Kedua netra William membeliak penuh begitu petugas butik membuka tirai penutup, menampilkan Vanilla dengan balutan gaun pengantin tanpa lengan bertaburan batu permata. Pria itu tak berkedip, menatap Vanilla penuh takjub. Tak ada lagi image gadis tengil dan wajah polos kekanakan, semuanya lenyap. Vanilla menjelma menjadi wanita yang begitu anggun. Sangat cantik. William hampir tak percaya dibuatnya.
"Bagaimana, Om?" tanya Vanilla meminta pendapat calon suaminya.
"Ehm, bagus." William menggulir pandangannya dari atas hingga ke bawah. Sempurna. Hanya kata itu yang ada di benaknya saat ini.
"Terus kalau bagus kenapa Om lihatinnya ke arah sana terus, bukannya natap aku?"
William nyaris tersedak. Sejujurnya melihat penampilan Vanilla membuatnya salah tingkah. Itulah sebabnya selesai meneliti tampilan gadis itu, William terus berbicara sambil membuang muka. Sialnya, kenapa juga dia terperangah melihat Vanilla yang ternyata menjadi berkali-kali lipat jauh lebih cantik jika dibandingkan dengan biasanya.
"Kenapa auranya terlihat sangat bersinar? Dia seperti mempelai pengantin sungguhan," gumam William.
"Om, bilang apa?" Vanilla tak bisa mendengar dengan jelas gumaman William barusan.
"Hah? Eng-enggak. Saya nggak ada ngomong apa-apa, kok." William tergagap.
"Jadi kesimpulannya menurut Om gimana, sudah bagus ini?"
"Iya. Bagus."
"Tapi apa Om nggak ngerasa kalau bagian dadanya terlalu rendah ya?"
William baru menyadari kalau sejak tadi satu tangan Vanilla terus hinggap tepat di bagian dadanya menutupi belahan keindahan di dalamnya.
"Coba buka!" titah pria itu.
"Apa?" Vanilla tersentak.
"Iya, buka tanganmu. Bagaimana bisa saya melihatnya kalau kamu terus menutupinya seperti itu?"
Vanilla mengangguk paham. Dengan wajah terlihat malu-malu dan enggan, perlahan ia menurunkan telapak tangannya.
Lagi, William terperangah.
"Om?" Vanilla melambaikan tangannya tepat di depan wajah William karena tak kunjung mendapatkan respon dari lelaki itu setelah berulang kali memanggilnya.
Lagi-lagi William tergagap. Ia tak henti mengumpati kebodohannya di dalam hati karena tingkah anehnya kali ini.
"Hm, itu ... Tidak terlalu buruk. Masih aman."
Ini hanya fitting, tapi orang gila pun rasanya bisa melihat kalau Vanilla sangat-sangat cantik. Begitu pikir William.
Vanilla mencebik. Menurutnya gaun itu terlalu terbuka dan dia tak menyukainya, tapi memang seperti itu model gaun pengantin kebanyakan.
Setelah menyelesaikan urusannya di butik, William mengajak Vanilla untuk mampir makan siang di salah satu restoran langganannya. Selain lapar karena tak sempat sarapan sebelum pergi, dia juga tak mau dicap sebagai pria yang tak punya perasaan jika sampai membiarkan Vanilla pulang dengan perut kosong.
Pria itu langsung mengantar calon pengantin wanitanya ke rumah dan gegas kembali. Teringat tentang perkataan Vanilla ketika mereka baru tiba di butik tadi, membuat William naik pitam. Ia langsung menegur Aksa.
"Hei, berandal! Apa maksudmu mengatakan ingin mengajak Vanilla kawin lari!" Pria itu berkacak pinggang dengan tatapannya yang tajam seolah hendak menguliti pemuda yang tak lain adalah menantunya.
Dengan tenang dan seolah tak terpengaruh sama sekali, Aksa meletakkan pulpen yang sejak tadi ada di tangannya, kemudian menutup map yang tengah dia periksa itu dengan sangat anggun.
"Lalu apa masalahnya kalau aku benar-benar mengajak Vanilla kawin lari?"
"Kurang ajar!" Secepat kilat William sudah berada di depan Aksa dan merenggut kerah kaos polo pemuda itu.
"Apa hak Papi melarangku?" Aksa berteriak menantang ayah mertuanya. Genderang perang benar-benar ditabuh.
Ekspresi wajah Aksa yang tampak santai, menyulut emosi William.
"Tentu saja saya berhak! Kamu menikahi putri saya, jangan kamu pikir saya akan tinggal diam kalau kamu melakukan sesuatu yang bisa menyakiti anak saya."
"Oh ya?" Menepis cekalan tangan William di bajunya. "Lalu apa selama ini Papi pernah memikirkan perasaan aku? Perasaan Vanilla? Apa Papi tahu bagaimana rasanya dipaksa menikah dengan orang yang sama sekali nggak kita cintai?" Beranjak dari tempat duduknya, berdiri tegak menantang William. Tak ada ketakutan sama sekali dalam diri Aksa. Ia sudah memiliki senjata ampuh untuk melawan William sekali pun ayah mertuanya itu mengancamnya lagi dengan menggunakan cara yang sama.
"Omong kosong! Kalau kamu benar-benar mencintai Vanilla, mustahil kamu meniduri Cinta," balas William sinis.
"Berapa kali aku bilang kalau aku nggak pernah melakukan itu. Cinta yang sudah menjebakku, Pi!" teriak Aksa.
"Kamu pikir saya buta? Saya dan Vanilla, bahkan semua orang yang melihat kejadian itu tahu kebenarannya."
"Jangan hanya karena melihat lalu Papi mudah menyimpulkan. Terkadang mata masih bisa menipu. Aku bisa buktikan kalau aku sama sekali nggak bersalah."
"Bukti apa lagi, hah? Bukti apa lagi yang mau kamu kasih!" William kembali menyentak pakaian menantunya, tapi Aksa dengan lincah berkelit.
"Jangan berani menyentuhku, karena suatu saat nanti Papi akan membayar semua perlakuan buruk Papi selama ini padaku," ucap Aksa lantang.
"Oh, mulai berani mengancam saya? Kamu pikir kamu siapa?"
"Papi, stop!"
Satu tinju William nyaris mendarat di wajah Aksa seandainya saja Cinta tak datang tepat waktu.
"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut? Kalian berdua kayak anak kecil, tahu nggak sih?" Cinta menyeret lengan Aksa menjauh dari hadapan William.
"Bukti apa? Cepat katakan bukti apa yang bisa kamu kasih lihat sama saya dan pastikan kalau bukti itu akurat sehingga saya bisa percaya sama semua ucapanmu?"
William terus mencecar Aksa. Memang laki-laki mana yang akan membiarkan anak perempuannya direndahkan sedemikian rupa oleh pria yang seharusnya menjadi pelindung baginya?
William bosan tiap kali mendengar Aksa dengan segudang alibinya dengan kata-kata yang selalu memojokkan Cinta. Tentu saja ia tak akan tinggal diam, dan satu-satunya cara untuk membungkam Aksa memang dengan jalan meminta pemuda itu memberikan bukti.
"Oke. Akan aku berikan buktinya. Bukti yang akurat dan bisa membuat mata semua orang yang sudah menyalahkan aku menjadi terbuka. Bukti yang hanya didapat dari ahlinya. Bukti yang bisa membungkam mulut kotor, Papi," ucap Aksa dengan menggebu-gebu.
"Kasih lihat, jangan hanya omong kosong!" hardik William.
Cinta yang mulai paham dengan akar permasalahan yang sudah membuat kedua laki-laki itu bertengkar pun mulai panik. Ia memeras otak mencari ide untuk menyelamatkan rumah tangganya.
"Suruh Cinta untuk melakukan visum, aku yakin dia masih perawan karena aku memang sama sekali nggak menyentuhnya. Bahkan sampai detik ini," ujar Aksa.
Bak tersambar petir yang seketika meluluhlantakkan Cinta menjadi kepingan tak terbentuk, tubuhnya bergetar hebat. Butiran keringat dingin menitik di pori-pori kulitnya.
Detik berikutnya William menoleh menatap putrinya yang terlihat sangat ketakutan. "Apa benar yang dikatakan suamimu, Cinta?" tanyanya. Melihat gelagat gadis itu, tentu saja William menjadi curiga.
"Papi tanya sama kamu sekali lagi. Apa benar kamu menjebak Aksa? Membuat drama seolah kalian berdua tidur bersama, padahal sebenarnya kamu masih suci?" William yang penasaran terus mencecar putrinya.
Cinta bergeming dengan kebungkamannya. Lidahnya mendadak kelu, sementara kedua matanya tampak berkaca-kaca.
"Jawab pertanyaan Papi, Cinta!" bentak William. Ia mengguncang bahu Cinta dengan sangat keras.
"Dia akan berani untuk divisum kalau memang dia merasa benar, Pi." Aksa menyela.
Melihat reaksi Cinta yang sangat ketakutan membuat William mulai meragukan gadis itu.