5. Kawin Lari

1446 Kata
"Papi keterlaluan!" "Cinta, tunggu! Papi belum selesai bicara, setidaknya biarkan Papi menjelaskan terlebih dulu." Vanilla dan Aksa begeming menyaksikan ayah ada anak itu saling berkejaran. Cinta murka pasca mendengar jawaban William yang menegaskan rencana pernikahannya dengan Vanilla, dan tak mau mendengar penjelasan apa pun. Merasa kehadirannya di sana telah menimbulkan pertikaian, Vanilla memutuskan untuk pergi. Lagi pula untuk apa dia berada di sana, toh tujuannya sudah tercapai. Ia juga masih merasa kurang nyaman jika hanya berduaan dengan Aksa. Keduanya menjalin kasih untuk waktu yang lama. Setelah impian indah yang sama-sama mereka rajut menjadi kandas, semuanya berubah. Tak mudah melupakan orang yang pernah mendiami hati kita untuk waktu yang lama. "Van." Langkah Vanilla tertahan, Aksa mencekal pergelangan tangannya. "Tolong lepas, dan jaga sikapmu mulai sekarang. Kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi, aku nggak mau orang berpikiran buruk padaku. Kamu sudah punya istri. Mendengar Cinta mengataiku tadi, itu sangat menyakitkan." "Aku pikir saat kamu memintaku untuk menemuimu tempo hari, kamu sudah berubah pikiran," lirih Aksa menurunkan tangannya. "Apa kamu berharap aku melakukan seperti apa yang dituduhkan oleh istrimu barusan? Kamu mau aku merendahkan harga diriku dengan terus mengejarmu dan membiarkan orang-orang mengataiku sebagai perebut suami orang? Kalian berdua sama saja. Sama-sama pengkhianat." Gemetaran Vanilla dibuatnya teringat kejadian buruk itu lagi. "Berapa kali harus aku bilang kalau aku nggak pernah melakukan itu dengan Cinta, Van." Aksa mendesis. Rasanya percuma saja dia menjelaskan duduk permasalahannya kalau Vanilla hanya menganggap itu sebagai sebuah pembelaan diri. "Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kalian berbagi satu selimut dengan tubuh polos. Bukti apa lagi yang ingin kamu berikan? Dan setelah kejadian itu kamu masih ingin aku mempercayai semua ucapanmu?" Skakmat. Aksa bergeming. Dia memang tak memiliki bukti kuat untuk membuktikan ucapannya kalau apa yang terjadi padanya dan juga Cinta waktu itu hanyalah sebuah drama kebohongan yang diciptakan Cinta. Dan semua itu sengaja dilakukan Cinta demi bisa menghancurkan hubungan mereka. "Terkadang mata dan telinga masih bisa bohong, Van. Tapi tidak dengan hati. Aku yakin, sangat yakin kalau sebenarnya jauh di dalam lubuk hati terdalam kamu sebenarnya masih menyimpan cinta yang sama buat aku." "Sayangnya kamu salah, Aksa." Menekan d**a pemuda itu dengan telunjuknya. "Sebesar apa pun cinta yang pernah ada di hatiku buat kamu, semuanya sudah lenyap bersamaan dengan hancurnya impianku saat itu. Semuanya sudah cukup jelas. Kita memang nggak ditakdirkan untuk bisa bersatu, dan kamu yang sudah menghancurkan semuanya. Kamu sudah memilih jalan hidupmu sendiri, dan aku juga akan melakukan hal yang sama." Vanilla mengusap titik bening yang bergulir membelai pipinya. Sebongkah daging merah di balik rongga dadanya masih terasa amat sakit tiap kali ia teringat kejadian itu. Kejadian saat di mana Aksa dan Cinta terpergok sedang tidur bersama di sebuah hotel mewah. "Van." Vanilla tak menghiraukan panggilan Aksa dan terus melangkah. "Van, tunggu! Apa benar kamu akan menikah dengan Papi Willi?" Sepersekian detik tubuh Vanilla membeku. Kemudian tanpa menoleh ia menjawab, "Iya. Aku kan sudah bilang kalau aku sudah nggak punya rasa apa-apa lagi sama kamu, jadi bebas dong aku mau menikah dengan siapa saja, termasuk dengan Om William. Yang terpenting aku tidak sedang merebut laki-laki lain dari pasangannya, dan aku bukan pengkhianat." Ucapan Vanilla seperti menembus ulu hati Aksa meninggalkan luka berdarah-darah. Lelaki itu membeku menatap kepergian mantan kekasihnya. Tak peduli sekeras apa pun ia mengelak dan mengatakan jika dirinya tak bersalah, kenyataan ia berselingkuh dengan Cinta tak akan dengan mudah dihapus begitu saja. Kekecewaan dalam diri Vanilla padanya telah mendarah daging. Sementara itu di lantai atas bangunan megah tersebut, William tak henti mencoba memberikan penjelasan pada Cinta. "Sayang, please dengerin Papi dulu." "Bisa-bisanya Papi mau nikah sama dia, dan nggak minta izin sama aku? Papi anggap aku ini apa? Dan lagi, Papi sudah janji untuk tidak menikah lagi setelah kepergian mami. Nggak ada yang boleh gantiin posisi mami di hati Papi. Nggak ada!" teriak gadis itu dengan meledak-ledak. "Dengar Papi ngomong dulu, Cinta." Cinta terus menepis saat William berusaha memeluknya. "Papi kan tahu dia itu siapa? Dia itu teman aku, Pi. Masa iya aku punya ibu tiri yang seumuran sama aku? Dan dia perempuan yang sangat digilai Aksa, aku harap Papi nggak melupakan soal itu." "Ngerti. Papi paham banget, maka dari itu Papi sampai nekat mengambil keputusan besar untuk menikahi Vanilla. Karena dia perempuan yang dicintai suamimu, itu sebabnya Papi harus menikahinya." William merengkuh gadis itu dan terus mencoba memberikan pengertian. "Maksud Papi apa?" "Kamu pikir Papi kamu ini sudah gila, apa? Mau menikah dengan bocah ingusan itu. Papi masih waras, Cinta." William mendesis kuat lantaran gemas pada anaknya. "Terus kenapa Papi bilang mau nikahi Vanilla tadi? Ceritain yang sebenarnya, Pi." Gadis itu terus mencecar ayahnya. "Papi melakukan itu semua demi kamu. Karena ...." *** Vanilla bertahan dengan kebisuannya sepanjang perjalanan. Ia sudah berniat pulang, tapi saat langkahnya tiba di halaman rumah, tiba-tiba saja William menahannya. Akhirnya dengan setengah hati gadis itu mengikuti calon suaminya pergi ke butik. Ayahnya yang cerewet akan banyak bertanya jika hari ini dia gagal untuk fitting baju pengantin. 'Kenapa dengan anak ini? Beberapa saat yang lalu dia terlihat bersemangat mengumumkan berita pernikahan kami, dan sekarang dia diam dengan ekspresi dingin. Anak ini sungguh sulit ditebak.' Vanilla tahu sedari tadi William terus melirik ke arahnya, tapi ia bersikap acuh. Berbagai macam pertanyaan memenuhi isi kepalanya, terasa sakit hingga nyaris membuat pecah karena terus memikirkan semua perkataan Aksa barusan. "Kamu menyesal nikah sama saya?" Vanilla sontak menoleh, ditatapnya William dengan begitu mendalam dan kepandaiannya yang dengan cepat mengubah ekspresi sanggup membuat William tersentak. Saat ini, gadis itu menampilkan wajah layaknya perempuan nakal. "Kok, Om bilang begitu? Aku kan belum cobain punya Om," ucapnya melirik bagian bawah William yang terbungkus celana jeans hitam. "Bagaimana bisa Om menanyakan hal itu sekarang?" William menepak dahinya. Usianya jauh di atas Vanilla tapi tingkah gadis itu selalu bisa membuatnya mati kutu. Seperti orang bodoh. "Sepertinya kamu sudah terkontaminasi pergaulan bebas makanya kamu jadi berpikiran hal yang sebenarnya belum boleh kamu pikirkan," cetus pria itu. "Contohnya?" "Apa perlu saya perjelas?" William balik bertanya. Menghadapi Vanilla membutuhkan stok kesabaran yang melimpah. "Om pikir aku anak kecil? Aku sudah punya KTP, itu tandanya aku bukan anak di bawah umur lagi. So, aku bebas untuk ...," "Cepat turun! Kita sudah sampai!" titah William, memotong perkataan Vanilla. "Duh, jadi nggak sabar ingin segera menikah." Vanilla bersiap turun, tapi sebelum itu lagi-lagi dia kembali melakukan hal yang membuat William terpelongo. "Mau lihat penampakan aslinya," imbuh Vanilla dengan tatapan genit. Lelaki itu terus menggelengkan kepalanya ketika Vanilla sempat meremas miliknya sesaat sebelum turun dari mobil. "Aku harus punya strategi untuk menghadapi tingkahnya yang sulit ditebak. Dasar anak kecil!" William menggumam pelan. Ia membanting pintu mobil. Semua wanita itu sama saja. Berisik dan merepotkan, itu yang William pikirkan selama ini. Salah satu hal yang menyebabkan dirinya sulit membuka hati dan menjalin hubungan dengan lawan jenis. Menghadapi Cinta dan ibunya saja seringkali William dibuat kewalahan, apa lagi setelah ia menikah nanti? Akan bertambah satu lagi wanita yang akan memporak-porandakan kehidupannya. Vanilla mengapit lengan William karena lelaki itu tak mau menggandeng tangannya seperti kebanyakan pasangan yang dilihatnya meninggalkan butik. "Ck, kamu pikir saya nggak bisa jalan sendiri?" tanya William ketus. "Aku yang nggak bisa, Om. Takut jatuh," bisik Vanilla. William menghembuskan napas kasar, kembali melanjutkan sisa langkahnya menuju gedung berlantai dua tersebut. Sampai di depan pintu masuk, tiba-tiba saja Vanilla menghentikan kakinya. "Kenapa?" "Tunggu sebentar, Om. Ada telepon." William hendak masuk lebih dulu tapi Vanilla semakin mengeratkan pelukannya di lengan pria itu. "Siapa?" William bertanya setelah calon istrinya mengakhiri panggilan singkat itu. Tatapannya dipenuhi kecurigaan. "Aksa." "Apa!" pekik William tanpa sadar hingga menimbulkan perhatian para pengunjung butik. "Biasa saja kenapa, Om?" "Yang baru saja menghubungi kamu itu menantu saya, suami dari anak saya? Bagaimana mungkin kamu menyuruh saya untuk bersikap biasa sementara saya tahu menantu saya menghubungi perempuan lain?" William terus bersungut. Bertambah satu lagi daftar orang yang selalu membuat William pusing. Emosinya menjadi tidak stabil setiap kali bersinggungan dengan hal yang berhubungan dengan Aksa. "Apa katanya?" "Yakin, Om mau tahu?" Gadis itu tersenyum, yang William ketahui itu hanyalah sebuah senyuman mengejek. "Vanilla," desisnya. "Oke, oke. Aku kasih tahu. Nggak usah bentak-bentak juga, Om. Nggak baik kasar sama calon istri." "Belum apa-apa tapi saya merasa sepertinya kamu mau membuat saya mati perlahan-lahan." William menyentak napas kasar berulang kali, kentara sekali ia sedang mencoba bersabar menghadapi Vanilla yang tengil. Vanilla tekekeh. "Cepat kasih tahu saya, apa yang baru saja dikatakan berandal itu padamu!" "Dia bilang, daripada aku harus nikah sama Om, akan jauh lebih baik kalau dia yang menikahiku. Dia mau ngajak aku kawin lari katanya, Om," jelas Vanilla. "Apa! Berandal itu benar-benar." Vanilla bergidik ngeri melihat rahang William mengetat. Giginya saling beradu hingga menimbulkan bunyi yang membuat ngilu. Kepalan tangan William, Vanilla rasa sanggup meremukkan apa saja, termasuk wajah mantan kekasihnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN