Vanilla dapat merasakan hangat yang tersalur dari bantal yang dipeluknya, membuatnya nyaman dan enggan mengakhiri mimpi indahnya kali ini. Sampai kemudian sesuatu yang tak kalah hangat juga menerpa pipinya, terasa menggelitik. Dengan sangat berat Vanilla mencoba membuka kelopak matanya.
"Argh!"
Gadis itu menjerit menyadari posisi tidurnya saat ini. Seingatnya dia tidur di sofa semalam, tapi pagi ini ketika bangun dia melihat wajah suaminya berada tepat di depannya, sementara tubuhnya tengah tenggelam dalam kungkungan William.
William yang kaget mendengar teriakan Vanilla ikut terbangun. "Ada apa? Kenapa teriak-teriak?" tanyanya sambil mengucek mata, lalu mengubah posisinya menjadi duduk.
"Om yang sudah pindahin aku ke sini?" Vanilla terlihat gelisah. Ia sampai melirik ketakutan ke bagian bawah selimut untuk memastikan pakaian yang menempel di tubuhnya masih utuh.
"Memang siapa lagi? Nggak mungkin kan papa kamu. Atau kamu mengharapkan Aksa yang menggendongmu semalam dan memindahkanmu ke sini?"
"Enggak usah bicara omong kosong ya, Om. Aku cuma nanya, kenapa malah merembet bawa-bawa Aksa segala?"
William tertegun, di luar dugaannya Vanilla terlihat sangat marah padahal dia hanya berniat menggodanya saja. Ia tak tahu harus menjawab apa dan kebisuan mereka membuat suasana menjadi canggung. Detik berikutnya, Vanilla gegas menuruni tempat tidur dan melangkah masuk ke kamar mandi. Sudahlah dia kaget karena pagi ini bangun dalam pelukan William, dan lelaki itu malah menambah suasana hatinya menjadi semakin buruk.
"Semalam kamu kedinginan dan hampir jatuh, itu sebabnya saya memindahkan kamu ke kasur. Tapi demi Tuhan, saya nggak ngapa-ngapain kamu. Saya nggak serendah itu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan."
Perkataan William menahan sisa langkah Vanilla sesaat sebelum gadis itu menutup pintu.
"Aku juga nggak serendah yang Om pikir. Aku nggak suka mendapatkan sesuatu dari hasil merebut milik orang lain. Jangan kira aku sudi menerima barang bekas," balasnya dengan nada menyindir. Vanilla merasa tersinggung dengan perkataan William yang mengira dirinya masih menginginkan Aksa.
Setelahnya, daun pintu yang Vanilla dorong dengan kasar menimbulkan bunyi dentuman yang membuat William berjingkat. Pria itu menggosok daun telinganya yang terasa pengang.
"Nasib-nasib ... Nikah sama bocah." William menggelengkan kepalanya heran. "Segala sesuatunya serba meledak-ledak. Salahku juga yang sudah memancing kemarahannya tadi."
William meraih ponselnya mengalihkan diri dari drama kecil yang baru saja terjadi, sambil menunggu giliran mandi.
Selang tiga puluh menit kemudian.
Vanilla mengunyah makanannya tanpa mempedulikan William sama sekali. Setiap kali William bertanya, ia hanya akan menjawab sekenanya saja.
"Kamu masih marah?" Lantaran tak tahan, William pun bertanya.
"Terus kenapa dari tadi diam?" Kembali bertanya saat Vanilla menjawab dengan sebuah gelengan.
"Cuma kesal." Vanilla menjawab singkat.
"Hm." Lelaki itu menghembuskan napasnya kuat.
'Benar-benar kekanakan. Hanya masalah kecil tapi kenapa dibesar-besarkan?'
Tadinya William ingin menggoda istri kecilnya itu untuk mencairkan suasana, tapi kemudian tiba-tiba saja dia teringat tentang permasalahan Cinta dan Aksa soal visum. Inginnya tak memikirkan hal itu, tapi William berburu dengan waktu. Ia harus mencari jalan keluar dalam dua hari ke depan, sementara ada banyak hal terkait pekerjaan dan lain-lain yang juga harus William pikirkan.
"Kalau Om bosan, kita bisa langsung pulang, kok. Aku tahu Om sibuk, banyak kerjaan," cetus Vanilla. Ia pikir William melamun karena memikirkan pekerjaannya.
Perkataan Vanilla menyita perhatian William. "Bukan begitu. Saya lagi banyak pikiran. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan?"
"Jalan-jalan?"
"Iya. Anggaplah kita pergi bulan madu," tukas pria itu.
"Bulan madu?" Vanilla mengerutkan keningnya.
"Jangan berpikiran terlalu jauh. Kamu juga tahu pernikahan apa yang sedang kita jalani saat ini. Tenang saja, saya nggak akan ngapa-ngapain kamu. Cuma liburan biasa," kata William terlihat sangat meyakinkan.
Vanilla diam mencerna tawaran William. Roy sempat menawarkan paket perjalanan bulan madu romantis di luar negeri sebagai hadiah, tapi ia belum sempat mengatakan apa-apa.
"Tapi ke tempat yang dekat saja bagaimana?"
Vanilla belum menjawab apa-apa tapi William sudah kembali bertanya.
"Nggak ke luar negeri sekalian? Kemarin papa sudah menyiapkan paket bulan madu ke Phuket."
William mendesah. Bagaimana dia mengatakan pada Vanilla kalau ide jalan-jalan itu hanyalah alasan untuk mengulur waktu sambil memikirkan cara agar Cinta terbebas dari visum yang diminta Aksa.
"Masalahnya saya hanya punya waktu seminggu, dan rencananya kita akan mengambil liburan selama tiga hari saja. Selebihnya kita bisa pergunakan waktu yang ada untuk istirahat di rumah sebelum kita kembali memulai aktivitas lagi. Saya ngantor, dan kamu pergi kuliah." William menjelaskan.
"Ya kalau begitu lebih baik kita di rumah saja. Aku tahu Om sibuk, lagi pula aku juga nggak kepengin pergi jalan-jalan, kok." Vanilla menolak.
Pria itu memijit pangkal hidungnya. Ternyata tak semudah itu membujuk Vanilla.
"Saya maunya juga begitu, tapi nggak bisa. Coba kamu pikir, kalau kita langsung pulang, kira-kira apa pendapat orang-orang mengenai pernikahan kita? Meskipun sejujurnya saya nggak peduli tentang penilaian mereka tapi saya hanya ingin menjaga hubungan baik dengan papamu. Kalau sampai dia bertanya kenapa kita nggak pergi bulan madu? Bukankah dia akan curiga?"
William mengamati perubahan wajah Vanilla, kali ini dia berharap usahanya akan membuahkan hasil.
'Demi Tuhan, ini semua gara-gara Cinta. Kepalaku sampai meledak hanya karena memikirkan anak itu.'
"Ya sudah kalau itu mau, Om."
"Jadi kamu setuju kalau kita pergi berlibur?" Vanilla mengangguk. "Hanya tiga sampai empat hari maksimal," imbuhnya.
"Nggak masalah." Vanilla mengusap mulutnya dengan tisu usai memindahkan sepiring kecil salad sayur itu ke dalam lambung.
"Kamu mau pergi ke mana?"
"Terserah Om saja."
"Enggak. Kali ini saya mau minta pendapat kamu," timpal William. "Kamu maunya pergi ke mana, bebas, terserah selagi nggak ke luar negeri. Ke Phuket atau ke mana pun kamu mau, kita akan pergi ke sana tapi lain waktu." William berjanji.
"Beneran terserah aku ya?"
"Iya. Terserah kamu mau ke Bali, Lombok, Raja Ampat." William mengangguk.
"Ke Bali nggak apa-apa?"
"Oke. Saya akan minta asisten saya untuk mengurus semuanya. Habiskan sarapanmu dan setelah itu kita siap-siap. Biar saya yang kasih tahu papa sekalian."
Vanilla tak menyahut tapi kemudian ia dengan bersemangat menghabiskan makanannya. William menghela napas lega karena untuk sementara waktu dia bisa menepi dari semua masalah yang menyangkut putrinya.
Selesai mengemas kembali barang pribadinya ke dalam koper, Vanilla mengganti pakaiannya di kamar mandi. William mengatakan kalau mereka mendapat jadwal penerbangan pagi dan tak banyak waktu yang tersisa untuk mereka bersiap.
Sementara itu di kamar, William yang telah berpenampilan rapi memilih berselancar di dunia maya. Ada banyak sekali ucapan selamat yang memenuhi kotak masuk sosial medianya. Kebanyakan berasal dari mereka yang kemarin tak bisa menghadiri pesta pernikahan William.
Pria itu sedang mengetik balasan saat bersamaan dengan ketukan pada daun pintu yang terdengar terburu-buru. William mengira petugas hotel yang datang untuk membawa meja dorong berisi piring kotor yang ia pakai untuk sarapan tadi, tapi kenyataannya yang datang justru menantunya. Orang yang saat ini paling William hindari.
"Ada apa?"
"Papi serius mau berangkat bulan madu? Papi nggak sengaja melarikan diri untuk berkelit, bukan?" Tuduh Aksa dengan melemparkan tatapan penuh kecurigaan.
"Apa maksudmu?" William terperangah.
"Seharusnya aku yang bertanya demikian. Jangan pura-pura lupa dengan kesepakatan yang sudah kita buat tempo hari, Pi. Pernikahan Papi sudah selesai, mau alasan apa lagi?"
"Ck. Kamu kan tahu betul, saya baru saja menikah. Rasanya sangat lelah, jadi wajar kalau saya pergi untuk mendinginkan otak. Kita akan tetap melakukan visum itu jadi jangan khawatir."
Ceklak.
Daun pintu terayun membuka. Vanilla tertegun melihat keberadaan mantan kekasihnya di kamar itu.
"Visum? Visum apa yang kalian bicarakan?" Vanilla menatap dua pria di hadapannya itu bergantian.
William mulai panik. Otaknya mendadak buntu hingga ia sama sekali tak bisa berpikir. Apa pun yang terjadi, Aksa harus tetap menjadi milik Cinta, batin William sibuk bergelut.
"Visum ...."