Episode 8 : Fireworks

1361 Kata
J'Althea Agency | Republik Kolombia, Bogota. "Sofia! Apa kau mendengarkan ku?"tanya Thomas, memecahkan keheningan ruang rapat. Wanita itu mengangkat dagu, mengedarkan mata ke tiap orang heran. "Ah. Maaf, aku sedang tidak sehat,"Sofia memijat kening nya, meletakkan ballpoint di sisi buku catatan. "Ini rapat penting. Proyek besar! Jika kau tidak bisa konsentrasi, sebaiknya...." "Aku bisa! Maaf,"kepala Sofia tertunduk. Merasa cukup bersalah. "Okay. Kita lanjutkan! Kalian pasti sudah tahu kalau rumah mode Channel menunjuk agency J'Althea agar memberikan model yang tepat untuk produk terbaru mereka. Aku ingin Lucia,"sebut Thomas tegas. "Lucia dos santos?"tanya Sofia, mengangkat kedua alis nya tinggi. "Ya. Aku tahu model itu. Dia baru menikah secara private dengan salah satu pengacara terkenal, 'kan?"sela seorang wanita yang duduk di sisi kiri Sofia. "Apa kau tidak punya model lain yang bisa...." "Lucia memiliki keterampilan dalam hal ini. Penampilannya bagus, lagipula, dengan background keluarganya yang menjabat sebagai walikota, kita bisa mendapatkan double promosi,"balas Thomas membuat Sofia terdiam. Ia menelan ludah, menunduk ke arah meja. Lucia bukan hanya berhasil merebut Matteo dari hidupnya, ternyata sekarang, ia juga mencoba mengacaukan pekerjaan yang pernah menjadi alasan untuk menunda pernikahan. Sofia tidak ingin semua harapannya hilang. "Bukankah Lucia menikah dengan mantan kekasih mu, Sofia?"celetuk salah satu rekan kerjanya. Membuat Sofia kembali mengangkat kepala. Menatap wanita itu penuh ancaman. "Kau salah orang!"balas Sofia serak. Mengepal tangannya kuat. "Aku menyusun rapat untuk membicarakan masalah kantor, bukan hal pribadi, Larissa!"ucap Thomas. "Maaf, sir. Aku hanya menebak, karena....." "Cari kontak Lucia. Tawarkan dia pekerjaan ini bagaimanapun caranya. Kontrak harus di tandatangani paling lama seminggu,"potong Thomas menatap ke arah Larissa. Wanita itu melirik Sofia, memicing tajam, lantas mengangguk pada Thomas. Setuju pada perintah pria itu. Sementara Sofia memilih senyap. Merasa dunia seakan sempit. Jika Lucia setuju, mau tidak mau, ia terpaksa bekerja dengan gadis itu. Istri Matteo, mantan kekasih yang masih sangat ia cintai. _______________ Dengan dahi mengerut, Lucia tertunduk. Mengutuk sebagian dirinya yang lemah. Bagi Lucia, Matteo adalah separuh hidup. Segenap harapan. Tapi kenapa, pria yang ia kenal sejak usia tiga tahun itu begitu dingin. Kejam. Tidak berperasaan. Menolak harapannya bagai debu yang lewat sesaat. Ini masih awal, namun Lucia seakan melihat mimpi-mimpinya terbakar. "Lucia,"Matteo memanggil serak. Mengunjungi Lucia yang belum menyentuh makanan sejak siang. Mereka bermalam di yatch, tidak jauh dari dermaga. Dua jam lagi, Martinez akan meledakkan ratusan kembang api ke udara, merayakan 100 tahun berdirinya hotel. Lucia menoleh, tidak menjawab apapun. Hanya helaan napas yang berhasil di tangkap telinga Matteo. "Kau tidak makan?"tanya Matteo berat. Gadis itu menggeleng kepala, malas berinteraksi seperti biasa. "Aku minta maaf,"sela Matteo, melangkah mendekat. "Om gak perlu minta maaf. Aku gak apa,"jelas Lucia singkat. Berjalan menghindar. "Lucia..."tahan Matteo, dengan cengkeraman di pergelangan tangan Lucia. Menggenggam kuat. Gadis itu mengangkat kepala, sedikit tinggi untuk melihat keseluruhan wajah Matteo. "Aku minta maaf. Aku tidak berniat mengatakan hal buruk padamu." "Iya. Lepasin ya, Om. Aku mau tidur!"jengah Lucia, menggerakkan tangannya. Matteo tidak bersuara, fokus memerhatikan. "Om...."panggil Lucia. Meringis sakit, membalas tatapan pria itu. Tangan Matteo berpindah cepat, menekan sudut pipi Lucia. Matteo menariknya mendekat, meraih bibir gadis itu. Lucia bungkam, terdiam kaku merasakan penyatuan. Terlebih, gadis itu terkejut, spontan membuka mulut saat Matteo menggigit bibirnya kuat. Lucia merasakan aliran dahsyat di sekujur tubuhnya. Ia bergetar. Tanpa melepaskan ciuman, Matteo membawa dan menjatuhkan tubuh Lucia ke ranjang. Matteo mengatur napas, melepas kaos di tubuhnya. Matteo tidak melepaskan pandangan dari Lucia yang terbaring di ranjang. Membenarkan posisi untuk turun. "Om....."Lucia kembali bungkam, menekan d**a polos Matteo. Pria itu menindihnya. Sementara menyatukan kembali bibir mereka lebih dalam. Lucia gusar, merasa panas. Matteo memeluknya, menarik resleting dipunggung Lucia dan melepaskan pakaian gadis itu. Ia tidak bisa bersuara, bahkan bernapas. Mulut Matteo giat mencumbunya. "Lucia, please! Biarkan aku masuk,"ucap Matteo serak, menyatukan kening mereka, sambil mengusap pipi gadis itu dengan ibu jarinya. Lucia mengedarkan mata, seakan memerangi tatapan tajam Matteo. Mereka dekat, Lucia begitu kenal dengan aroma harum Matteo. "Om.... Mau masuk ke mana?"tanya Lucia polos. Melingkarkan kedua tangan, menutupi d**a yang masih tertutupi bra. Matteo tersenyum tipis, mengecup bibir Lucia sekali. "Akan ku ajari, cara saling memuaskan!"bisik Matteo, memindahkan ciuman di kening. Hingga gadis itu memejamkan mata. Sekali lagi, ludah di kerongkongan Lucia terasa tercekat. Ia menelannya. Kuat, hingga dagu nya sedikit terangkat. "Ya,"jawabnya singkat. Matteo memiringkan bibir, mengusap tali yang tersangkut di bahu Lucia. Ia menariknya turun, melepaskan penghalang. Lucia memalingkan wajah, menahan malu. "Jangan di tutupi! Aku ingin benar-benar melihat mu!"pinta Matteo, memegang kedua tangan Lucia dan meletakkan nya sejajar dengan kepala gadis itu. Sungguh, selama ia berada di sisi Matteo, baru detik ini Lucia merasa begitu takut. Matteo menurunkan ciuman, memberikan tanda kissmark di leher gadis itu, sambil meremas-remas d**a yang terlihat membusung. Begitu pas dan bulat. Lucia mendongak, menggigit bibir bawahnya keras. "Om.. Geli..."desah Lucia. Merasakan bibir tebal Matteo bergerak, perlahan turun ke pusar nya. Mengecup singkat beberapa bagian di perut. Matteo tidak menjawab, lekas menarik sisa penghalang terakhir yang ada di tubuh gadis itu. Lepas, sirna, Lucia sudah begitu telanjang. Lucia menutup mulut, berusaha menahan desahan. Sungguh, tidak ada lagi penolakan dari gadis itu, yang tersisa hanya kepasrahan. Matteo memulai, memberi sensasi yang semakin jauh. Jarinya masuk, menari di sela bagian penting Lucia. "O... M..."lolong Lucia panjang, merasakan keanehan di tubuhnya beberapa saat kemudian. Matteo sengaja mengabaikan, tetap memberi contoh kenikmatan kecil untuk gadis itu. Lucia basah, siap memasuki fase selanjutnya. Matteo melepaskan bawahannya, membebaskan diri. Lucia sedikit menunduk, memeriksa kegiatan pria itu. Namun, Matteo segera naik, menindih nya cepat. Kulit mereka bersentuhan, terasa lembab, basah sebelum waktunya. Lucia mendapatkan ciuman lagi, kali ini ia membalas, mulai mempelajari cara Matteo. Lidah mereka beradu, penuh, berlomba untuk saling mendapatkan hingga sesak. "Lucia.. Tatap mataku!"pinta Matteo, mengusap wajah gadis itu. Lucia mengangguk, memandang sayu. "Hanya mataku, aku akan masuk!"bisik Matteo memperingati. Memberi waktu beberapa detik untuk Lucia mengambil napas. "Ya,"jawab Lucia serak, tanpa berpikir. Matteo menggenggam miliknya yang terlihat kuat, kokoh hingga sulit mengepal nya keseluruhan. Ia menuntun dekat, menonton reaksi Lucia sambil perlahan masuk. "Panggil namaku, please!"pinta Matteo sedikit takut jika gadis itu merasa sakit. "Omm,"ringis Lucia merasakan Matteo mulai hadir di pintu kenikmatan. "Namaku, Lucia!!" "Matteo!!! Ahhh!"teriaknya serak, bersama napas memburu. Pada saat yang sama, Matteo mendorong miliknya, menekan masuk. Mereka bersatu begitu dalam. "Ah.. Lucia,"paut Matteo. Tenggelam ke dalam tubuh gadis itu. Mencium nya dominan. "Om. Perih,"bisik Lucia pelan. "Sabar, Ya. Sayang,"balas Matteo, mengusap telinga Lucia dengan jemari kaku nya. Tetap memberi rangsangan, agar Lucia teralih dari rasa sakit. Matteo bergerak pelan, menarik napas cukup panjang. Perlahan, ekspresi wajah Lucia berubah, mulai menikmati dan semakin basah. "Masih sakit?"tanya Matteo memastikan. Lucia menggeleng, memindahkan kedua tangan ke leher Matteo. Pria itu tersenyum, mengecup ujung bibir Lucia singkat. Mereka begitu intens, seperti takut berpisah. Matteo bergerak lebih cepat. Membuat Lucia semakin melambung. "Om.. Aku sayang sama Om..."ucap Lucia sesak. Tidak terdengar oleh Matteo. Namun, pria itu menunduk, memeluk Lucia lebih rapat. Ia bergerak lincah, sedikit kasar. Lucia terlena, tidak lagi kuat menahan desahan. Ia menikmati, berbagi kepuasan pada Matteo, meskipun pria itu tidak mengakuinya. Lucia sudah memberikan seluruh hidupnya, sisa kehormatan terakhir yang ia miliki, hanya untuk Matteo. Mereka bercinta, percikan panas di antara keduanya membara. Lucia bergetar. Tubuhnya mengeras kaku, menatap mata Theo sampai permainan berakhir. "Omm....!"suara Lucia terdengar lebih kuat. Matteo paham. Lebih semangat bergerak untuk Lucia. Mengulum bibir gadis itu, mencumbunya dalam, sampai Lucia menyerah. Jatuh kembali ke ranjang. Matteo juga sampai beberapa menit kemudian, ia menahan tubuh gadis itu, memegang pinggulnya keras agar tidak terlepas dan tumpah di dalam Lucia. Matteo mendongak, mengembuskan napas lewat mulut ke atas, ia begitu puas. Bertepatan dengan itu, suara kembang api dari hotel Martinez meledak, terdengar begitu kuat. Lucia tersenyum tipis, mengintip kembang api dari celah jendela kapal. Matteo mundur, turun dari tempatnya. "Ayo! Kita lihat di luar,"ajak Matteo lembut, menyelubungi tubuh gadis itu dengan selimut. Lucia mengangguk, menahan malu dengan wajah yang begitu merah. Ia bangun lebih dulu, menahan selimut. Matteo ikut, menyisip masuk ke dalam, memeluk gadis itu dari belakang dan membawanya keluar kapal dan berdiri di depan deck, memandangi langit berubah indah. Bukan hanya mereka, ada kapal-kapal lainnya di sekitar laut. Ikut menikmati pesta. Bagi Lucia, ini adalah malam paling indah. Ia tidak akan pernah melupakannya begitu saja. Matteo mengecup puncak kepalanya, menandakan bahkan semua bukan khayalan atau mimpi. ______________ Bagaimana untuk part ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN