William membulatkan matanya melihat isi koper gadis yang kini telah resmi menjadi istrinya. Bagaimana ia tidak tercengang saat melihat tumpukan piyama tidur dengan motif karakter beraneka warna. Sambil tak henti menggelengkan kepalanya, William terus memilah pakaian di dalamnya.
"Aku benar-benar menikahi anak kecil," gumamnya pelan.
Setelah lebih dari lima menit terbuang, William menjatuhkan pilihannya pada baju tidur lengan pendek motif beruang berwarna kuning cerah. William pun tergerak untuk mengambil pakaian dalam Vanilla, dan lagi-lagi dia dibuat terkejut. Sepersekian detik tawanya pecah dan terdengar memenuhi kamar hotel tersebut.
"Kain apa ini? Apa kain seperti ini yang dia pakai untuk menutupi ...," Ucapan William tertahan, bahunya sampai berguncang menahan tawa karena merasa geli.
"Astaga! Kain ini bahkan tidak layak disebut pakaian dalam." William mengangkat sehelai kain mungil berbentuk segitiga dengan aksen renda dan tali panjang di kedua sisi dan bagian belakangnya.
William kembali terbahak. "Bagaimana cara memakainya, yang benar saja."
Pria itu kembali menggeledah isi koper Vanilla, tapi sayangnya dia tak menemukan pakaian dalam yang seperti biasanya ia lihat.
"Seumur hidup baru kali ini aku melihat pakaian dalam perempuan dengan model seperti ini." William meletakkan kain itu di atas piyama yang baru saja dia siapkan.
Selain bentuknya yang menurut William aneh, lelaki itu juga dibuat terheran-heran dengan ukuran kain yang super mini itu. William menoleh saat mendengar derit pintu kamar mandi terbuka. Vanilla tampak malu-malu keluar dari sana. Langkahnya dibuat sepelan mungkin dengan kepala yang terus tertunduk ke bawah. William gemas melihat rona merah yang menyembul di kedua belah pipi gadis itu.
"Cepatlah, nanti kamu bisa masuk angin." William mengangsurkan setumpuk kain di tangan Vanilla.
Gadis itu membeliak melihat celana dalamnya berada paling atas di antara tumpukan kain itu. Tentu saja ia sangat malu.
"Aku kan bisa ambil baju sendiri, Om," ucapnya tersipu.
"Lekas ganti baju, jangan banyak bicara."
"Di sini?" Vanilla terbelalak.
"Kenapa kamu kelihatan kaget begitu? Kita kan sudah sah menjadi suami istri, nggak masalah sekali pun kamu ganti baju di sini, di depan saya." William menatap istrinya dengan senyum menggoda. Ia memangkas jarak dan hal itu membuat Vanilla menggigil.
"Aku ganti baju di kamar mandi saja, Om," elak Vanilla yang langsung berlari ke kamar mandi dan mengunci pintunya.
"Ngotot ngajakin nikah, sering menggoda. Baru dipancing begitu saja sudah kalang kabut." Lelaki itu menggeleng.
William menaiki tempat tidur, seketika kelopak bunga mawar yang membentuk hati di atas hamparan seprai menjadi beterbangan. Bentuknya tak lagi indah seperti saat pertama ia memasuki kamar itu tadi.
"Sebenarnya apa fungsi penataan bunga seperti ini di kasur? Mengganggu orang tidur saja."
William mengomel. Saat Vanilla tidur di sana tadi, gadis itu memilih merebah di ujung kasur karena tak mau merusak simbol hati yang terbentuk dari ribuan kelopak mawar merah itu.
"Vanilla!"
Vanilla berjengit saat William memanggilnya. Ia sudah selesai mengganti pakaiannya, tapi berat rasanya jika harus keluar dari sana. Berbagai macam pikiran membayangi gadis itu.
"Bagaimana kalau Om Willi benar-benar meminta haknya sebagai seorang suami malam ini juga." Begitulah Vanilla bermonolog di dalam sana.
"Vanilla. Mau sampai kapan kamu akan terus berada di situ?"
"Ehm, se-sebentar, Om."
"Apa kamu perlu bantuan untuk memakai bajumu? Saya bisa masuk ke dalam kalau kamu butuh bantuan," kata pria itu setengah berteriak. William berusaha menahan tawanya karena dia tahu apa yang sedang terjadi pada Vanilla di dalam sana.
"Sok-sokan bilang mau memuaskan, baru dipanggil saja pasti dia sedang gemetaran di dalam sana."
"Enggak usah, Om. Ini sudah selesai, sebentar lagi aku keluar."
Vanilla memegangi dadanya. Sialan. Saking takutnya membayangkan William akan menerkamnya malam ini membuatnya sampai menggigil ketakutan. Vanilla bergidik ngeri membayangkan tubuhnya akan menjadi santapan William kemudian merintih di bawah kungkungannya yang memiliki tubuh dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengannya. Degup jantungnya seperti kuda liar yang terus berpacu. Tak bisa dikendalikan.
"Sialan!" Tak henti gadis itu mengumpat.
"Saya nggak akan makan kamu, kok. Tenang saja. Saya cuma mau mengingatkan kalau kamu harus pakai salep biar luka di tumit kamu nggak makin parah. Habis itu langsung tidur karena saya juga sudah ngantuk. Saya tidur duluan ya."
Pada akhirnya William tak tega terus menggoda Vanilla. Ia tahu istri kecil yang baru saja dinikahinya itu pasti sudah sangat lelah, tapi tak berani keluar dari kamar mandi karena takut.
Selang tujuh menit barulah Vanilla memberanikan diri untuk keluar, setelah memastikan William tidur tentunya, padahal laki-laki itu hanya pura-pura tidur dengan posisi memunggunginya.
"Apa aku harus tidur dengannya? Gimana kalau tiba-tiba nanti dia bangun terus ...." Vanilla menghentikan ucapannya, menepuk kepalanya sendiri cukup keras.
"Gimana kamu bisa berpikiran m***m begini, Vanilla ... Tapi, Om Willi kan laki-laki dewasa, dia sudah jadi duda bertahun-tahun lamanya. Siapa yang bisa menjamin kalau dia nggak tergoda sama aku. Mulutnya saja mengataiku anak kecil, tapi badanku juga sudah berkembang dengan baik."
Vanilla memegangi dadanya, kemudian berpindah di bongkahan pantatnya. "Milikku sama seperti Bu Tari, tentu saja aku bukan anak kecil lagi," gumamnya menyebut nama salah satu dosen di kampusnya yang memiliki bentuk tubuh aduhai.
Sementara itu William mati-matian menahan tawanya. Tingkah Vanilla sungguh sangat lucu.
"Ish! Lama-lama bisa gila aku. Lebih baik cari aman."
Vanilla mengambil salah satu bantal yang ada di samping kepala William kemudian membawanya ke sofa.
Senyuman di bibir William terus terkembang, tapi ia berusaha menahan agar suaranya tak sampai terdengar oleh Vanilla.
Di kamar hotel berbeda masih dalam satu gedung yang sama.
Cinta yang baru saja sampai di pulau mimpi seketika itu juga terkejut saat mendengar daun pintu yang digedor dengan sangat keras. Pening menyergapnya, tapi gedoran di pintu terdengar mendesak. Buru-buru gadis itu turun dari ranjang untuk membukakan pintu.
"Astaga, Aksa!"
Beruntung Cinta dengan sigap menangkap tubuh suaminya meski ia terhuyung dan bahu kirinya membentur dinding. Terlambat sedikit saja mungkin tubuh Aksa akan jatuh mencium lantai.
"Aku pikir kamu nggak akan pulang," ucap gadis itu sendu.
"Aku memang nggak berniat pulang karena kamu bukan rumahku." Suaranya terdengar menggelegar seperti biasa, tak ada kelembutan sama sekali ketika berbicara dengan sang istri.
Cinta membuang muka saat mencium aroma alkohol yang menyengat kala Aksa berbicara. Ia kepayahan membantu Aksa untuk berbaring di kasur, lalu tubuhnya jatuh menimpa d**a suaminya karena kehilangan keseimbangan.
"Vanilla! Kenapa kita harus berpisah dengan cara menyakitkan seperti ini? Hanya kamu satu-satunya wanita yang aku cintai. Kembalilah padaku Vanilla. Untuk apa menikahi bandot tua itu." Aksa terus meracau.
Sembari bangkit dari atas tubuh suaminya, Cinta menyeka lelehan bening yang mulai berjatuhan. Orang lain tak pernah tahu sesakit apa rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Harusnya sejak awal Cinta tak memaksakan kehendak, sampai rela melakukan segala macam cara demi mendapatkan Aksa. Pada akhirnya sakitnya justru semakin bertambah parah.
"Kamu boleh minum, tapi nggak seharusnya sampai mabuk seperti ini."
"Kamu pikir kamu itu siapa!" Aksa mendorong kasar kepala Cinta dengan telunjuknya. "Mau aku minum sampai mati pun kamu nggak berhak larang aku."
Cinta melepas sepatu Aksa dan mengganti pakaian suaminya. Meski sangat kerepotan, tapi dia sama sekali tak mengeluh. Cinta sudah bertekad untuk menjalani kehidupannya karena ini adalah jalan yang sudah dipilihnya sendiri.
"Lihat saja nanti, kamu harus membayar semuanya. Dasar jalang! Perempuan gatal. Kalau kamu haus belaian, bukankah ada banyak om-om yang bisa memuaskanmu? Kenapa harus merusak hidupku? Kenapa harus menghancurkan masa depanku?"
Aksa terus meneriaki Cinta mengeluarkan segala lara yang mengendap di hatinya selama ini. Pria itu meracau tak karuan. Tertawa terbahak, lalu detik berikutnya menangis memilukan.
Hati Cinta seperti teriris-iris. Ia pikir wajar Aksa masih belum bisa melupakan Vanilla dan belum menerimanya, masih ada waktu untuk mencoba merebut hati pria itu. Akan tetapi sekarang Cinta menjadi tak yakin setelah melihat cinta yang begitu besar dalam diri Aksa untuk sahabatnya.
Siapa yang bisa disalahkan dalam hal ini? Meski Cinta hanya ingin mengikuti kata hatinya, tapi tindakannya juga tidak bisa dibenarkan. Ada banyak sekali hati yang tersakiti akibat ulahnya yang begitu nekat.