4. Calon Istri

1610 Kata
Senyuman yang terus terkembang di bibir Vanilla laksana mentari pagi yang menyapa di kaki langit. Manik matanya yang indah terus berpendar dipenuhi kebahagiaan. Indahnya lukisan pagi hari ini semakin menyemarakkan suasana hati gadis itu. Matahari bahkan belum sepenuhnya meninggalkan peraduan ketika Vanilla tiba di rumah William. "Selamat pagi, Non Vanilla. Cari Non Cinta ya? Mari masuk, Non. Tapi maaf, Non Cinta sepertinya belum bangun." Suara ramah Bi Darti terdengar tak lama setelah daun pintu terkuak. Vanilla mendesah kasar sambil mengusap lututnya yang terasa kaku lantaran cukup lama berdiri menantikan seseorang membukakan pintu untuknya. "Om Willi di mana, Bi? Aku ingin menemuinya." "Oh, Tuan ada di ruang olahraga. Mau Bibi antar?" Wanita setengah tua itu menawarkan. Kedua wanita beda generasi itu berjalan bersisian menyusuri lorong istana megah William. "Enggak usah. Aku bisa ke sana sendiri, Bibi selesaikan saja pekerjaan Bibi." "Baik, Non." Mereka berpisah. Vanilla mengambil langkah menuju ruangan yang dimaksud Darti tadi. Derap langkahnya terdengar mengetuk-ngetuk lantai. Perasaannya jauh lebih membaik saat William berkata akan segera menikahinya dalam waktu dekat. Tidurnya menjadi nyenyak dan harinya terasa menyenangkan. Vanilla merasa jalannya untuk membalas dendam akan menjadi mudah. Baginya, tak ada yang jauh lebih penting dibandingkan dendamnya saat ini. "Kedua pengkhianat itu harus mendapatkan balasannya. Jangan kira aku akan diam saja," gumamnya pelan. Jarak setiap ruangan yang cukup jauh membuat Vanilla sedikit terengah. Rumah William memang berukuran sangat luas, itulah mengapa ada banyak asisten rumah tangganya yang dipekerjakan dengan tugasnya masing-masing. Sisa satu lorong lagi maka Vanilla akan sampai pada tujuannya. Ia sungguh tak sabar memberikan kejutan untuk calon suaminya. Sampai tiba-tiba saja langkah Vanilla memelan saat dengan samar ia mendengar percakapan di balik sebuah kamar. Pertengkaran lebih tepatnya. "Siapa yang berantem sepagi ini? Bukankah semua kamar di rumah ini kedap suara?" Vanilla yang mulai terusik pun berjalan mendekat ke arah daun pintu. Dipasangnya baik-baik telinganya untuk menajamkan pendengarannya. Vanilla mengedarkan pandangannya. Wajar jika suara dari dalam terdengar sampai rungunya, Vanilla baru menyadari kalau dia baru saja melewati kamar tidur tamu. "Mungkin tamunya Om Willi." Vanilla berniat untuk kembali melanjutkan perjalanan, sampai kemudian suara dari dalam berhasil menahan langkahnya lagi. "Mau sampai kapan kamu giniin aku terus, Aksa? Bukti apa lagi yang bikin kamu percaya kalau aku cinta sama kamu." Deg. Vanilla terpaku di tempat mendengar suara Cinta yang berteriak, yang ia yakini sedang berbicara dengan Aksa. "Dan mau sampai kapan kamu pura-pura bodoh? Berkali-kali aku bilang kalau aku sama sekali nggak cinta sama kamu karena sampai kapan pun cintaku cuma buat Vanilla!" tegas Aksa penuh penekanan di setiap ucapannya. "Aku tahu itu, tapi apa nggak bisa kamu belajar untuk mencintai aku, sedikit saja? Bukan cuma Vanilla saja yang cinta sama kamu, aku juga. Kalau kamu cinta sama dia, bagaimana dengan perasaanku?" Terdengar Cinta meraung di dalam sana. "Cih, kamu pikir aku peduli? Gara-gara tindakan gila kamu, aku sampai kehilangan Vanilla. Kamu nggak akan tahu seberapa berharganya Vanilla di hidupku, Cinta. Hanya dia! Cuma Vanilla satu-satunya perempuan yang aku cintai. Hanya Vanilla seorang perempuan yang aku harapkan untuk menjadi pendamping hidupku, ibu dari anak-anakku. Apa kamu puas sudah melakukan semua ini? Puas, melihat hubunganku dengan Vanilla hancur? Aku nggak habis pikir, teman macam apa kamu!" "Semuanya aku lakukan karena aku cinta sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu, aku benci melihat kamu dan Vanilla bersama apa lagi jika kalian sampai menikah. Aku nggak rela." Cinta menyahut. Suaranya bergetar menahan sesak dan amarah yang bercampur begitu menggelegak di dadanya. "Itu bukan cinta, tapi gila! Kamu sudah gila!" Tak ada kelembutan yang terdengar ketika Aksa berbicara dengan gadis yang sekarang telah menjadi istrinya. Vanilla dapat dengan jelas mendengarnya karena posisi mereka yang hanya terpisahkan oleh daun pintu. "Tolong jangan tinggalin aku, Aksa. Please ... Bagaimana aku bisa hidup tanpa kamu? Aku sampai berbuat sejauh ini demi bisa mendapatkanmu." Cinta terdengar begitu memohon. "Tentu. Tentu saja kita harus tetap bersama. Aku harus menghukummu karena kamu sudah berani menggunakan jebakan murahan itu untuk memisahkan aku dan Vanilla. Mana mungkin aku akan melepaskanmu begitu saja," timpal Aksa. Sementara itu di luar, Vanilla bergeming. Sejujurnya dia tak ingin mendengarkan pertikaian sepasang pengantin baru itu, tapi entah mengapa kakinya seolah tertanam dan enggan sekedar bergeser meski hanya sejengkal dari sana. Mendengar pengakuan cinta Aksa yang begitu besar padanya membuat Vanilla merasa iba terhadap pria itu. Akan tetapi rasa sakitnya ketika melihat calon tunangan dan sahabat baiknya sedang bergelung di bawah selimut yang sama dengan tubuh polos, membuat kebenciannya pada dua pengkhianat itu kembali membara. Vanilla tak akan dengan mudah melupakan kejadian itu, dan untuk itulah dia berada di sana sekarang. Vanilla akan memberikan perhitungan terutama pada Cinta, sahabat karib sekaligus duri dalam kisah asmaranya dengan Aksa. "Aku rela. Apa pun hukuman yang akan kamu berikan sama aku, akan aku terima. Aku bisa menanggung semua rasa sakit selagi itu bukan karena melihatmu dan Vanilla bersama. Asalkan kamu tetap menjadi suamiku." "Aku pegang kata-katamu. Jangan sampai kamu mundur dengan sendirinya," sinis Aksa. "Hm, satu hal yang harus kamu ingat! Kamu bisa jadi memang memilikiku, tapi tidak dengan hati dan cintaku karena sampai kapan pun semuanya hanya akan menjadi milik Vanilla," imbuhnya dan bersiap pergi dari sana. Vanilla terkesiap saat mendengar gagang pintu berputar, tak ada waktu baginya untuk melarikan diri. "Vanilla," ucap dua pria bersamaan. Gadis berambut panjang itu menghembuskan napas lega melihat William berdiri di ujung lorong, sementara di depan pintu Aksa terpaku melihat kedatangannya. Di belakang pemuda itu, Cinta berdiri dengan penampilan yang tampak kacau. "Sedang apa kamu di situ?" William mengambil langkah lebar menghampiri Vanilla. 'Semoga saja dia nggak dengar pertengkaran aku dengan Aksa barusan.' Cinta membatin. "Ehm, aku? Tentu saja untuk menemui Om." Vanilla menjawab dengan tergagap, berharap tak ada yang tahu jika sejak tadi dia berada di sana dan tak sengaja mendengar pertengkaran Aksa dan Cinta. "Sepagi ini?" William menyipitkan mata menatap penuh selidik. "Iya, bukankah kita punya urusan?" Vanilla mengerling manja pada pria dewasa itu. Gantian William yang tergagap. "Ah, apa yang kalian berdua lakukan di sini? Apa kalian tidur terpisah lagi?" William berusaha mengalihkan pembicaraan dengan bertanya pada anak dan menantunya. "Enggak, Pi. Kebetulan pagi-pagi sekali Aksa bangun untuk mengecek pekerjaannya." Cinta yang menyahut. Aksa memang diberikan kepercayaan untuk mengurus anak perusahaan ayahnya di tengah kesibukannya merampungkan kuliah. Sengaja Cinta memberikan alasan itu agar William tak curiga pada hubungannya dan Aksa yang masih bersitegang semenjak mereka menikah. "Hm. Kembalilah ke kamar kalian. Ini hari Minggu dan seharusnya kamu bisa membagi waktu, Aksa." William mengingatkan menantunya. Tanpa mengatakan apa pun, Aksa berlalu begitu saja meninggalkan semua orang. Pemuda itu sempat melirik Vanilla dengan ekor matanya dan seperti biasa, pancaran matanya selalu dipenuhi cinta. "Ngapain kamu ke sini pagi-pagi begini? Kayak orang nggak punya etika bertamu pagi banget," celetuk Cinta yang bersiap menyusul suaminya. "Jaga bicaramu, Cinta! Papi nggak pernah ngajari kamu bersikap tidak sopan sama orang!" hardik William yang memang tak suka melihat tingkah sinis anaknya. "Enggak apa-apa, Om. Biarkan saja, toh aku ke sini bukan untuk nemui dia, kok." Vanilla menyela pembicaraan ayah dan anak itu. "Aksa sudah nikah sama aku, jadi aku harap kamu bisa jaga sikap." Cinta mendorong bahu Vanilla sampai punggung Vanilla membentur dinding. Aksa yang sempat melihat wanita yang dicintainya itu mengaduh kesakitan pun marah dibuatnya. "Cinta! Sikap Vanilla yang mana yang harus dijaga? Apa nggak kebalik? Perkataan seperti itu jauh lebih pantas ditujukan untukmu." Aksa membalikkan badan menuding Cinta dengan telunjuknya. William terperangkah tak percaya melihat Aksa berani membentak Cinta di hadapannya. Sebegitu besarnya rasa cinta dalam diri Aksa sampai dia rela melakukan apa saja demi melindungi Vanilla. "Jangan pernah menganggu Vanilla, atau kamu nggak akan pernah bisa melihatku lagi," ucap Aksa, tatapannya disapu kobaran api yang seolah dapat menghanguskan Cinta dalam sekejap. "Hei! Berani sekali kamu meninggikan suaramu pada anakku di hadapanku!" William maju dan merenggut kerah piyama yang dikenakan Aksa. Buru-buru Vanilla memasang badan dan menyingkirkan tangan William dari sana, dan hal itu sukses membuat William meradang. "Jangan ikut campur urusan di dalam rumah ini!" Barisan gigi William bergemerutuk. Seandainya Vanilla tak menghalanginya maka sudah sejak tadi William mendaratkan tinjunya di wajah Aksa. "Tentu saja aku berhak ikut campur." Vanilla membalas tatapan sengit calon suaminya. "Kamu pikir siapa dirimu?" "Lho, Om nggak lagi pura-pura amnesia, kan? Om sendiri yang ngajak aku buat nikah. Aku calon istri, Om. Takut Om lupa," kata Vanilla dengan lantang. William reflek melepaskan tangannya dari kerah baju Aksa dan melangkah mundur saat semua orang menjadikannya pusat perhatian. Cinta menatapnya penuh tanya, tak berbeda jauh dengan Aksa. Apa yang baru saja diucapkan Vanilla membuat mantan kekasihnya itu terperangah. "Papi beneran mau nikahin Vanilla?" tanya Cinta menuntut jawaban. "Iya." Vanilla menjawab tegas. Cinta tersenyum mengejek sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. "Yang benar saja, mana mungkin papi mau nikahin cewek kayak kamu." "Aku nggak peduli kamu mau ngomong apa, yang jelas aku sama papamu memang mau nikah. Kalau nggak percaya, tanya saja langsung sama orangnya." Setelah apa yang diperbuat Cinta padanya, Vanilla masih tak habis pikir mengapa sikap sahabat karibnya itu berubah menjadi sangat memuakkan. Cinta bahkan tak meminta maaf padanya karena telah merebut Aksa dan membuat pertunangannya batal. "Jawab aku, Pi. Apa benar yang diomongin Vanilla? Papi mau nikah sama dia?" William bergeming. Tenggorokannya serasa terganjal batu besar, sama sekali tak ada kalimat yang lolos dari bibirnya. "Nggak apa-apa kalau Om mau batalin pernikahan ini, kok. Mumpung belum terlanjur, aku juga nggak rugi." Vanilla membalikkan badannya meninggalkan keluarga itu. Setelah dengan penuh percaya diri merasa jalannya untuk membalas dendam akan dimudahkan, sepertinya Vanilla harus berpikir ulang. Ia tak yakin ucapannya barusan akan berpengaruh pada William. Vanilla takut William benar-benar membatalkan rencana pernikahan mereka, dan dia harus memikirkan rencana cadangan. "Vanilla." Langkah gadis itu terhenti saat William memanggilnya, tanpa menoleh dia menantikan detik demi detik berlalu. Vanilla meremas kedua tangannya menunggu kelanjutan ucapan William.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN