9. Nyaris Bangun Dibuatnya

1521 Kata
Aksa bangkit meninggalkan bangkunya saat teriakan para tamu undangan terdengar menyoraki sepasang pengantin baru itu untuk melakukan wedding kiss. Sedari tadi dadanya bergemuruh, emosinya terus naik turun dan ia tak lagi tahan ketika diuji dengan pemandangan indah di depan sana. "Aksa, mau ke mana?" Cinta berusaha mengejar. Gaunnya membuat ia kesulitan menyusul langkah suaminya yang mulai jauh di depan sana. "Aksa, tunggu! Kamu nggak bisa pergi begitu saja!" teriak Cinta mencegah Aksa semakin menjauh. "Apa yang akan orang-orang pikirkan kalau kamu pergi dari pesta itu, Aksa?" Beberapa kali Cinta hampir keseleo. Hak sepatunya yang runcing juga gaunnya yang panjang menjuntai menyapu lantai sungguh sangat merepotkan. "Kamu pikir aku peduli! Jangan membuntutiku, dan tinggallah di sana." Aksa menyahut ketus. "Aku istrimu, tentu saja aku akan selalu berada di dekatmu." Tak peduli sikap dingin dan kasar suaminya, Cinta terus mengekori pria itu. "Aku sama sekali tidak membutuhkanmu!" hardik Aksa membuat Cinta berjingkat kaget. "Aku tahu, tapi aku akan tetap berada di dekatmu." Langkah Aksa mulai memelan dan Cinta menggunakan kesempatan itu untuk bisa mengejar suaminya. Akan tetapi saat jaraknya dan Aksa sudah sangat dekat, mendadak Cinta kehilangan nyali melihat cara Aksa menatapnya. Mengerikan. "Ini semua gara-gara kamu! Gara-gara jalang kecil sepertimu yang sudah menghancurkan masa depanku. Demi Tuhan aku bersumpah, kamu akan menderita seumur hidupmu sebagai balasan atas perbuatanmu padaku." Aksa meraup oksigen sebanyak mungkin untuk melegakan rongga dadanya. Banyak bicara membuatnya seperti tercekik seperti kehabisan napas. Terlebih emosinya yang selalu meledak-ledak tiap melihat Cinta. "Aku sungguh sangat membencimu! Kamu nggak lebih dari seorang perempuan murahan. Kenapa kamu harus mengejarku? Seperti tidak ada laki-laki lain saja di dunia ini!" Aksa yang telah dikuasai amarah sampai tak sadar mendorong kepala Cinta dengan telunjuknya. "Belum puas kamu menyiksaku, hah! Ingat baik-baik perkataanku! Seumur hidup, jangan mimpi kamu bisa mendapatkan cintaku." Kembali mengambil jeda sejenak untuk menarik napas. "Jangan mengikutiku lagi atau aku benar-benar akan membunuhmu! Aku nggak main-main!" Kedua bahu Cinta melemah setelah mendengar ancaman suaminya. Sejujurnya dia sangat ingin mengikuti Aksa ke mana pun laki-laki itu pergi, tapi kakinya seolah tertinggal di sana. Cinta tak bisa menggerakan kakinya sama sekali. Di dalam gedung. Vanilla terus menggerutu lantaran ia masih harus berdiri setelah berjam-jam lamanya kerumunan tamu yang membuat barisan memanjang bak ular tak kunjung selesai menyalaminya. Pesta pernikahan itu merupakan pesta pernikahan terbesar gabungan dua pebisnis terkemuka di negara tersebut. Tamu undangan Roy saja mencapai ribuan, belum lagi tamu undangan William dan juga Vanilla. "Sepertinya setelah ini kakiku yang cantik dan jenjang ini akan marah padaku karena aku terus membuatnya berdiri sepanjang hari," gumamnya pelan. "Kamu pikir hanya kamu saja yang tersiksa? Saya juga." William menimpali. "Om kan laki-laki, Om pasti lebih kuat dariku. Jangan mengeluh seolah Om ini kakek tua yang malang," sindir Vanilla. William melotot. "Apa katamu? Saya kakek tua?" Menunjuk dirinya sendiri. "Bukan aku yang bilang begitu, tapi Om." Vanilla mengelak. "Ish! Jelas-jelas kamu baru saja mengataiku kakek tua." William mulai terpancing. Wajahnya yang putih pun memerah menahan kesal karena tak bisa melampiaskannya mengingat posisi mereka saat ini. "Kalau memang Om kuat, cukup buktikan saja. Nggak perlu sampai marah-marah begitu, ya ampun." Vanilla menggeleng dengan tatapan mengejek. William baru saja hendak membuka mulutnya bersiap membalas perkataan Vanilla, tapi di saat bersamaan ibunya datang menghampiri. "Ada apa, Sayang. Mama lihat dari tadi kalian seperti kurang nyaman?" tanya Anita. Wanita berusia enam puluh tahun itu masih tampak anggun dan segar. Ia menyodorkan satu botol air mineral dengan sedotan di dalamnya, pada Vanilla. "Itu, Ma. Om Willi katanya sudah nggak sabar mau masuk kamar," cetus Vanilla setelah berhasil meneguk sebagian cairan bening dari dalam botol. "Uhuk ... Uhuk!" William hampir menyemburkan air di dalam mulutnya yang belum sempat ia telan. "Aduh, Will. Pelan-pelan saja minumnya, kan bisa? Mama tahu kamu sudah nggak sabar, tahan sebentar lagi ya." Anita berkata sambil menatap putranya dengan senyuman menggoda. Sebagai wanita dewasa tentu dia dapat memahami maksud dari perkataan gadis yang kini telah menjadi menantunya. Ia pun pernah muda. "Jangan dengarkan Vanilla, Ma. Dia hanya asal bicara!" William membela diri. "Lho, bukannya tadi Om sendiri yang bilang kalau ...," "Jangan mengada-ngada, Vanilla!" kata William yang langsung memotong ucapan istrinya. "Sudah, cukup!" Anita melerai. "Baru berapa jam kalian jadi suami istri, tapi sudah meributkan hal kecil begini. Kamu lho, Will. Punya istri pengertian bukannya senang malah ngajak ribut. Memang apa yang salah sama perkataan Vanilla? Sudah, toh sebentar lagi juga acaranya selesai." Vanilla meringis ketakutan seperti anak kucing yang ditatap serigala. Ia kehilangan nyali saat William menatapnya penuh peringatan, menyiratkan padanya untuk diam. Vanilla dan William benar-benar seperti disiksa setelah berdiri menyalami tamu dari jam sepuluh pagi dan mereka baru memasuki kamar saat jarum jam menunjukkan angka sebelas lebih dua puluh lima menit pada malam harinya. Vanilla membanting tubuhnya di kasur dengan mata terpejam, menikmati nyamannya tempat yang sudah sejak siang hari begitu dia rindukan. "Ganti dulu gaunmu, mandi baru setelahnya tidur," kata William, ia seperti ayah yang sedang memerintah putri kecilnya. "Om saja yang mandi duluan, aku ingin istirahat sebentar." William tak lagi bicara dan langsung menenggelamkan diri di bak mandi. Ia memutuskan untuk berendam sebentar untuk mengusir rasa penat di sekujur tubuhnya. "Aku kira nggak akan selelah ini, tapi nyatanya badanku sampai remuk semua. Kapak terakhir kali aku berolahraga," gumamnya lirih. William menyandarkan kepalanya sembari memejamkan mata. Aroma wangi dari sabun dalam bak mandi, juga hangat air di dalamnya membuat William sedikit rileks meski sensasi kaku di lututnya belum sepenuhnya hilang. "Kalau aku saja sampai merasa babak belur begini, bagaimana dengan gadis nakal itu?" William kembali menggumam. Sudut bibirnya terangkat saat bayangan Vanilla hadir di benaknya. Tiba-tiba ia merasa kasihan, membayangkan tubuh mungil Vanilla juga kesakitan, sama seperti dirinya. Semua tamu yang datang memberikan do'a restu memuji kecantikan istrinya, dan ada rasa bangga tersendiri yang William rasakan. Akan tetapi tak sedikit juga yang mengatakan kalau Vanilla masih terlalu muda karena memang usianya yang terpaut sembilan belas tahun darinya. Setelah dirasa cukup, William mengguyur tubuhnya di bawah kucuran air hangat. Ia meraih handuk dan memakai jubah mandi sebelum keluar dari sana. Wajah cantik Vanilla yang tampak polos menyambut penglihatan William saat ia kembali ke kamar. Lelaki itu tertegun di tempatnya berdiri, ditatapnya wajah itu dengan seksama. Khas anak gadis, tapi kecantikannya tak membuat bosan mata siapa saja yang melihatnya. "Van, bangun. Katanya hanya istirahat. Jangan sampai kamu tidur masih dengan keadaan begitu." William mengguncang pelan bahu istrinya. "Vanilla," panggilnya dengan sangat lembut. Gadis itu mengerjapkan matanya sambil menggeliat dan seketika bunyi aneh yang berasal dari tubuhnya membuat William terbahak. "Ya Tuhan, kenapa rasanya badanku sakit semua terutama kakiku." Gadis itu mengeluh. "Maka dari itu kamu harus segera mandi. Kamu nggak akan bisa tidur sebelum mandi." Vanilla mengangguk. Ia mengulurkan tangannya dan William reflek menariknya membantu gadis itu bangun dari pembaringan. "Airnya sudah saya siapkan di bak mandi, tapi karena saya nggak tahu aroma sabun kesukaan kamu, tadi saya menaruh aroma stroberi," kata pria itu. Vanilla mengangguk. "Iya, Om. Terima kasih. Tunggu sebentar biar aku ambilkan baju ganti buat Om." "Nggak usah, saya bisa ambil sendiri. Kamu mandi saja." "Ya sudah." 'Perhatian juga dia,' batin William. "Tunggu Van!" cegah pria itu. Baru beberapa langkah Vanilla berjalan dari kasur dan William menghentikannya karena melihat cara berjalan istrinya yang sedikit pincang. "Kenapa, Om?" tanya Vanilla penasaran. Jantungnya berdebar lebih cepat, ia menunduk malu dan takut kalau-kalau William meminta haknya malam ini juga. Terlebih saat William memangkas jarak hingga posisi mereka menjadi sangat dekat. 'Ya Tuhan, apakah selanjutnya akan terjadi adegan dua puluh satu plus?' batin Vanilla menggeliat. Bukan itu tujuannya menikahi William. "Kenapa kamu jalan seperti itu?" Pertanyaan William membuat mata Vanilla yang sempat terpejam itu membuka sepenuhnya. "Hm, kakiku sakit." Vanilla menjawab dengan sisa debaran yang masih begitu menggila. Ia pikir William akan mencium atau melakukan hal lain yang lebih intim dari sekedar ciuman. Tanpa aba-aba William mengangkat Vanilla dan mendudukkannya di bibir ranjang. "Sejak tadi kenapa kamu belum melepas sepatumu? Seperti anak kecil saja." Lelaki itu mengomel. Vanilla mendengus. Sikap William persis sekali dengan sikap papanya. Pria itu terlihat serius memeriksa kakinya dan melepas alas kaki yang menopangnya selama lebih dari delapan jam. "Lihat, pantas saja kakimu sakit. Tumitmu lecet sampai berdarah seperti ini, kenapa nggak dilepas sejak tadi?" Melihat William mengomel membuat Vanilla semakin bingung. Pria itu melepas sebelah sepatu Vanilla masih sambil mengoceh. "Segeralah mandi dan obati lukamu." Vanilla menurut, tapi sebelum itu ia meminta tolong pada suaminya untuk membantu melepas resleting gaunnya yang tak bisa ia jangkau dengan tangannya sendiri. Menarik napas dalam, William setengah memejamkan mata saat Vanilla membalikkan badannya membiarkan punggung mulus itu terpampang nyata. "Ayo, Om. Buruan! Aku ingin cepat tidur." Suara Vanilla terdengar mendesak. "I-iya." Dengan tangan gemetaran karena gugup, William mulai menurunkan resleting gaun Vanilla. Jemarinya yang bersentuhan langsung dengan kulit punggung mulus Vanilla membuat William serasa tersengat. Makin turun ke bawah makin terbuka lebar dan menampilkan pemandangan menakjubkan yang baru pernah dilihat William seumur hidupnya. William terkesiap saat dengan cepat Vanilla menarik bagian depan gaunnya dan berlari ke kamar mandi tanpa mengatakan apa pun. "Aneh. Baru melihat punggung bocah itu saja sudah membuatmu hampir bangun, apa lagi kalau sampai melihat bagian lain yang lebih ...," William menggelengkan kepalanya menatap pangkal pahanya, ia menghentikan ucapannya sebelum dirinya menjadi berpikiran semakin jauh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN