Chapter 7 : Cannes Restaurant

1206 Kata
"Om. Tangannya lagi sibuk gak?"tanya Lucia, memasang wajah muram. Mengusik ketenangan Matteo yang duduk bersantai di balkon dengan ponsel dan segelas coffee.  "Kenapa?"balas Theo datar. Lucia melebarkan bibir, mengulum senyuman gemas. "Tolong tarik resleting nya ke atas donk, Om!"Lucia berputar, menyuguhkan punggung terbukanya. Matteo senyap. Menaikkan pandangan, menyusuri kulit gadis itu. "Om... Bisa bantu, nggak?"tanya Lucia. Belum mendengar jawaban apapun. Matteo menghela napas, bangun dari tempatnya. Berdiri sejajar dengan gadis itu. Menatap puncak kepalanya sesaat. Tinggi badan mereka jauh berbeda. Lucia terlalu rendah untuknya. "Kau harusnya tidak meminta bantuan ku untuk ini,"protes Matteo. "Ya. Aku kan gak mungkin nelpon mommy buat ngancing dress nya, Om. Pasti lama, duluan masuk angin,"balas Lucia. "Hmm.,"Matteo bergumam pelan, berangsur maju lebih dekat, meletakkan tangan kirinya di pinggul Lucia. Menahan agar pakaian gadis itu tidak terangkat. "Om pakai parfum apa sih? Harum,"batin Lucia. Merasakan jari Matteo mulai bergerak naik. Bersamaan dengan resleting yang nyaris tertutup. "Sudah,"tegur Matteo singkat. "Thank you, Om." "Apa kau bisa berhenti memanggil ku dengan sebutan itu?"tandas Matteo risih, membuat Lucia kembali menghadap ke arahnya. "Jadi, aku harus manggil Om sayang, gitu?" Matteo senyap, tidak merespon. Namun, terlihat ia mengeluh pelan. Menggaruk sisi alisnya yang tebal. "Panggil aku Matteo." "Matteo?" "Ya!" "Tapi kan..." "Perlu aku ingatkan kalau aku sekarang suami mu?"potong Matteo cepat. Membungkam mulut Lucia. "Cepatlah berkemas! Kita turun ke restauran lima menit lagi,"sambung Matteo sambil memeriksa jarum arloji nya. Lucia mengangguk, berputar arah untuk memasang pelembab bibir di meja rias. Menyiapkan diri ringkas. _________________ Martinez Restaurant | 10.35 Sesekali, terdengar suara ombak. Bergulung menuju pantai, burung bernyanyi, bersama matahari yang mengudara tinggi. Memberikan kehangatan bagi tiap tamu Martinez. Berkali-kali, suara langkah kaki terdengar kencang, melewati meja makan Matteo dan Lucia. Keduanya belum mengatakan apapun sejak tadi. Canggung. Sementara Lucia masih sibuk memikirkan kejadian tadi malam di kamar hotelnya. Ia menelan ludah, menggelengkan kepala. Matteo keterlaluan. Tapi, Lucia merasa bersalah, sebagai istri ia belum mampu memuaskan Matteo. Lucia meraih ponselnya, memberanikan diri untuk mengganti email yang sama dengan Alicia. Berharap mommy nya tidak akan tahu, apa yang ia tulis di pencarian. Alicia tidak memiliki toleransi terhadap kontrol yang satu itu. Cara memuaskan suami di ranjang. Lucia melirik Matteo, mengulum bibirnya sesaat. Matteo mengangkat kepala, menoleh ke arahnya. "Kenapa?"tanyanya. "Nggak. Om ganteng banget sih,"tukas Lucia. Mengalihkan perhatian. Menyematkan kejujuran yang keluar begitu saja dari mulutnya. Matteo berhenti mengunyah, tersenyum tipis. "Habiskan makanan mu terlebih dahulu baru....' "Omm!"Lucia berteriak kencang, ketika Matteo merampas ponselnya. Ia membulatkan mata, mendadak kaku di tempat. Matteo menaikkan salah satu alis, memeriksa ponsel gadis itu tanpa privasi. "Cara memuaskan suami di ranjang? Hmm. Artikel yang bagus,"sindir Matteo berat. Lucia berdiri, menarik ponselnya kembali. "Aku mau ke toilet!"ucap gadis itu dengan wajah merah, segera melebarkan langkah kakinya menjauh. Meninggalkan meja. Matteo melebarkan bibir, menatap kepergian Lucia sambil mengeluh kasar. "Konyol!"ucapnya pelan. Lantas, kembali menghabiskan sisa makanan. Hingga mendengar suara ponselnya. Dengan cepat, pria itu menangkap, memeriksa layar benda canggih itu. George menelpon. "Ya. Sir,"ucap Theo singkat. "Lucia di dekat mu?" "Tidak. Dia ke toilet!"jawab Matteo, mengedarkan mata ke tiap tempat. "Ada hal yang ingin aku tanyakan. Tidak bisa menunggu kalian pulang." "Ya. Aku akan menjawab nya." "Aku mendapatkan laporan. Terjadi aksi penculikan di sekitar apartemen mu tiga hari sebelum pernikahan kalian. Menurut saksi mata, kau dan Lucia di sana, ada yang kau sembunyikan dari ku Theo?"tanya George. Matteo mengangkat kepala, mengulum bibirnya sejenak. "Mereka mengincar Lucia." "Kenapa kau merahasiakan itu dariku?" "Kau yang tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi di apartemen ku hari itu, sir,"dongkol Matteo tegas. Meremas sisi ponselnya kuat. George diam sejenak, mungkin tengah berpikir di sisinya. "Lucia berarti tidak aman,"jelas George pelan. "Aku akan memeriksanya sekarang!" "Ya. Kita bicara lagi setelah kalian pulang,"ujar George. "Aku akan pulang besok!" "Baiklah!" Panggilan putus, Matteo bergegas, mengemasi barang nya, membayar tagihan makan mereka. Lantas, segera berjalan menuju toilet. _____________________ Jari-jari Lucia bermain di layar ponselnya. Menekan sesuatu, mencoba menghubungi Julia dan Carmela. Mereka mungkin masih tidur, Cannes lebih cepat tujuh jam dari Bogota. Wajar, jika sahabatnya itu masih berada di alam mimpi. "Lucia." Gadis itu menoleh, memalingkan pandangan ke sumber suara. Ia melebarkan bibir, tersenyum penuh kejutan. "Oxcaz?" "Syukurlah. Kau masih mengingat ku!"tukas Oxcaz ramah. "Ingatan ku masih kuat, jangan meremehkan Lucia,"ujarnya senang. "Okay. Duduklah! Aku pesan makanan cukup banyak siang ini,"pinta Oxcaz, menarik kursi di sebelahnya. "Hmm. Tapi.. Aku sama Om...." "Duduklah! Sebentar saja,"bujuk Oxcaz. Lucia mengulum bibir, menoleh ke belakang beberapa detik. Lalu mengangguk penuh persetujuan. "Okay. Karena ini pertemuan kedua kita. Kau yang traktir,"sebut Oxcaz mengingat janji mereka. Lucia membulatkan mata, mengingat dompetnya tertinggal di meja bersama Matteo. "Aku hanya becanda. Jangan panik." "Aku tidak panik. Aku bisa menelpon...." "Stop. Kau tidak perlu memberiku alasan. Makanan ini sudah ku bayar,"pamer Oxcaz. "Kalau aku melihat mu di Bogota. Aku janji akan mentraktir mu dua kali." "Janji!"Oxcaz mengangkat tangannya, memberikan jari kelingking pada gadis itu. Lucia tersenyum, mengikat jari kecil mereka, dan segera melepaskannya kembali. "Ngomong-ngomong. Sepertinya aku pernah melihat mu." "Kita pernah bertemu sebelumnya?"tanya Lucia. "Tidak. Maksud ku wajah mu terlihat familiar. Tapi aku benar-benar tidak bisa mengingat mu. Hmm. Aku jarang melihat media sosial dan televisi." "Aku hanya punya i********:, mommy membatasi aktivitas ku sebanyak mungkin,"jelas Lucia kesal. Sesekali ingin membebaskan diri. Ia terkekang. "Orang tua wajar khawatir!" "Ih. Tapi nggak gitu juga. Aku sulit beradaptasi. Apalagi sejak aku dan Om me.......!"Lucia memalingkan mata. Menangkap sosok tegap, memegang dan menarik lengan kiri Lucia. "Om?"serunya pelan. "Brother, maaf.. Kau menyakiti Lucia,"tegur Oxcaz. Ikut menahan lengan Lucia yang satunya, gadis itu serba salah, meringis menahan sakit. "Lepaskan tangan mu berengsek!"Matteo meremas kerah pakaian Oxcaz, mengangkat nya sedikit hingga pria itu berjinjit. Oxcaz mendongak, membalas pria itu dengan tatapan mengancam, Matteo mendorong nya mundur, membuat pautan Oxcaz dari Lucia lepas. "Om.... Kenapa sih...." "Ikut aku!" "Om!" "Kau ikut atau ku tinggal di Cannes?"sentak Matteo tegas. Membuat Lucia menelan ludah. Gadis itu melirik Oxcaz, menjelaskan sesuatu yang belum sempat keluar dari mulutnya. "Cepat!"Matteo menyatukan tangan mereka, menggenggam erat, menarik gadis itu untuk segera pergi dari restauran. Mengakhiri pertunjukan yang menjadi tontonan tamu lainnya. ________________ "Om. Ngapain nyewa yatch?"tanya Lucia, memecah keheningan di antara keduanya. "Om masih marah? Aku sama Oxcaz cuma temanan kok,"aku Lucia serak. Menatap punggung tegap Matteo yang berdiri di salah satu jendela kapal. "Apa kau tidak punya etika?"tanya Matteo tegas. "Maksud Om?" "Sudah aku katakan, jangan panggil aku Om!"sentak Theo, membuat Lucia diam. Matteo menarik napas, mencoba memelankan suara kembali."Ini bukan Bogota, Lucia. Tidak ada yang mengenal mu di sini." "Buktinya Oxcaz nggak ngapa-ngapain aku!"lawan Lucia pelan. "Oh ya? Apa kau tau semua niatnya? Sudah berapa lama kau mengenalnya? Sehari? Dua hari? Atau lebih lama dari kau mengenal ku? Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu? Aku Matteo, suami mu, bertanggung jawab penuh atas dirimu. Sesekali, gunakan otak mu untuk berpikir! Hah?"Matteo membentak keras. Mengepal kedua belah tangannya, menatap Lucia tajam. Gadis itu diam, menundukkan pandangan saat merasakan kelopak matanya panas, lalu basah. Ia menelan ludah, bergetar dan dingin. Lucia berbalik, berlari ke arah lain, untuk meninggalkan Matteo. "Lucia!"teriak Matteo kencang, mencoba menghentikan langkah gadis itu. Namun, tidak ada respon sedikitpun dari Lucia, sampai tubuhnya benar-benar hilang dari pandangan. "f**k!"umpat Matteo. Mendudukkan tubuhnya di sofa sambil meremas rambutnya yang kasar. Menarik napas sebanyak mungkin, frustrasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN