalu kembali menggenggam tangan Permaisuri. “Benar, istriku. Maafkan aku. Aku hanya terlalu bahagia melihatmu kembali sehat. Jangan bicara terlalu banyak. Istirahatlah,” ujar Kaisar lembut sambil menggenggam erat tangannya.
Permaisuri tersenyum dan mengalihkan pandangannya pada Xin Yao. “Anak ini memang berbeda. Dia pantas diberi hadiah besar, Paduka. Tanpa dia, mungkin aku sudah tak ada lagi.”
Kaisar mengangguk cepat. “Benar. Istriku, bagaimana kalau Xin Yao kita jadikan selir keempat? Dengan begitu, ia bisa lebih mudah memantau kesehatanmu, sebab ia akan tinggal di dalam istana utama.”
Seketika, istana hanyuan bergemuruh. Para pejabat saling pandang, beberapa tabib terbatuk gugup, dan para selir yang semula tersenyum mendadak pucat pasi, terutama Selir Min Hua.
“Selir?!” bisik para dayang.
“Wanita yang hampir dipenggal itu?”
Niken, yang berdiri di sudut dengan wajah polos, langsung melongo.
“Hah?! Jadi selir?!” ia spontan teriak. Semua orang menatap. Niken buru-buru menutup mulut. “Tidak-tidak … aku tidak mau. Di kehidupan terdahulu aku diselingkuhi, dan sekarang, aku jadi selir … wow, tragis sekali hidupku ya. Hehe.”
Niken pun segera menutup mulutnya melihat tatapan tajam sang Kaisar.
Wajah Selir Pertama mengeras, tangannya mengepal di balik lengan jubah. Wanita itu pun maju ke depan dengan wajah berapi-api. “Hamba tidak setuju, Paduka! Hamba rasa, keputusan yang Kaisar ambil terlalu terburu-buru.”
Wanita itu menatap Xin Yao tajam, kemudian mengalihkan pandangannya pada Kaisar. “Menjadi selir, tidak bisa sembarang orang. Xin Yao hanyalah seorang tabib, bukan wanita dari keluarga terpandang maupun keturunan bangsawan. Memang benar, Tabib Xin telah berjasa menyelamatkan Permaisuri. Tapi itu bukan alasan untuk bisa menjadikannya seorang Selir. Dia lebih pantas jika diberi kedudukan sesuai kemampuannya? Lebih baik ia dijadikan Tabib Istana saja. Dengan begitu, dia tetap bisa memantau kesehatan Permaisuri tanpa harus menjadi bagian dari harem istana.”
Kaisar mengernyit, tatapannya dingin. “Min Hua, apa kau berani menentang keputusan Kaisarmu?”
Min Hua langsung berlutut, menunduk dalam-dalam. “Hamba tidak berani, Paduka. Namun hamba hanya menyampaikan pendapat hamba demi kehormatan istana.”
Kaisar mengerutkan alis, tatapannya tertuju pada Niken, yang saat itu justru sibuk melirik hiasan emas di pilar istana. Waduh, kalau jadi selir, berarti saya harus rebutan ranjang sama mbak-mbak cantik dan licik ini? Nggak deh. Hidup aku bakalan nggak bisa tenang. Yang ada, aku malah diracun gara-gara Selir Min cemburu.
Kaisar mengetukkan jari di sandaran singgasananya, wajahnya tetap datar. “Xin Yao, apa pendapatmu?”
Niken terperangah. Astaga, kenapa malah nanya saya? Ia menoleh ke Permaisuri yang tampak penuh harap, lalu melirik Selir Min Hua yang senyumannya seperti ular siap melilit.
“Hamba ….”
“Sudah, tidak usah banyak protes,” ujar Kaisar tanpa menoleh. “Aku sudah berjanji padamu, akan memberikan imbalan jika kamu berhasil menyembuhkan Permaisuri. Sebagai seorang lelaki sejati, tidak boleh mengingkari janji. Mulai hari ini, kedudukanmu di istana akan berbeda.”
Ruangan kembali hening. Semua mata langsung tertuju pada sosok ramping Xin Yao yang hanya menunduk.
Permaisuri, yang sedari tadi memperhatikan perdebatan ini, akhirnya mengangkat tangannya. Xin Yao pun akhirnya diam tak berani bicara.
“Sudahlah. Biarkan aku yang putuskan setelah aku benar-benar sembuh. Untuk saat ini, biarkan Xin Yao tetap berada di sisiku.”
Xin Yao menunduk semakin dalam, hatinya berdebar tak karuan. Sementara kaisar, lelaki itu tersenyum licik. Dia memiliki rencana tersendiri dengan adanya Xin Yao di sisi Permaisuri.
Selir Min Hua tak bisa lagi membantah. Wanita itu hanya cemberut sambil mengepalkan tangannya di samping.
Sementara Xin Yao, wanita itu menatap Kaisar yang sedang tersenyum menyeringai. Otak pintarnya langsung berpikir cepat. “Tidak-tidak, jangan bilang dia sedang merencanakan untuk menjadikanku selir utamamu? Dasar Kaisar m***m!”
Kaisar membalas tatapan itu dengan mata tajamnya. “Kamu tidak akan bisa lepas dariku, Xin Yao! Tunggu saja! Aku akan pastikan, kamu bertekuk lutut di hadapanku!”