“Cepat periksa Permaisuri! Awas, kalau sampai kamu salah bikin obat!” Kaisar mendorong tubuh Xin Yao masuk ke dalam kamar Permaisuri. Disana, hanya terdengar suara napas lemah Permaisuri yang terbaring di atas ranjang sutra putih. Xin Yao memandangi tirai sutra bergoyang pelan tertiup angin. Dirinya masih tidak percaya jika dia benar-benar terlempar di jaman kuno. Aroma dupa yang memenuhi ruangan, membuat wanita itu menghela napas panjang. “Ternyata, aku memang terlempar di jaman baheula!”
Xin Yao melangkah pelan mendekati ranjang. Jubah tabib yang kebesaran membuat langkahnya terhambat. “Ya ampun, ribet banget sih pake pakaian kayak gini!”
Xin Yao mengikat rambut panjangnya yang berantakan karena hampir dipancung tadi.
Ia menatap wajah pucat Permaisuri. Aduh … kalau di rumah sakit modern, aku bisa langsung pasang alat, cek jantung, cek tensi, atau minimal stetoskop. Sekarang? Aku bahkan nggak punya termometer!
“Kenapa diam? Apa kamu tidak bisa memeriksanya?” suara Kaisar terdengar berat, namun ada nada ejekan di baliknya. Ia berdiri tegak di samping ranjang, matanya tak lepas dari sosok Xin Yao.
Xin Yao menghela napas, lalu duduk di samping Permaisuri. Ia menggenggam pergelangan tangan Permaisuri.
“Baiklah, mari kita cek dulu nadinya …” Xin bergumam, penuh konsentrasi. Namun begitu menyentuh pergelangan tangan Permaisuri, ia kaget sendiri. Astagaa, denyut nadinya beda banget sama pasien modern!
Jari-jarinya lembutnya terus mencari denyut nadi Permaisuri. Dalam hati, ia mendesah. Ya Tuhan, aku inidokter modern, bukan ahli pengobatan tradisional. Tapi apa boleh buat, aku harus improvisasi.
“Bagaimana?” tanya Kaisar lagi, suaranya terdengar lebih lembut kali ini.
Xin Yao menutup mata, mencoba fokus merasakan detak halus di balik kulit pucat Permaisuri. Detaknya lemah, namun stabil. Wajahnya mengernyit. “Detak jantungnya ada, ritmenya… tidak menunjukkan tanda gagal organ. Tapi kenapa dia tidak sadar-sadar?” gumamnya lirih.
Kaisar menunduk sedikit, mendengar dengan penuh perhatian.
Xin Yao menatap wajah Permaisuri lagi. “Apa gejala yang dialami sebelumnya?” tanyanya sambil berpaling ke arah Kaisar.
Kaisar menatap lurus, suaranya datar tapi mata menyorot serius. “Ia tiba-tiba pingsan setelah minum sup jamur yang dibawakan oleh selir istana. Sejak itu, ia tidak membuka mata. Tabib-tabib kerajaan mengatakan tubuhnya terkena racun, tapi mereka tidak tahu jenisnya.”
Xin Yao mengerutkan kening. “Racun?” bibirnya berbisik pelan. “Tapi … kalau benar racun, kenapa tidak ada tanda-tanda muntah, kejang, atau sesak napas?”
Ia menunduk, mencoba membuka kelopak mata Permaisuri dengan hati-hati. Pupilnya melebar, tapi tetap merespons cahaya redup dari lampu minyak.
“Hm … koma biasa tidak begini … ini seperti … tubuhnya sengaja ‘dijebak’ dalam kondisi tertidur.”
Kaisar menajamkan mata. “Kau bilang dijebak?”
Xin Yao menegakkan punggungnya, lalu menatap Kaisar dengan ragu. “Ya … semacam racun yang tidak membunuh, tapi membuat kesadaran terkunci. Dalam dunia medis modern … eh, maksudku, dalam ilmu pengobatan yang kutahu … ini seperti racun tidur yang sangat kuat.”
Kaisar menatapnya lama, seakan meneliti tiap kata yang keluar dari mulut Xin Yao. Ada sesuatu dalam tatapan itu—bukan hanya rasa penasaran, tapi juga kekaguman yang samar.
“Tabib-tabibku hanya bisa menebak. Kau …” Kaisar mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Xin Yao. “… kau berbicara seakan benar-benar memahami sesuatu yang tak pernah mereka temukan.”
Pipi Xin Yao merona. Ia buru-buru menunduk, menghindari tatapan intens itu. Ya ampun, kenapa dia harus tampan banget sih? Fokus, Niken! Eh, maksudku Xin Yao!
Dengan suara mantap, ia berkata, “Yang Mulia, aku butuh waktu. Aku harus meracik ramuan khusus untuk menetralisir racun ini. Jika benar dugaanku, Permaisuri masih bisa diselamatkan.”
Kaisar menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk perlahan. “Baiklah. Tapi ingat … jika gagal, nyawamu taruhannya.”
Xin Yao menelan ludahnya keras-keras. “Ya ampun … arogan sekali Kaisar ini. Sudah hampir memenggal kepalaku, sekarang mengancam lagi. Baiklah! Kalau berhasil, aku akan sumpahin dia bisulan seminggu penuh.”
Kaisar mengangkat alis. “Apa kau bilang sesuatu?”
Xin Yao tersenyum kaku. “Ah, tidak, Yang Mulia. Hanya doa semoga cepat sembuh.”
***
Xin Yao duduk bersila di ruang obat, disampingnya sudah ada kotak-kotak berisi bahan herbal kering. Para tabib lain hanya berdiri di pinggir, mengintip penuh rasa penasaran dan keraguan. Bagaimana mungkin tabib buangan itu dipercaya Kaisar untuk mengobati Permaisuri?
Di depan meja kayu, ia menyalakan tungku kecil. Tangannya cekatan mengambil akar, daun, dan serbuk herbal. Tidak asal comot, melainkan ditimbang, dipotong, lalu dipisahkan ke dalam wadah mungil seakan ia sedang berada di laboratorium modern.
Kaisar Liang duduk tegak di kursi tinggi, jaraknya hanya beberapa langkah dari sana. Mata tajamnya tidak pernah lepas dari sosok tabib asing yang baru saja nyaris dipenggal pagi tadi. Kini, perempuan itu bergerak cepat, wajahnya serius, jari-jarinya lincah memilih bahan-bahan ramuan.
“Hmm… daun ini mirip ginseng, tapi terlalu muda. Tidak bisa dipakai sebagai penawar racun kuat,” gumam Xin Yao sambil mengendus-endus. “Aha! Ini akar yang baunya kayak valerian… bisa menenangkan sistem saraf.”
Kaisar yang sejak tadi terus memperhatikannya merasa aneh dengan tingkah Xin Yao. “Kenapa kau harus mencium terlebih dahulu, baru memasukkannya ke dalam tungku? Tabib biasanya hanya melihat sekilas kemudian langsung memasukkan ke dalam tungku. Dari mana kau belajar cara itu?”
Xin Yao menoleh sekilas, lalu nyengir tipis. “Kalau kenapa saya mencium obatnya terlebih dahulu, karena saya ingin memastikan agar saya tidak salah obat. Dan kalau darimana saya belajar … rahasia perusahaan, eh maksud saya … rahasia keluarga, Paduka.”
Kaisar menajamkan mata. “Kau berani bercanda di hadapanku?”
Xin Yao cepat-cepat menunduk, pura-pura fokus lagi. Ups, refleks dia memegang mulutnya, CEO jadulku lagi marah. Gawat kalau aku kelepasan ngomong soal laboratorium klinik segala.
Tabib istana pun juga saling pandang. Mereka sama bingungnya dengan Kaisar. “Apa yang dia lakukan?” bisik seorang tabib tua. “Kenapa dia mencium-cium obat seperti itu?”
“Entahlah. Metode apa itu?” sahut yang lain.
Kaisar mengangkat tangan, menghentikan bisik-bisik itu. “Diam. Biarkan dia bekerja.” Suaranya tenang, tapi penuh wibawa.
Xin Yao meneguk ludah, lalu meracik bahan-bahan dengan cara yang tidak biasa. Ia mengambil mangkuk batu, memasukkan akar, daun kering, lalu menghancurkannya dengan irama cepat.
Andai ada blender portable… pasti lebih gampang! batinnya jengkel.
Ia menambahkan sedikit air panas, lalu menatap warnanya dengan teliti. “Oke, kalau berubah jadi cokelat kehitaman, berarti senyawa aktifnya keluar. Tinggal tambah sedikit garam mineral untuk mengikat racun di tubuh.”
Salah satu tabib tidak tahan lagi. “Tabib asing! Kau bicara apa? Apa maksudmu ‘senyawa aktif’?!”
Xin Yao mendongak, wajahnya polos. “Oh … itu hanya istilah ilmiah. Kalian nggak perlu tahu detailnya.”
Tabib itu ingin protes lagi, tapi Kaisar menatap tajam. “Biarkan dia bekerja!”
Xin Yao kembali fokus. Cairan dalam mangkuk berubah menjadi pekat, uap hangatnya beraroma tajam tapi segar. Ia mengaduk-aduk perlahan, matanya bersinar penuh konsentrasi.
Kaisar Liang memperhatikan setiap gerakan itu. Ada sesuatu dalam diri perempuan itu yang tak bisa membuatnya berpaling.
Kenapa aku jadi memperhatikan caranya mengaduk ramuan? Kaisar tersenyum samar tanpa sadar.
Akhirnya, Xin Yao menuangkan ramuan ke dalam cawan porselen. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, tapi karena ia sadar nyawanya benar-benar bergantung pada hasil ramuan ini.
Ia membalik badan, berlutut di depan Kaisar. “Yang Mulia, Ramuan penawarnya sudah siap. Ramuan ini harus diminum dalam tiga tegukan. Setiap tegukan harus dipisahkan sepuluh menit. Kalau berhasil, Permaisuri akan mulai berkeringat, tanda racun keluar dari tubuhnya,” jelas Xin Yao mantap.
Kaisar melangkah maju, berdiri tepat di hadapannya. “Apa kau yakin?”