William menggeram frustasi lantaran Cinta tak jua memberikan jawaban apa-apa. Gadis itu bertahan dengan kebungkamannya, dan dari gelagatnya William bisa menyimpulkan kalau ada sesuatu yang tengah disembunyikan putrinya.
"Fine. Kebungkamanmu bikin Papi makin curiga sama kamu. Besok pagi kita ke rumah sakit untuk membuktikan kebenaran ucapan Aksa," putus William.
"Pi," desis Cinta. Air matanya nyaris tumpah saat ia menatap ayahnya penuh permohonan agar pria itu mengurungkan niatnya.
"Papi nggak mau tahu. Ini satu-satunya jalan untuk membungkam mulut suamimu. Lagi pula, Papi nggak mau dia terus-terusan membela diri dan memojokkanmu. Semuanya memang harus dibuktikan agar kita tahu, siapa yang benar dan siapa yang bersalah dalam hal ini."
Usai mengatakan itu William berlalu dari sana. Tak ia hiraukan panggilan Cinta yang terus mendesaknya, meminta diberikan kesempatan untuknya berbicara.
"Papi, tunggu!"
Sepeninggal anak dan ayah itu dari sana, Aksa menghela napas lega. Bodohnya dia yang tak melakukan ini sejak kejadian di hotel itu terjadi. Saking paniknya ia mendadak d***u, dan setelah sekian lama berpikir, Aksa akhirnya menemukan jalan keluar untuk permasalahannya. Visum hymen atau pemeriksaan selaput dara bisa membuktikan kalau Cinta masih perawan. Dengan begitu semua tuduhan yang mengarah padanya bisa dipatahkan. Aksa juga ingin membersihkan namanya dan memberitahukan pada semua orang kalau kejadian itu murni karena jebakan Cinta.
"Seandainya saja aku teringat cara ini sewaktu kejadian penggerebekan di hotel waktu itu terjadi, maka pernikahan ini nggak mungkin terlaksana. Aku dan Vanilla pasti sudah menikah. Cinta sialan!" maki Aksa dengan tangan terkepal.
Aksa memejamkan mata teringat kejadian buruk yang sudah menghancurkan hidupnya dan juga keluarganya. Kala itu, Cinta menghubunginya sambil menangis. Ia mengatakan kalau dirinya hampir saja diperkosa oleh pria tua yang menjebaknya. Aksa sama sekali tak menaruh curiga karena dia tahu Cinta merupakan teman baik kekasihnya. Tanpa pikir panjang, Aksa langsung mendatangi alamat yang dikatakan Cinta yang ternyata bertempat di sebuah hotel.
Singkat cerita, Aksa pun menolong Cinta. Tanpa pria itu sadari kalau Cinta telah menaruh obat tidur dalam minuman yang ia berikan sebagai tanda terima kasih. Aksa bangun dalam keadaan telanjang bersama Cinta di bawah selimut yang sama dan sudah banyak orang di sana. William, kedua orang tuanya dan juga Vanilla.
"Argh! Sial! Cinta sialan! Aku harus memberikan pelajaran pada jalang itu. Dasar perempuan haus belaian. Menjijikkan."
Sebanyak apa pun Aksa mengumpati Cinta, hal itu rasanya tak pernah cukup untuk melampiaskan kemarahannya pada gadis itu.
Di kamar utama.
"Papi. Papi please kasih kesempatan buat aku menjelaskan semuanya, Pi."
William seketika membalikkan badannya, menatap sinis anaknya yang baru kali ini ia ketahui berani membohonginya.
"Apa kamu pikir Papi ini bisa kamu bodohi? Papi tahu kamu bohong, Cinta. Papi kecewa sama kamu. Hanya karena perasaan cintamu yang membabi buta itu, kamu sudah menghancurkan hidup banyak orang. Kamu tega nusuk temanmu, kamu sudah merebut kebahagiaan banyak orang. Papi nggak habis pikir sama kamu. Padahal selama ini Papi nggak pernah ngajari kamu buat bersikap murahan seperti ini!" William terengah mengeluarkan isi hatinya.
Hampir sebulan ini pria itu dibuat lelah. Tak hanya fisiknya saja, hatinya juga ikut lelah dan terkena imbasnya. Sejak kejadian di hotel waktu itu, William tak lagi bisa tidur dengan nyenyak karena setelahnya terus bermunculan masalah baru. Selalu ada kejutan di setiap harinya. Selama itu juga William mengalah dengan terus mengikuti kemauan Cinta. Akan tetapi kali ini dia tak terima setelah bocah itu membohongi dirinya.
"Papi, aku mohon maafin aku, Pi," pinta Cinta mengiba.
"Jadi benar semua yang dikatakan Aksa?" William menepis kasar tangan Cinta dari lengannya.
"Asal Papi tahu saja. Aku cuma cinta sama Aksa, Pi. Selain dia, nggak ada lagi laki-laki yang aku cinta, dan aku nggak mau nikah kalau bukan sama dia."
"Gila, kamu!" Lagi, William memaki.
"Demi kebahagiaanku, Pi. Aku mohon sama Papi. Lakukan sesuatu," mohon Cinta.
"Nggak lagi." William menggeleng tegas. "Kali ini Papi minta maaf, tapi Papi nggak bisa bantu kamu. Papi lelah. Papi nggak mau bantu kamu setelah Papi tahu kalau apa yang kamu lakukan itu salah!" tegasnya.
"Papi. Aku benar-benar minta maaf sudah membohongi Papi, oma dan semua orang. Aku sudah berbuat sampai sejauh ini demi bisa mendapatkan Aksa, Pi. Memang kenapa kalau aku masih perawan? Toh kita nggak bisa memperbaiki apa yang sudah rusak."
Cinta maju selangkah lebih dekat, memberanikan diri menggenggam tangan ayahnya.
"Aku nggak bisa hidup tanpa Aksa, Pi. Gimana kalau dia benar-benar minta aku buat visum lalu menceraikan aku? Papi mau, lihat aku tinggal nama?"
"Omong kosong! Jangan melantur!"
"Demi Tuhan, Pi. Kalau sampai aku dan Aksa pisah, Papi akan kehilangan aku untuk selama-lamanya."
Lagi, untuk kesekian kalinya. Cinta berhasil mengalahkannya. Ia memang membenci cara Cinta mendapatkan Aksa, tapi ia juga tak mau kehilangan gadis itu.
"Aku mohon sama Papi, tetap nikahi Vanilla biar dia nggak gangguin hubungan aku dan Aksa lagi," kata Cinta.
"Tapi setelah Papi dan Vanilla menikah dan Aksa masih nggak bisa mencintai kamu, maka itu sudah bukan lagi menjadi urusan Papi." William menyahut.
"Terima kasih, Pi. Aku janji untuk selalu bahagia. Aku janji nggak akan pernah menyia-nyiakan pengorbanan Papi selama ini."
Cinta memeluk ayahnya. Tangisnya kini tak segan ia tumpahkan di d**a William. Betapa dia sangat beruntung memiliki William dalam hidupnya. Kehilangan ibu tak lantas membuatnya kekurangan kasih sayang karena Anita, sang nenek juga sangat memanjakannya, sama seperti William.
"Nanti Papi bantu pikirkan caranya, tapi kamu harus janji sama Papi. Setelah ini, apa pun yang terjadi, jangan pernah minta bantuan sama Papi lagi. Apa pun itu. Karena Papi juga nggak bisa memaksakan kehendak orang lain, termasuk perasaan Aksa sama kamu."
"Iya, Pi. Janji."
"Kembali ke kamarmu, Papi mau istirahat."
William melerai pelukannya setelah sebelumnya mencium dahi Cinta dengan satu kecupan mendalam.
"Terima kasih banyak, Pi. Aku sayang Papi."
Pria itu menggeleng pelan. "Ada maunya saja bilang sayang," gumamnya melihat Cinta menutup pintu kamarnya dengan raut wajah sumringah.
"Padahal ini hari minggu, tapi rasanya aku seperti nggak libur."
William membanting tubuhnya di kasur, memejamkan matanya sejenak. Pikirannya terus sibuk berkeliaran membayangkan masa depannya jika pernikahannya dengan Vanilla benar-benar terlaksana. Ia berharap kedepannya bisa hidup jauh lebih tenang.
"Hebat. Harus aku akui kamu memang cerdas, Cinta."
Cinta terkejut. Baru saja dia membuka pintu, dan Aksa sudah menyambutnya. Pria itu berdiri di kusen pintu menyandarkan satu bahunya sambil bertepuk tangan.
"Tapi kita lihat besok, apa yang bisa kamu lakukan setelah aku berhasil membuktikan kalau aku nggak bersalah. Kamu harus membersihkan nama baikku dan juga keluargaku."
Aksa menarik tangan Cinta dengan kasar dan mendorong gadis itu hingga tubuhnya berguncang membentur dinding. Lelaki itu memangkas jarak, wajah keduanya sangat dekat hingga hangat napas terasa menerpa pipi masing-masing.
"Ingat perkataanku baik-baik. Akan aku pastikan kamu membayar semua perbuatanmu padaku dan Vanilla. Jangan pernah mengharapkan cinta dariku, meskipun itu hanya secuil karena aku nggak sudi memiliki istri perempuan murahan sepertimu."
Cinta memejamkan mata bersamaan dengan runtuhnya dinding pertahanannya. Anehnya, sebanyak apa pun, sesering apa pun Aksa melukai hatinya, hal itu tak akan bisa menghapus rasa cintanya pada pria itu. Justru perasaannya semakin mendalam dan rasa takut kehilangan Aksa semakin menjadi-jadi. Apa pun yang terjadi, Cinta rela menanggung derita demi bisa hidup bersama Aksa, pria yang teramat ia cintai.