Kamu bukan Cinderella yang harus melepas sepatu kaca dulu untuk kucari. Juga bukan Snow white yang harus memakan buah apel dulu untuk bisa kutemui. Kamu adalah kamu dan aku menyukaimu.
Hari ini kelasku olahraga dan materi yang diajarkan adalah basket. Setelah pemanasan dan berlari lapangan beberapa kali, Pak Rahmat—guru olahraga kami meminta kami untuk saling bertanding. Tentu saja tim basket putra dan putri berbeda. Tim putra diminta bermain lebih dulu, masing-masing bermain selama lima belas menit. Aku suka bermain basket walau belum pernah jadi pemain inti karena kesibukan OSIS dan hal lainnya. Namun, kemampuanku tidak bisa dipandang sebelah mata, jika aku mau, mungkin aku bisa jadi kapten tim basket putra. Sayangnya pesona Anggoro—kapten basket putra tahun ini tidak bisa diremehkan. Si jerapah raksasa begitu julukannya karena memiliki tinggi badan hampir 180 cm di usia yang baru menginjak 17 tahun. Percayalah, Anggoro normal. Dia sama sekali tidak mengidap penyakit bernama gingatisme[1].
“Kak Ribut!!”
“Kakak, zaiyo!”
“Semangat kakak!”
“Fighting!! Sarange!!”
Teriak-teriakan dari fans dadakan yang entah sejak kapan tercipta di sudut lapanan itu hanya kutanggapi dengan senyuman. Sesekali aku melambaikan tangan ke arah mereka dan mereka akan menjerit histeris seolah aku baru saja melakukan hal yang hebat. Saat aku memasukkan bola, mereka akan bersorok gembira dan saat aku gagal memasukkan bola, mereka akan bersorak menyemangati. Cukup menghibur walau gemas rasanya jika ada lawan yang berupaya menghalangiku untuk mencetak angka dan tanpa sengaja mengenaiku, mereka—akan segera merutuki lawanku itu. Untungnya si Asep dan Firman berada di tim yang sama denganku. Kalau tidak, entah apa kabar mereka. Terlebih Firman lebih mengutamakan jambul ayam jagonya dibanding dengan permainan. Berbeda dengan si Asep yang selalu beristigfar setiap kena bola dan memekik innalillah setiap kali bola mengarah kepadanya.
Aku berlari menangkap umpan dari Haikal lalu melakukan awalan sebelum akhirnya melompat dan berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Bersamaan dengan itu, peluit tanda giliran kami usai pun berbunyi. Aku dan teman-teman yang lain segera keluar lapangan menuju sudut luar lapangan yang rindang dan menselonjorkan kaki kami. Sementara para anak perempuan bersiap untuk memulai pertandingan mereka. Aku mengamati salah satu dari mereka. Senyumku terbit saat kulihat Anestesi mulai memasuki lapangan dengan malas. Cewek kikuk itu sepertinya akan hanya diam saja atau ikut teman perempuanku yang lain teriak-teriak sambil mengikuti kemana bola pergi.
“Kak Ribut!!”
“Kak, noleh dong!”
“Kakak, kyaaa,”
“Berisik!! Diem deh! Masuk kelas sana!”
Omelan khas itu membuatku tersenyum geli ke arah Linda yang sudah memulai aksinya. Wakil ketua kelasku itu memang sangat bisa diandalkan. Selama hampir dua tahun ini, dia selalu menjadi bodyguard gratis untukku. Dia akan mengomeli setiap adik kelas atau teman seangkatan yang mulai lebai dan membuat keributan yang tidak berarti. Anehnya, dia tidak pernah menembakku. Bahkan setiap kali chat, dia hanya menjawab dengan singkat. Aku sudah mencoba merayunya, tetapi balasan yang kudapat sungguh di luar perkiraan.
ME
Malam Linda, cantik :)
Linda WaKeLas
Ada apa?
ME
Lagi ngapain?
Linda WaKeLas
Mau tidur.
ME
Gitu ya? Met bobok ya.
Jangan lupa mimpiin aku.
Linda WaKeLas
Najiz!
Sejak penolakan Linda terhadapku yang katanya “Najiz” untuk memimpikanku. Bukan hanya najis biasa tetapi pakai ‘Z’ seolah dia ingin menekankan betapa ogahnya dia untuk melakukan itu walau sekadar pura-pura untuk menyenangkan aku, aku pun memutuskan untuk melakukan metode lain. Setiap hari selama seminggu bertepatan dengan Ujian Akhir Semester Genap kelas X, aku selalu meletakkan bunga di kolong mejanya selama seminggu, tetapi dia mengabaikan bunga-bunga itu sehingga layu dan kering. Di hari terakhir, aku memaksanya menerima bunga itu darinya tetapi penolakan keduanya sungguh menyebalkan.
“Lin, bunga-bunga ini buat lo! Kok nggak diambil?” tanyaku saat kami hanya berdua di ruang kelas karena memang dia itu setiap ujian selalu mengumpulkan lembar jawaban paling akhir dan pulang saat semua sudah pulang.
Linda menatapku dengan dingin.
“Lo yang kirim, But?” tanyanya dengan ekspresi datar yang benar-benar menyebalkan.
Aku mengangguk mengiyakan.
“Iya, kok nggak diterima?” tanyaku lagi, bingung karena dia hanya satu-satunya cewek yang tidak mau menerima bunga pemberianku.
“But, kalau lo mau nargetin gue sebagai pacar lo selanjutnya, lo salah orang!” katanya to the point.
“Huh?”
“Gue nggak mau jadi pacar lo! Gue sukanya sama jambul katulistiwa bukan cowok ganteng macam lo!” Linda menambahkan.
Setelah itu Linda melewatiku, hendak pulang. Di depan pintu dia berhenti, berbalik dan aku hanya melongo menatapnya.
“Lagipula gue belum mati, lo nggak usah bawain bunga!” katanya lalu pergi dengan tatapan dingin yang langsung membekukan tubuh, pikiran dan semua relung hatiku.
Sejak peristiwa memalukan itu, aku tidak pernah berniat untuk mendekati Linda. Walau begitu, Linda selalu menolongku saat aku butuh bantuan. Bisa dibilang, dia yang paling bisa di andalkan saat aku dalam kesulitan karena fans dadakanku itu. Jika aku pikir lagi setelah mengingat peristiwa yang sebenarnya memalukan itu, aku menyadari satu hal. Alasan Linda menolakku, mungkin saja karena sebenarnya si jambul ayam yang Linda maksud adalah si Firman. Benarkah? Jadi Linda menolak seorang Ribut Jagad Satria demi Firman si jambul ayam? Really?
Aku amati Firman, entah kenapa rasa marah dan sedikit terhina menelusup dalam rongga hatiku. Harga diriku merasa tersakiti. Namun, aku belum cukup gila untuk membenci Firman karena perkara ini toh mungkin Firman merasakan perasaan ini lebih banyak dibandingkan diriku. Karena menurut Harpa, si tukang gosip, cewek yang Firman taksir selalu menolaknya karena cewek-cewek itu lebih tertarik padaku. Aku tidak ingin percaya begitu saja pada Harpa, tetapi menanyakan langsung pada Firman tentang itu, aku tidak berani. Firman menyembunyikannya, itu artinya ini adalah sebuah privasi yang dikhawatirkan akan merenggangkan persahabatan kami seandainya diungkapkan. Karenanya, biarlah semua menjadi sebuah rahasia.
“Kenapa But kok lo natap gue kayak macan mau nerkam rusa?” tanya Firman yang seketika langsung membuatku tersadar dari lamunan tidak berfaedahku.
Aku hanya tersenyum kecil berupaya mengabaikan perasaan terancam yang Firman rasakan.
“Kagak,” elakku.
“Sep, Asep! Lo tadi liat kan? Tatapan mata Ribut yang tajam dan nusuk banget ke gue, ya kan?” Firman meminta dukungan pada Asep.
Aku hanya menatap Asep lekat seolah memintanya untuk memihakku dan ustadz yang sekarang terpaksa melepas pecinya karena sedang olahraga itu hanya mengangguk pelan.
“Pengkhianat lo!” dengus Firman kesal.
“Asep mah cuma jawab jujur, Firman aja kebaperan!” kilah Asep yang langsung membuat Firman makin meradang.
“Eh ustadz, gue nggak kebaperan. Faktanya tuh tadi si Ribut beneran natap gue pake mata elang!” jelas Firman sekali lagi.
“Lo aja tu kebaperan, Man! Tadi lo bilangnya macan, sekarang elang nggak konsisten lo. Caper ( Cari perhatian ) lo, Man!” celetuk Wawan.
“Itu cuma perumpaan tauk! Lo diem aja deh kalau nggak ngerti!” omel Firman.
“Haha.” Wawan hanya terbahak membuat Firman semakin sebal. “Ketawa aja terus lo! Gue sumpahin kemasukan lalat tuh mulut!” kutuk Firman.
“Dih, segitunya. PMS, Neng?” ledek Wawan lagi.
“Udah, udah kalian jangan berantem! Tuh lagi seru!” lerai Haikal sembari menunjuk ke tengah lapangan dimana teman-teman perempuan di kelas kami tengah bermain.
Kami pun berhenti berdebat dan melihat pertandingan basket teman perempuan kami. Anestesi bermain dengan cukup baik jika kuamati. Dia tidak pernah mengikuti arus para teman kami yang lain, yang hanya mengejar bola tanpa memikirkan strategi. Hanya berupaya memegang bola selama mungkin tanpa berniat mencetak angka. Sebuah pemikiran yang lebih mengandalkan perasaan daripada logika. Mungkin karena itu deretan para mantanku lebih fokus mempertahankan aku selama mungkin tanpa membuatku nyaman berada di sisi mereka. Oke, lupakan. Mari fokus ke Anestesi.
Saat ini Anestesi menggiring bola, melakukan satu-dua awalan dan melompat.
Braak
Tubuh Anestesi terhempas, saat ia melompat, Imel—teman sekelasku yang berpostur tubuh besar dan tinggi itu berupaya mencegah Anestesi memasukkan bola. Imel bukan atlet, hanya kurasa insting kingkong miliknya agar tidak mengalami kekalahan merasukinya hingga ia melakukan itu. Anestesi tersungkur dan entah sejak kapan, aku sudah berlari mendekatinya.
“Lo nggak apa-apa?” tanyaku seraya dengan sigap sudah memegangi Anestesi, membantu cewek itu berdiri.
Anestesi sempat melayang, shock mungkin akibat terjangan dari Imel sehingga membuatnya kehilangan sedikit keseimbangan dan menjadi goyah.
“Gue bantu!” kataku saat melihat lutut Anestesi berdarah.
Anestesi tidak menjawab. Dia seolah mendadak menjadi linglung.
“Bantu gue! Mau gue gendong ke UKS!” suruhku pada teman cewekku yang mulai panik. Kulihat Imel bahkan berkaca-kaca, wajahnya juga tampak pucat. Dia sangat takut kalau Anestesi kenapa-kenapa. Itu bagus, itu artinya dia tidak sengaja melakukan hal ini.
Aku menegakkan tubuhku begitu Anestsi sudah berada di punggungku. Aku sempat memperbaiki posisinya karena kurasa belum benar. Aku mulai berjalan tetapi berhenti di depan Imel. Aku tersenyum kepadanya dengan tulus.
“Nggak apa-apa, bukan salah lo!” ucapku mencoba menenangkan Imel.
Setelah itu aku membawa Anestesi ke UKS, sementara pertandingan dihentikan. Kelas telah dibubarkan lebih awal. Semua kembali ke kelas dan kurasa baik Anestesi maupun Imel, keduanya sekarang sudah baik-baik saja. Bu Yuni, dokter jaga di UKS sekolahku segera memberikan pertolongan pada Anestesi. Menurut beliau, luka Anestesi tidak parah. Cukup dibersihkan dengan alkohol, diberi obat merah, dibalut dengan kain kasa dan kapas. Sentuhan terakhir direkatkan dengan plester maka semua beres.
Aku tersenyum, melihat Anestesi yang sedang memejamkan matanya. Bu Yuni bilang Anestesi kelelahan jadi dibiarkan saja. Aku pun kembali ke kelas, membiarkan dirinya terlelap. Setidaknya, aku sudah berhasil melakukan sesuatu yang ingin aku lakukan padanya yaitu menyentuh tangannya dan aku sudah melakukannya. Kini aku sudah tahu arti debaran jantungku setiap kali aku berada di dekat Anestesi. Aku menyukainya.
***
Sekitar jam delapan, aku sudah tidur. Bermain basket dan juga mengendong Anestesi ke UKS serta juga menerima kenyataan dia pulang duluan bahkan tanpa pamit padaku yang kebetulan lagi terjebak rapat OSIS, membuatku benar-benar kelelahan secara jiwa dan raga. Akibatnya aku tidur lebih awal dari jam tidurku yang biasanya selalu jam sebelas atau bahkan jam satu dini hari jika terlalu asyik bermain PS atau membaca novel Harry Potter kesukaanku. Sudah k****a berulang kali tetapi tetap saja kuulangi lagi dari awal setiap kali selesai k****a. Meski tidur lebih awal suara deringan ponsel memaksa tubuhku yang lemah untuk kembali membuka mataku yang masih terasa sangat berat. Aku menyapu daerah sekitar kasurku mencari benda pipih yang selalu kubawa kemana-mana bahkan ke toilet. Pencarianku terhenti ketika kakiku merasakan dinginnya logam tembaga itu. Dengan mata masih terpejam, kudekatkan handphoneku ke telinga.
“Halo? Asep, gue mau tidur! Please, lo kalau mau ceramah besok aja. Gue udah sholat isya’!” cerocosku tanpa henti karena yang berada di pikiranku saat ini adalah si Asep yang selalu memarahiku setiap kali aku tidur awal dan sering kebablasan sampai subuh.
“A-Asep?”
Suara seberang sana terdengar dan membuatku seketika membuka kelopak mataku yang tertutup. Aku segera bangun, duduk dengan kepala pening karena bangun mendadak. Suara itu adalah suara Anestesi.
“Gue bukan Asep, Ribut!”
Nada suaranya kalem dan entah kenapa terdengar begitu merdu membuatku entah kenapa menerbitkan senyum padahal matahari saja belum terbit.
“Anestesi?” tanyaku memastikan walau sebenarnya sudah yakin.
“Iya,” sahutnya. “Gue ganggu ya?”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, merasa bahwa Anestesi di seberang sana seperti bisa melihat gelengan kepalaku.
“Ribut, denger kan? Udah tidur ya?” kata Anestesi lagi karena aku tidak menjawab pertanyaannya.
“Ah, belum kok!” jawabku dengan cepat seolah takut dia akan mengakhiri panggilan telponnya.
“Oh gitu.” Ada jeda sejenak. “Ribut udah tidur ya?”
“Iya, barusan,” jawabku.
“Sorry ya ganggu,” kata Anestesi lagi.
“Nggak, kok! Ada apa nelpon gue?” tanyaku penasaran mengapa tiba-tiba dia menelponku padahal tadi di sekolah dia masih galak padaku. Apalagi aku dan dia belum pernah bertukar nomer telepon.
“Oh, itu, makasih,” katanya. “Udah gendong gue ke UKS,” lanjutnya dengan nada malu-malu.
“Nggak apa-apa kok, santai aja! Gue kan ketua kelas, udah kewajiban nolong anggota kelas yang butuh pertolongan!” ucapku beralasan walau sebenarnya hati sudah jerit-jerit karena Anestesi menelponku hanya untuk mengucapkan terimakasih padaku.
“Gitu ya, Ribut udah kayak P3K dong! Siap siaga nolongin pertama!” katanya lalu terkekeh pelan.
Aku terdiam, tidak menyangka seorang Anestesi bisa mengobrol setenang dan semerdu itu. Aku tahu dia cantik, manis dan imut. Hanya saja, mendengarnya begitu, entah kenapa sangat berkesan. Terlebih sikapnya seakan berubah-ubah. Dari kikuk, pemarah dan sekarang bahkan mengajakku bercanda.
“Ah, maaf! Nggak lucu ya? Garing ya?” kata Anestesi terdengar panik.
“Nggak, kok! Lucu!” sanggahku.
“Ah, syukurlah!” katanya yang kemudian disusul desahan napas lega.
“Tahu nomer gue dari siapa?” tanyaku.
“Hm, Firman!” jawabnya. “Tadi Firman nelpon, dia juga jelasin kalau bukan lo yang ngunci gue di Lab. Maaf banget udah marah dan salah paham!”
Aku mengernyitkan keningku, heran. Sama sekali tidak terduga bahwa Firman akan meminta maaf pada Anestesi bahkan menjelaskan padanya bahwa aku bukan yang mengunci Anestesi di Lab. Padahal tadi pagi Firman dan Asep masih menghindar saat kusuruh meminta maaf pada Anestesi. Ah, si jambul ayam memang tidak terduga.
“Dimaafin kan, But?” tanya Anestesi.
“Pasti,” jawabku.
“Syukurlah,” sahutnya. “Makasih ya,”
“Iya, sama-sama!”
Hening. Tidak ada pembicaraan sehingga yang bisa kudengar hanya hembusan napas Anestesi di ujung sana. Demikian pula dia, mungkin hanya mendengar hembusan napasku di ujung telpon.
“Udah? Kalau gitu, gue tutup ya!” kataku berniat mau lanjut tidur walau sebenarnya enggan. Hanya saja tidak ada topik pembicaraan.
“But,” panggil Anestesi.
“Ya? Ribut bahasa Inggrisnya apa?” tanyanya.
Aku mengernyitkan keningku. Pertanyaannya ambigu.
“Ribut yang mana nih?” kutanya.
“Ribut, bahasa Inggrisnya apa?” ulangnya lagi.
“Kalau Ribut yang lebih ke rame ya Noisy. Kalau Ribut yang lebih ke berantem ya Fight,” jawabku. “Emang kenapa kok nanya gitu?”
“Kalau Ribut Jagad Satria, artinya apa?” tanyanya.
Aku tercenung, bingung. Apa hubungannya antara pertanyaan Ribut dalam bahasa Inggris dengan arti namaku?
“Ribut Jagad Satria artinya kesatria yang berhasil mengalahkan musuhnya yang sejagad,” jawabku. Sedikit ngawur karena sebenarnya aku belum pernah membicarakan arti namaku dengan ayah atau ibuku. Jika kutanya Angin, dia akan menjawab asal dengan otaknya yang kebanyakan membahas soal hewan daripada manusia.
“Kalau nama lo, artinya apa?” tanyaku, mencoba membuat permbicaraan kami tidak terputus di tengah jalan.
“Ah, kata mama sih dinamai Anestesi Novem Wahyuni karena gue anak pertama yang lahir dengan operasi cecar di bulan November sehingga diharapkan mendapatkan banyak wahyu dari Tuhan,” jelas Anestesi.
“Oh gitu, keren!” pujiku.
“Beneran keren? Bukannya aneh?” tanya Anestesi lagi.
“Keren, kok! Kalau aneh, lebih aneh nama gue. Ya kan?”
“Hehe, iya sih!” kudengar Anestesi tertawa lagi.
Aku pun mengubah posisiku menjadi telungkup dengan bantal sebagai penopang dagu. Tak lupa mengubah posisiku menjadi sembilan puluh derajat dengan kaki menempel di dinding.
“But,” panggilnya.
Aku berdehem. “Ya?”
“Kalau besok gue traktir di kantin sebagai permintaan maaf dan ucapan terimakasih boleh?”
Aku berhenti bernapas sebentar, kaget bahkan shock Anestesi melancarkan pertanyaan yang mengembirakan seperti itu.
“Boleh,” jawabku sambil mengulum senyum.
“Serius?”
“Iya,” jawabku sambil menenggelamkan mukaku ke bantal.
“Yaudah, sampai besok ya!”
“Oke,”
“Nite,”
Klik.
Telpon berakhir.
Aku menurunkan kakiku dari dinding lalu menendang-nendang kakiku ke kasur, girang. Rasanya aku baru saja mendapat durian runtuh atau bahkan meteor jatuh. Besok aku akan makan bersama cewek yang kusukai. Rasanya sudah lama aku tidak merasakan kegembiraan seperti ini.
Seandainya kamu tahu Anestesi tentang isi hatiku. Kamu memang bukan Cinderella yang harus melepas sepatu kaca dulu untuk kucari. Juga bukan Snow white yang harus memakan buah apel dulu untuk bisa kutemui. Kamu adalah kamu dan aku menyukaimu karena itu adalah kamu.
Gue suka lo, Anestesi dan gue nggak peduli meski Asep dan Firman tahu soal ini. Yang jelas, ini pertama kalinya gue jatuh cinta setelah sekian lama terjebak dalam bayangan Sigma. Ah, senangnya. Sungguh malam yang indah.
[1] Kelainan yang membuat badan tumbuh tinggi secara tidak wajar.