8. Hari Itu Tiba

1208 Kata
Malam harinya. Aksa terlihat sama sekali tak menikmati makan malamnya kali ini. Sedari tadi sendok dalam genggamannya ia gunakan hanya untuk mengacak-acak isi piringnya saja. William berdehem usai membasahi tenggorokannya dengan segelas air, lalu menatap menantunya. "Papi tahu kamu gelisah soal visum itu, Papi juga tahu kamu pasti sudah nggak sabar untuk segera membuktikan pada semua orang kalau kamu nggak bersalah. Tapi Papi minta sama kamu, tolong beri kelonggaran waktu ya. Papi pusing memikirkan soal pernikahan, dan Papi janji kita akan sama-sama ke rumah sakit setelah pernikahan Papi dan Vanilla selesai digelar." William membuka percakapan. Tubuh Cinta berjingkat saat Aksa membanting kasar sendok itu di meja menimbulkan suara gaduh. Pria itu bangun dari kursinya. Amarah memenuhi sorot mata Aksa dan menguasai hingga ke ubun-ubun. "Memang Papi pikir aku rela melihat Vanilla menikah dengan pria tua sepertimu? Papi pikir kenapa aku minta visum itu untuk dipercepat?" Gigi Aksa saling beradu membuat merinding orang yang mendengarnya. Akan tetapi tidak berlaku bagi William. Pria itu tampak santai menghadapi menantunya kali ini. Ia sadar harus menekan egonya agar bisa mengendalikan Aksa. Sejauh ini dia selalu menunjukkan sikap temperamennya dan semuanya berakhir kacau hingga William memutuskan untuk mengubah strategi. "Iya, Papi tahu itu. Biar bagaimana pun pernikahan akan segera dilangsungkan dan Papi nggak mungkin membatalkannya begitu saja, kamu nggak usah khawatir. Kalau memang terbukti kamu nggak bersalah, Papi akan mengembalikan Vanilla padamu. Utuh, tanpa kurang suatu apa pun," janji William. Aksa mengamati pancaran mata William dengan seksama. Ucapannya terlihat sangat meyakinkan. "Setelah menikah, Cinta akan melakukan visum dan kamu bisa pegang kata-kata saya," imbuh William. Aksa mengangguk. "Baik. Aku harap Papi nggak mengingkari janji Papi. Kalau sampai hal itu terjadi, jangan kira aku takut untuk menyeret Papi ke pengadilan untuk tindakan tidak menyenangkan yang selama ini sudah Papi lakukan padaku." "Tenang saja. Harga diri seorang pria adalah ketika ucapannya bisa dipegang." Menepuk pelan bahu Aksa. Aksa kehilangan nafsu makannya setelah perdebatan kecil itu terjadi, membuatnya meninggalkan tempat itu begitu saja, tak peduli jika harus disebut tidak sopan. Tak berbeda jauh dengan Aksa. Cinta pun baru sempat dua kali menyuap makanannya. Demi Tuhan, ia tak peduli sekali pun jalannya teramat sulit demi bisa menikah dengan Aksa. Apa pun rela dia lakukan demi menahan Aksa agar selalu menjadi miliknya. "Selagi Papi mengulur waktu, kamu juga harus memikirkan bagaimana caranya kamu bisa terbebas dari visum itu, Cinta." Suara bariton William terdengar berat. "Mencintai orang yang sama sekali nggak pernah menganggap kita ada hanyalah kesia-siaan, Sayang. Kita nggak bisa memaksakan kehendak orang untuk mencintai kita. Papi sudah peringatkan kamu sejak awal," imbuhnya. "Tapi aku nggak peduli dengan itu semua, Pi. Asalkan Aksa menjadi milikku." Cinta menyahut. Suaranya bergetar menahan isak tangis yang bersiap meledak kapan saja. "Cinta benar-benar sudah membuatmu buta. Nggak hanya buta, tapi juga gila." William menggeleng frustasi menatap putrinya. *** Hari yang paling dinantikan oleh Vanilla pun tiba. Ia bangun jauh lebih pagi dari biasanya dan segera bersiap-siap sebelum penata rias datang mendandaninya. Roy tertegun melihat binar kebahagiaan di wajah sang putri. Senyum di bibir Vanilla terus merekah. Aura pengantinnya begitu terpancar. "Papa," panggil Vanilla, melihat pantulan ayahnya yang sedang berdiri di belakang memperhatikannya, dari balik cermin. "Anak Papa ternyata sangat cantik. Wajahmu mirip sekali dengan mendiang ibumu." Roy mengayunkan kakinya perlahan menghampiri Vanilla yang baru saja selesai didandani. "Terima kasih, Pa." Vanilla menubruk d**a Roy dan memeluknya erat. "Terima kasih sudah menjagaku dan selalu membuatku bahagia selama ini. Papa yang terbaik." "Bahagiamu adalah tujuan Papa, Sayang." Roy meninggalkan satu kecupan di kening Vanilla. Mengusap titik bening yang terkumpul di sudut mata anaknya yang bersiap jatuh. "Jangan menangis. Ini adalah hari bahagia kita." "Tiba-tiba saja aku kangen sama mama." "Hust! Mama sudah tenang di surga. Dia ada di hati kita, dan dia nggak pergi ke mana-mana. Saat ini mama pasti juga sedang melihat kita dengan hati yang bahagia, Papa yakin." "Besok aku mau ke makam mama," cicit gadis itu masih dengan menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Roy. "Kan kemarin sudah sewaktu kamu meminta restu." "Tapi aku masih kangen banget sama mama." "Iya, baiklah. Besok kita kunjungi mamamu, sekalian ajak William dan memperkenalkannya." Roy melepas pelukannya. Melihat tampilan Vanilla saat ini seperti melihat copy paste mendiang istrinya. Ia pun sedih dan sangat menyayangkan mereka harus melalui hari yang membahagiakan ini tanpa kehadiran Hana. "Sudah. Sebaiknya kita keluar sekarang. Acara sudah mau dimulai. Suami tuamu itu pasti sudah tidak tahan jika harus menunggu terlalu lama," goda Roy pada putrinya. "Ih, Papa nyebelin." Vanilla mencubit kuat lengan papanya, sementara pria itu hanya terkekeh. "Ayo, Sayang. Ingat, jangan ada air mata. Kita sedang bahagia." Roy membantu Vanilla bangkit dari kursinya. Petugas menyerahkan buket bunga, lalu gadis itu melingkarkan tangannya di lengan Roy. "Papa, apa aku cantik?" tanya Vanilla setengah berbisik. "Sangat. Kamu sangat cantik, Sayangku. Kamu adalah yang tercantik di dunia." "Tentu saja. Karena aku anak Papa." Keduanya tertawa bersamaan. Langkah mereka selaras menapaki karpet merah yang membentang panjang dengan William di bagian ujung berbeda. William gugup. Sejak tadi ia terus meremas tangannya yang terbungkus sarung tangan. Butiran keringat menitik di pelipisnya meski telah berulang kali ia menyekanya dengan sapu tangan. Tatapan pria itu tertuju pada kursi khusus. Anita, sang ibu dan Cinta beserta keluarga besar lainnya duduk di sana. Senyuman yang terus terkembang di bibir Anita, juga wajahnya yang memancarkan kebahagiaan membuat William sedikit merasa bersalah. Sudah seringkali Anita memintanya untuk menikah, tapi baru kali ini hal itu terlaksana. Itu pun karena sebuah tujuan yang membuat William terpaksa melakukannya. Bukan pernikahan yang dilandasi atas dasar cinta seperti kebanyakan pasangan menikah pada umumnya. William terkesiap dan buru-buru mengakhiri lamunannya saat suara pembawa acara memenuhi indera pendengarannya. Di depan sana, Roy dan Vanilla berjalan saling bersisian. Perlahan dan terus dekat sampai kemudian William terperangah melihat calon istrinya dari dekat. Pria itu masih bisa melihat kecantikan Vanilla yang tersembunyi di balik wedding vail yang dikenakannya. Sangat cantik. William berani bersumpah kalau Vanilla adalah perempuan tercantik yang pernah ia temui sepanjang hidupnya. "Cintai, lindungi dan jaga dia dengan segenap jiwamu. Vanilla adalah satu-satunya hartaku yang paling berharga, tolong perlakuan dia dengan baik." Roy menatap sendu calon menantunya. Vanilla terharu mendengar permintaan seorang ayah yang terdengar sangat tulus. Roy adalah cinta pertamanya, dan Vanilla memimpikan bisa mendapatkan suami seperti sosok papanya. Meski pernikahannya dengan William hanyalah sebuah kesepakatan, Vanilla tetap berharap William akan memperlakukan dirinya sebaik Roy memperlakukannya selama ini. "Pasti. Saya akan menjaganya dengan baik." Roy mengulurkan tangan putrinya yang langsung disambut dengan sigap oleh William. "Kamu tahu sendiri Vanilla masih sangat muda, jadi mungkin nantinya kamu masih harus banyak bersabar menghadapi sikapnya." "Jangan khawatirkan soal itu, Papa tenang saja." Demi Tuhan, William rasanya ingin tertawa setiap kali dirinya memanggil Roy dengan sebutan papa, tapi mau bagaimana lagi? Akan lebih lucu lagi jika ia memanggil mertuanya dengan sebutan 'tuan' atau 'kakak'. Acara berlangsung khidmat dan berjalan lancar tanpa hambatan. William dan Vanilla baru saja disahkan menjadi sepasang suami istri usai menjalani ritual yang entah mengapa terasa begitu menyentuh hati, bukan hanya bagi keduanya tetapi untuk semua orang yang menghadiri pernikahan tersebut. Hal itu tentu jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Aksa saat ini. Mungkin inilah yang dulu Vanilla rasakan ketika melihatnya dan Cinta menikah. Hancur. Sakit. Hanya saja Aksa berusaha menahan kekesalannya meski ia tak bisa duduk dengan tenang menyaksikan kejadian demi kejadian yang menampilkan romantisme sepasang pengantin baru di depan sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN