Maaf : satu kata yang akan menyelesaikan permasalahan atau sebagai salam perpisahan.
Aku melihat Anestesi yang tengah asyik duduk di bangkunya. Sepertinya dia tengah mencorat-coret bukunya, entah menulis atau mengambar, aku hanya memperhatikannya dari jauh. Sebenarnya ingin menghampirinya tetapi aku belum berani untuk menemuinya di saat banyak orang. Aku ingin berbicara berdua dengannya, meluruskan segara kesalapahaman yang ada. Namun, aku tidak boleh gegabah. Jika salah langkah, aku takut dia semakin menjauh.
Aku takut tetapi juga benar-benar ingin minta maaf pada Anestesi. Walau sebenarnya bukan aku yang menguncinya di Lab, tetapi di mata Anestesi, akulah yang bersalah. Bicara dengannya mungkin akan memberiku peluang untuk bisa meminta maaf atau mungkin membuatku lebih dekat dengannya lagi. Ada sesuatu yang berbeda setiap kali aku melihat dia tersenyum seolah ada aliran listrik yang menyengat tubuhku. Aku tidak ingin berasumsi apapun saat ini karena aku belum yakin tentang apa yang aku rasakan. Terlebih, dia sekarang membenciku. Karenanya, aku ingin meminta maaf lebih dulu. Karena maaf adalah satu kata yang akan menyelesaikan masalah atau sebagai salam perpisahan. Aku tidak mau maafku menjadi yang kedua karena sudah sering aku mengucapkan kata itu setiap kali aku putus.
Aku mengamati Anestesi yang masih duduk di sana, dengan dunianya dan terkadang tersenyum sendiri. Dia mempesona, dengan rambut yang dikucir kuda, kulit wajah yang putih dan lembut kurasa serta mata bulat yang memiliki bulu mata yang panjang. Setiap kali dia berkedip, aku meremang seolah ada desiran ombak di hatiku. Memandangnya seolah suatu candu yang memberikan sensasi bahwa aku begitu menikmati kegiatan yang satu ini. Mungkin, inilah alasan para fans menstalking bias mereka. Kerena mereka telah terjangkit virus yang sama denganku, Iam happy when I see you.
Aku tidak pernah begini sebelumnya. Mengamati sesuatu secara intens dan dalam durasi yang tergolong lama, aku tidak pernah melakukannya. Itu di luar kebiasaanku bahkan untuk Sigma sekalipun, aku tidak begini. Namun, untuk seorang Anestesi aku melakukannya. Saat ia tersenyum, aku entah bagaimana juga menerbitkan senyum. Saat ia memasang wajah konyol, melamun atau datar sekalipun, aku masih menganggap semua itu lucu dan menyunggingkan senyuman. Tidak ada yang bisa kulihat lagi selain dia, seolah titik fokus mataku sengaja kuatur untuknya dan membuat orang lain atau hal yang lain menjadi kabur.
“Jangan diliatin mulu, nanti luntur lho!” sindir Firman yang seketika membuatku menoleh ke arahnya.
“Gue nggak ngeliatin Anestesi tauk!” sanggahku cepat.
Firman terbahak.
“Yang bilang lo liatin Anestesi siapa? Gue cuma bilang jangan diliatin!” kilah Firman. “Jadi, yang dari tadi liatin si murid baru?” goda Firman.
Aku melengos, mengalihkan pandanganku ke arah jendela dimana aku langsung bisa melihat lapangan basket.
“Dih malah langsung buang muka. Malu ya soalnya terciduk?” Firman masih tidak menyerah untuk menggodaku.
Aku tidak menjawab, hanya menganggapnya angin lalu.
“Beuneur lin ceuk Asep, Ribut bogoh ka Anestesi![1]” kata Asep dengan semangat.
Firman mengerutkan dahinya.
“Bogoh? Apaan tuh, Sep? Ngomong jangan pake bahasa planet, dong!” protes Firman.
“Sembarangan, Asep mah ngomong pake bahasa Sunda tauk!” sanggah Asep.
“Bogoh itu suka, cinta, naksir!” kata Asep menjelaskan.
“Oh gitu, Sep. Lo sih pake bahasa yang Asing di telinga. Coba lo ngomong Love, Ai, atau Sarange, gue pasti langsung ngerti!” pungkas Firman.
Sekarang Asep yang menautkan alis.
“Itu satu pengertian sama Bogoh?” tanya Asep memastikan.
“Iya, satu pengertian! Cuma Firman pake bahasa Asing yang dia pelajari dari nonton Drama!” jawabku yang seketika membuat Asep menaik-turunkan kepalanya sebagai tanda bahwa dia mengerti.
“Jadi bener nih, lo naksir dia, But?” tanya Firman.
Aku menggeleng ragu.
“Nggak,” jawabku singkat.
“Kok terdengar nggak yakin gitu?” goda Firman.
“Nggak tauk!” ucapku tegas.
“Masih belum move on dari Sigma?” tanya Asep.
Aku menggeleng pelan.
“Sudah, kok!” jawabku.
“Kok lo belum punya pacar lagi, But? Kehabisan stok?” tanya Firman setengah menyindir.
“Enak aja lo bilang stok, emangnya gue pedagang?” protesku.
“Oh, bukan ya? Habis cewek lo banyak sih!” goda Firman.
“Banyak apaan! Gue malah lagi jomblo sekarang!” gerutuku sebal.
Firman dan Asep hanya tertawa melihatku memasang wajah cemberut.
“Btw, kalian nggak mau minta maaf tuh sama Anestesi? Dia salah paham tuh ngira aku yang ngunci dia di Lab,” kataku yang langsung membuat Firman dan Asep pura-pura sibuk baca buku.
“Aih, giliran diingetin malah gitu!” dengusku sebal.
Firman dan Asep cuek, mereka tetap berpura-pura sibuk dengan buku yang mereka pegang.
“Kebalik tuh bukunya, Man!” sindirku dimana Firman langsung kelabakan dan seketika memperbaiki letak bukunya yang posisinya kebalik. Melihat tingkah konyol Firman, aku hanya tertawa geli.
“Pagi anak-anak, ayo kita mulai pelajarannya dengan semangat!” seru Bu Indira yang seketika membuatku bersiap untuk menerima pelajaran hari ini.
***
Aku baru saja mau ke kelas saat aku melihat Anestesi berjalan di koridor kelas sendirian. Koridor saat ini sedang sepi sehingga tidak ada banyak orang, jadi kupikir ini adalah kesempatan yang bagus untuk berbicara dan meminta maaf pada Anestesi.
“Anestesi!” panggilku.
Anestesi terus berjalan sepertinya suaraku terlalu kecil sehingga dia tidak dapat mendengarnya. Aku sudah membuka mulutku, nyaris meneriakkan nama Anestesi sekali lagi ketika tanpa terduga ada panggilan lain yang memanggilku.
“Kak Ribut!”
Aku mengurungkan niatku, menoleh ke sumber suara.
“Kak Ribut!”
Seorang cewek dengan rambut sebahu yang ikal di bagian bawah berlari mendekat ke arahku. Dia membawa sebuah bungkusan yang jika boleh kutebak pasti adalah cokelat.
“Kak,” katanya lagi saat sudah berada di dekatku.
“Ya?” sahutku.
Dia tidak segera menjawab, mencoba melaraskan napasnya yang agak terengah karena dibuat lari. Cewek itu berpostur tubuh pendek dengan badan yang sintal—walau tidak gemuk. Sejujurnya, aku tidak mengenalnya. Aku rasa dia adik kelas.
“Nama aku Sunyi, Kak!” katanya memperkenalkan diri.
“Oke, aku Ribut. Salam kenal ya, Sunyi!” balasku sembari tersenyum tipis.
Sunyi mengangguk sembari tersenyum malu-malu.
“Kak Ribut sibuk?” tanyanya dengan raut wajah yang seolah menunjukkan bahwa dia akan melakukan ‘penembakan’ padaku. Bukannya GR, tetapi sedikit banyak aku mengerti bahasa tubuh dari perempuan.
“Lumayan, mau makan siang!” kataku beralasan.
“Boleh makan siang bareng?” tanyanya.
Aku menggaruk-garuk tengkukku yang tidak gatal, ingin menolak tetapi belum menemukan alasan yang tepat. Terlebih aku tidak tahu apapun mengenai adik kelas yang kini berdiri di hadapanku. Selain penampilan, tidak ada hal lain yang kuketahui dan aku tipe orang yang menilai seseorang dari penampilan. Meski untuk beberapa orang, penampilan adalah yang terpenting untuk kemudian berkenalan lebih jauh.
“Sorry,” ucapku lalu memasang wajah yang sedikit merasa tidak enak.
“Ah, Sunyi ganggu ya, Kak! Maaf!” katanya lalu berwajah murung.
Sunyi menganggukkan sebentar kepalanya sebagai isyarat dia mohon diri. Kemudian di berbalik dan mulai berjalan pergi pelan-pelan. Seandainya ini adegan sinetron pasti sudah kukejar dia dan mengiyakan ajakannya. Sayangnya, sekarang aku benar-benar sibuk. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengan Anestesi.
Aku mengamati sebentar Sunyi—membiarkannya pergi dan berharap dia tidak terlalu memasukkan penolakanku ke dalam hati. Setelah itu aku kembali melanjutkan langkahku, mengejar Anestesi. Aku menoleh kiri-kanan, mencari dimana Anestesi lalu aku berhenti di sebuah ruang kosong antara tangga menuju ke atas dan lantai bawah, Anestesi berada di sana dengan mata yang tertuju pada layar handphonenya. Aku tertegun, untuk beberapa saat, mengamati cewek kikuk yang kini mulai senyum-senyum sendiri.
Aku memberanikan diriku, mendekatinya, perlahan-lahan walau kuyakin saat ini dia tidak akan menyadari meski aku berlari. Aku mengintip sedikit apa yang tengah dia lihat lalu mulai merapat hingga jarak wajahku dan wajahnya yang sama-sama menghadap ke layar handphonenya nyaris bersinggungan jika ia menggeser sedikit kepalanya.
“Lihat apa?” kutanya.
“Astaga!!” pekik Anestesi yang langsung terjungkal ke belakang. Handphonenya sempat terlempar pelan dan berhasil kutangkap sementara Anestesi berakhir dengan p****t yang mencium lantai. Untung saja dia tidak berusaha berdiri, jika begitu bisa saja kepalanya benjol karena menimpuk bagian bawah tangga.
“Lo?!” ucapnya kaget sambil mengarahkan jari telunjukknya padaku.
“Nonton anime?” tebakku yang seketika membuatnya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kulihat dia mulai komat-kamit seolah sedang merutuki aku atau dirinya sendiri. Entahlah, aku belum belajar bahasa gerak bibir.
“LO NGAPAIN?” sergahnya dengan volume keras yang belum pernah kudengar sebelumnya dari Anestesi membuatnya segera menyumpal mulutnya dan kembali merutuki dirinya sendiri saat melihatku hanya tercenung.
“Lo ngapain?” tanyanya dengan nada yang lebih kalem. “Bikin gue kaget,” lanjutnya lalu memalingkan wajahnya yang kini sudah memerah.
“Gue kesini mau minta maaf,” ucapku yang seketika membuat Anestesi menoleh ke arahku dengan bimbang.
“Gue benar-benar minta maaf, Anes!” kataku sekali lagi meyakinkan dirinya bahwa aku serius dengan apa yang baru saja aku katakan.
Aku ulurkan tanganku, mencoba membantunya untuk bangun. Walau awalnya ragu, pada akhirnya Anestesi menerima uluran tanganku. Dia yang awalnya jatuh duduk ke lantai, kini sudah berada di posisi awalnya, duduk berjongkok. Aku kembalikan handphonenya yang berhasil aku selamatkan. Kami berdua pun duduk berjongkok bersebelahan dan kulihat dengan jelas Anestesi yang tengah memeriksa keadaan handphonenya. Dalam jarak sedekat ini, bisa kurasakan aroma parfum lavender miliknya. Kurasa sedikit lagi aku akan sesak napas jika terus terjebak dalam posisi seperti ini tanpa ada topik pembicaraan.
“Lo lagi nonton anime apa?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Nanatsu no Taizai,” jawabnya apa.
“Apa itu?” tanyaku lagi karena merasa asing dengan apa yang baru saja dia katakan.
“Tujuh pendosa besar,” jawabnya dengan suara datar yang entah bagaimana terdengar kaku seolah dia tidak ikhlas menjawab pertanyaan dariku.
“Sorry,” ucapku lagi.
Anestesi menghela napas panjang lalu menyipitkan matanya sembari memandangku.
“Ada apa?” tanyanya.
“Nggak apa-apa,” jawabku.
“Trus kenapa niat banget lo ngikutin gue dari koridor sampai sini?” tanyanya tidak percaya dengan jawaban yang kuberikan barusan.
“Ketahuan?” tanyaku sembari tersenyum malu.
Anestesi mengangguk mengiyakan.
“Tentu saja ketahuan,” sahutnya. “Lo pikir gue nggak tahu?”
Lagi-lagi aku hanya mampu tersenyum tipis mendengar ucapannya. Tidak ada niat untuk melakukan perlawanan atau sekadar mengungkapkan pembelaan.
“Lo kok jahat banget sih sama gue? Gue salah apa?” tanyanya dengan nada yang menyiratkan suatu pertanyaan besar yang membutuhkan sebuah jawaban.
“Lo nggak salah, gue nggak sengaja!” jawabku.
“Gue denger ya lo ketawa, lo sengaja!” sanggahnya.
“Emang lo yakin itu suara gue? Bukan suara mbak Melati atau kang pocong?” godaku.
Anestesi mengerucutkan bibirnya kesal.
“Masih sempat bercanda lo ya?” deliknya sebal.
“Ya gimana ya, hidup itu jangan dibuat marah mulu!” kataku entah kenapa malah memberi nasehat.
“Lo perlu nikmati toh pada akhirnya gue selamatin lo kan? Udah kayak pangeran!” kataku setengah menyombongkan diriku.
Anestesi semakin memanyunkan bibirnya. Aku rasa dia benar-benar tidak suka dengan jawaban yang memang sengaja kujawab begitu untuk mencairkan suasana tegang di antara kami.
“Lagipula, gue nggak tahu kalau lo punya fobia!”
Anestesi menghela napas kasar.
“Sekarang udah tahu kan?” sindirnya.
Aku mengangguk mengiyakan.
“Iya, dan nggak akan gue lakuin lagi. Sorry.” kataku meminta maaf lagi, entah untuk keberapa kalinya di hari ini.
“Lo suka minta maaf ya?” tanyanya.
Aku hanya tersenyum simpul.
“Pengalaman,” jawabku. “Kalau nolak atau minta putus,” imbuhnya yang langsung membuat Anestesi memutar bola matanya malas.
“Playboy!” dengusnya sebal.
“Rumornya sih gitu,” sahutku.
“Aslinya?” tanyanya penasaran.
“Nilai sendiri!” jawabku.
“Caranya?” tanya Anestesi lagi.
Aku menyeringai licik.
“Mau pacaran?” ajakku yang membuat Anestesi seketika melebarkan pupil matanya.
“Huh?” serunya dengan mulut sedikit terbuka.
“Gimana?” tanyaku sambil senyum-senyum.
“Kenapa gue harus pacaran sama lo?” tanyanya dengan heran.
“Katanya mau buktiin gue playboy atau nggak?” jawabku setengah menggodanya.
“Dih,” decihnya pelan. “Nggak ada cara lain?” tawarnya.
“Nggak ada,” sahutku. “Gue ganteng kok, nggak usah mikir dua kali!”
Anestesi menautkan alisnya.
“Siapa ganteng? Lo?” tanyanya dengan nada mencibir.
“Iyalah, masak monyet?” sergahku sedikit kesal.
“Coba lihat baik-baik!” suruhku.
“Nggak,” katanya sembari memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Rugi lho ntar nggak bisa lihat wajah ganteng gue dari dekat, eksklusif nih!” bujukku lagi.
Anestesi tidak peduli, ia tetap diam membuat kami terdiam dalam fase hening cukup lama. Aku juga tidak tahu harus melakukan apa untuk bisa bicara lebih lama lagi dengannya. Rasanya mengobrol dengannya sungguh menyenangkan. Walau aku selalu kesulitan untuk mencari kata awalan untuk memulai.
“Lo nggak mau pergi?” tanyanya dengan nada yang sedikit jutek setelah cukup lama diam.
“Harus?” tanyaku balik membuat Anestesi lagi-lagi berwajah jengkel.
“Kok lo beda?” Tanpa sengaja pertanyaan itu terucap membuat Anestesi menguratkan sebuah ekspresi wajah yang tidak bisa aku terjemahkan.
“Apanya?” tanyanya dengan dahi berkerut dan mata menyipit.
Anestesi mencondongkan tubuhnya k depan membuat pandangan kami sejajar dengan jarak yang bisa dibilang terlalu berbahaya.
“Anes!” panggilku dengan suara bergetar.
“Hm?”
“Lo kedeketan,” kataku sembari meletakkan jari telunjukku di keningnya. “Mau ngecek gue ganteng beneran apa nggak ya?” godaku.
Anestesi terhenyak kaget lalu memundurkan tubuhnya kembali.
“Sorry, kalau nggak gitu, lo nggak kelihatan,” katanya lalu buru-buru merangkak keluar dari tangga.
Aku segera menyusulnya, berjalan di samping Anestesi.
“Lo mau kemana?” tanyaku.
“Kantin,” jawabnya lalu mempercepat langkahnya meninggalkan aku yang hanya diam, sengaja membiarkan Anestesi pergi.
Aku terus menatap Anestesi hingga cewek itu menghilang dari hadapanku. Sempat tersenyum geli saat ia nyaris jatuh karena tersandung kakinya sendiri saat mempercepat langkahnya untuk menjauh dariku. Kekikukannya itu sungguh lucu dan entah mengapa aku menjadi penasaran tentang apa yang Anestesi katakan tadi.
Nggak kelihatan? Emangnya si Anestesi rabun jauh kok hanya bisa melihat objek yang dekat aja? Ah, tak tahulah, yang terpenting gue udah minta maaf. Perkara dia maafin atau nggak, itu urusannya. Tapi, kalau boleh berharap, dia harusnya sudah maafin gue.
[1] Bener kan kata sep, Ribut naksir Anestesi!