"Matteo. Aku di terima! Besok aku mulai bekerja di agensi itu. Kau tahu? Aku sangat senang, ini impian besarku!"
"Really?"
"Yes. Aku ingin merayakannya. Cepat! Ganti pakaian, akan ku traktir kau."
"Sofia. Aku ingin mengatakan sesuatu,"Matteo memasang wajah serius, menarik kedua belah tangan wanitanya rapat. Menyelam dalam ke manik mata milik Sofia.
"Apa?"
"Aku ingin kita menikah."
Sofia terdiam. Sedikit menunduk tanpa reaksi atas ajakan Matteo. Wanita itu menelan ludah, mencium punggung tangan Matteo lembut. "Hmm.. Tapi tidak sekarang. Jika aku menikah kurang dari satu tahun masa pekerjaan. Aku akan di pecat."
"It's okay. Aku akan menunggu mu. I love you."
"I love you too, Matt,"Sofia tersenyum, masuk ke dalam ceruk pelukan Matteo yang hangat. Pria itu mencium kening nya. Memberi kasih sayang sebanyak mungkin.
"Tambah, sir?"tegur seorang pelayan, mengusik seluruh lamunan Matteo, sambil menawarkan minuman. Matteo menolak, menggeleng pelan. Ia tidak ingin mabuk. Masih setia menunggu balasan dari Sofia. Maka dari itu Matteo hanya minum sewajarnya, mempertahankan kewarasan, Matteo frustrasi. Jari-jari besar nya berselancar di layar ponsel, menatap sisa fotonya bersama Sofia.
"Panggil aku jika kau butuh sesuatu,"tukas pelayan itu lagi.
"Ya. Tolong bungkus kan beberapa makanan khas di sini untuk istriku,"gumam Matteo.
"Baik, sir. Akan ku siap kan segera!"
"Ya. Sekalian...."ucapan Matteo berhenti. Saat matanya menangkap Lucia dari sudut pembatas. Gadis itu tertawa, tampak memiliki lawan bicara. Matteo mengintip, mencoba mencari tahu, dengan siapa istrinya bicara. Ini bukan tempatnya, Lucia harus berhati-hati.
"Sekalian apa, sir?"
"Ah, sekalian Bill nya,"gagap Matteo tanpa mengalihkan wajah dari gadis itu.
"Baik. Tolong tunggu sebentar!"jawab pelayan itu, ikut menoleh ke arah pandangan Matteo. Penasaran, namun, pergi ke lawan arah, meninggalkan Matteo untuk meminta koki restauran mempersiapkan makanan.
Kening Matteo berkerut. Pusat perhatiannya kini tertuju pada Lucia. Ia menyimpan ponsel, mencoba bergeser ke kanan dan akhirnya, menangkap satu sosok asing. Pria muda yang bergaya seperti berandalan. Matteo bangkit, ingin mendekati Lucia. Namun, seseorang pelayan lain menabraknya tanpa sengaja, hingga juice yang orang itu bawa mengenai pakaian nya.
"Sir. Aku minta maaf. Aku tidak sengaja. Aku..."
"Ya. Tidak masalah!"tepis Matteo saat pelayan itu mencoba menyentuhnya. "f**k!"gumam Matteo pelan, mencoba mengeringkan pakaian seadanya. Sial. Ia menjadi tontonan di sana. Namun, Lucia dan temannya tetap tenang, tidak menoleh sedikitpun.
"Aku bantu kau untuk...."
"Tidak perlu. Aku ke toilet sebentar. Letakkan saja bill nya nanti!"pinta Matteo mengalihkan matanya sejenak ke arah Lucia. Ia berlalu, mencari toilet untuk membersihkan diri. Juice itu lengket di tubuhnya.
"f**k!"lagi, sebuah umpatan terlahir dari mulutnya. Matteo membersihkan diri secepat mungkin, kembali ke mejanya dan melihat bill di sana. Matteo mengintip Lucia. Memastikan gadis itu, menarik dompet, membayar semua tagihan, di saat yang tepat, Lucia bangkit. Tampaknya obrolan mereka berakhir.
"Sir. Makanan mu masih belum siap,"teriak pelayan tadi yang lewat. Melihat Matteo berjalan menjauh.
"Untuk mu!"balas Matteo, berjalan menuju meja Lucia. Gadis itu sudah pergi, meninggalkan teman barunya setelah berpamitan. Matteo penasaran, terhenti sana. Menatap wajah Oxcaz seksama, tajam, dalam, penuh selidik. Sungguh, Matteo tidak ingin di penggal George karena tidak bisa menjaga Lucia di Cannes.
"What?"tanya teman Lucia itu. Membalas tatapannya dengan salah satu alis terangkat. Oxcaz Verwood, pria yang cukup tampan, memiliki bibir merah dan tindik di telinga kanan nya. Tampilannya sangat tidak meyakinkan. Seperti preman. Matteo tidak menjawab, lalu melangkah mengikuti jalan yang di lalui Lucia. Mengikuti gadis itu dari belakang.
____________
Lucia memasuki ruangan penthouse suit hotel Martinez yang di d******i warna kesukaan Lucia, biru putih. Kamar ini khusus, sangat luas dan mahal, Martinez menawarkan balkon dengan tempat bersantai yang bisa menampung beberapa orang, kolam kecil untuk berendam, dapur, dan kamar mandi yang super nyaman.
Menyadari Matteo belum pulang, Lucia lebih berani, menanggalkan pakaian di sisi ranjang, membiarkan kain-kain itu berserakan, tergeletak begitu saja. Ia berjinjit, memasuki bathroom glasses wall. Lucia menoleh ke arah pintu kaca sesaat. Setelah tidak mendapati tanda dari Matteo, ia pun membiarkan kaca tetap bening, tanpa menekan tombol intelligent glass, yang berfungsi untuk memudarkan kaca.
Lucia berdiri di bawah shower, membiarkan bulir air membasuh tubuh gerah nya. Ah. Ini sangat menyenangkan. Buih-buih sabun itu membelai tubuhnya halus. Sejenak, Lucia ingin bermain-main, mencium aroma Lavender yang ia suka. Aromanya benar-benar rileks.
Matteo masuk, dan matanya langsung tertuju pada sudut ruangan. Ia terpaku, menatap Lucia naked, benar-benar terlihat jelas. Sial. Isi otak Matteo langsung kotor. Matteo mengusap wajah, mencoba berjalan cukup kuat. Namun, Lucia tidak terpengaruh. "Dia istriku, jadi aku tidak salah jika menyentuhnya, 'kan?"pikir Matteo beberapa saat. Lucia kembali di bawah shower, menyingkirkan semua busa yang melekat di tubuhnya. Matteo menelan ludah, tidak tahan menahan diri. Ia ingin mendekat.
Setelah membebaskan tubuh dari semua pakaian. Matteo bergabung, diam-diam masuk ke dalam kamar mandi. Ia tidak tahu, Lucia sengaja tidak memperdulikannya atau apa. Yang jelas, gadis itu tidak menoleh, tetap sibuk sendiri. Mungkin karena suara air terlalu keras di dalam ruangan itu. Melumpuhkan seluruh indra pendengaran Lucia.
Matteo mendekat, ingin menyatukan tubuh mereka. Ia ingin bebas, menjamah miliknya.
"Lucia..."bisik Matteo serak. Kedua mata Lucia membulat. Ia terkejut, ingin memutar tubuh. Namun, Matteo menahannya, menekan kedua tangan di tembok dan mengecup punggung polos Lucia. "Don't move!"
"Om...."tutur Lucia di tengah terjangan air yang kini dingin. Matteo mematikan air panas. Memeluk tubuh Lucia, berharap gadis itu menggantungkan diri padanya.
"Om.. Kau mau apa?"tanya Lucia menelan ludah. Mengingat lagi perkataan sahabatnya. Matteo tidak menjawab. Memegang pinggul Lucia keras. Gadis itu ingin menoleh, lalu mendongak tinggi hingga puncak kepalanya membentur d**a Matteo.
"Ommm. Geli..."risau nya bergetar. Kedua tangan Matteo di dadanya. Meremas keras begitu pas. "Om,"Lucia menggigit bibir, tidak berhenti memanggil pria itu sebisanya. Ia ingin melawan, namun reaksi tubuhnya berkata lain.
"I want you, Lucia,"sebut Matteo, memutar tubuh gadis itu, hingga mata mereka bertemu. Tuhan, Lucia ingin mengamuk, tapi rasa nikmat mendera dirinya. Matteo mencium bibirnya, melumat cukup kasar. Lucia membalas, meski kaku Matteo cukup menikmati. Mereka mencari panas, di tengah dinginnya air. Lucia sesak, air menghalangi oksigen masuk ke dalam paru.
Tubuh naked mereka menyatu, basah. Matteo menarik Lucia. Lagi, keluar dari shower dan berpindah ke lemari yang tidak jauh dari sana. Mendudukkan dan memberi Lucia napas sejenak, lalu kembali melumat bibir gadis itu. Lucia mati kutu, suaranya yang menggemaskan bungkam. Ia takut. Tidak memahami tindakannya saat ini.
"Om.. Aku takut. Kau mau apa?"tanya Lucia. Merasakan Matteo menyatukan hidung mereka. Menatap tidak jauh. Matteo tersenyum, memberi ciuman kecil di pipi Lucia.
"Aku ingin kita melakukannya?"ucap Matteo tidak tahan.
"Melakukan apa?"balas Lucia. Menyilangkan kedua tangan di d**a. Mencoba merapatkan kedua paha yang terhalang oleh tubuh Matteo.
"Kau akan suka,"bisik Matteo lagi. Mengecup telinga Lucia. Gadis itu kedinginan. Tubuhnya bergetar.
"Om. Jelasin dulu!"pinta Lucia mendorong pria itu sedikit memberi jarak. Matteo tersenyum, paham dengan kepolosan Lucia.
"I will f**k you,"Matteo bicara kasar, cukup kotor untuk di dengar Lucia. Gadis itu menurunkan mata, dan langsung tertuju pada bagian terlarang milik Matteo yang segera meminta masuk ke dalam surga milik Lucia. Gadis itu membulatkan mata, menelan ludah. Lalu hilang kendali. Gelap dan tidak kuasa menahan berat tubuhnya.
"Lucia!"teriak Matteo, menangkap tubuh gadis itu dengan cepat. Memeluknya kuat. Lucia pingsan.
___________________
Beberapa jam kemudian...
Matteo berjalan mondar-mandir, menatap Lucia yang terbaring lemas di ranjang kamar mereka, bersama seorang dokter wanita profesional. Dokter itu menoleh ke arahnya, setelah memeriksa tekanan darah Lucia.
"Bagaimana?"tanya Matteo khawatir.
"Tidak masalah. Dia sepertinya hanya syok, besok akan pulih!"wanita itu meraih kertas, mencabut ballpoint dari saku pakaian. Menuliskan resep obat di sana. "Vitamin ini akan membantunya."
"Thanks. Bayaran mu akan ku masuk kan kedalam tagihan hotel,"ucap Matteo.
"Ya. Semoga istri mu lekas pulih,"ujar dokter itu pelan. Beranjak dari tempat dan berpamitan pada Matteo untuk pergi.
Matteo menarik napas. Menatap Lucia dari pinggir ranjang. Khawatir pada keadaan Lucia. Terlebih, Matteo malu, bagaimana bisa ia memaksa Lucia seperti itu. Lucia bukan Sofia. Lucia sangat polos, terlalu kekanak-kanakan. Gadis itu tengah menjadi jati diri. Matteo merasa merampas kehidupan Lucia.
"Om..."panggil Lucia. Perlahan bangun.
"Istirahatlah!"Matteo mendekat, mengusap kening Lucia.
"Om.. Maaf, Ya. Aku belum siap. Kau tidak marah, 'kan?"tanyanya menahan tangis.
"Tidak. Aku yang seharusnya minta maaf. Kenapa kau pingsan?"tanya Matteo penasaran.
"Takut...."
"Takut apa? Hmm?"
"Kalo gak muat gimana? Besar Om!"tuding Lucia manja. Matteo tersenyum lebar, mengusap wajah yang mendadak panas. Ia memalingkan wajah. Tertawa lebar untuk pertama kalinya di hadapan Lucia. Ia biasa bersikap dingin. Bicara seadanya. Namun kini, perut Matteo terguncang karena kalimat Lucia.
Anak ini lucu.
"Om kenapa ketawa sih? Aku kan udah jujur!"protes Lucia.
"Sudah. Jangan di bahas. Istirahatlah! Besok aku akan mengajak mu jalan-jalan ke seluruh Cannes,"tawar Matteo, dan di balas anggukan lemah dari Lucia.
"Om... Tadi siapa yang masangin baju?"tanyanya menyempatkan diri.
"Aku,"jawab Matteo singkat. Lucia diam, terpikir sesuatu. Matteo menjauh, mengelak pertanyaan yang mungkin akan menyudutkan nya. Pria itu membuka kaos yang ia kenakan, memberikan pemandangan yang membuat Lucia sesak napas. Tubuh Matteo kekar. Begitu pantas dengan kesempurnaan yang ia miliki. Lucia menutup mata, menghindari semua pikirannya, dan merasakan ranjang nya bergerak. Matteo tidur di samping nya.