Prolog
Perlahan berita itu membuncah di dunia maya. Berbagai ucapan bela sungkawa terus berdatangan dari orang- orang kubu atas.
Berbagai foto dan video dengan caption menyayat hati, membuat siapapun tersentuh. Namun siapa sangka? Dibalik kata- kata bela sungkawa yang begitu menyedihkan ternyata hanyalah topeng sebagai pengalihan.
Topeng pengalihan dari mereka pelaku- pelaku pembunuhan secara tak langsung. Pelaku yang selama ini membunuhnya secara verbal. Tanpa kekerasan, tanpa senjata tajam. Hanya melalui kata- kata.
Siapa sangka jika kata- kata itu mampu menghancurkan diri seseorang?
Semua tangis palsu itu, yang sebenarnya adalah tawa kemenangan mereka. Ketika salah satu saingan mereka dalam industri perfilman memilih untuk mengakhiri hidup dan karirnya.
Tidak ada lagi dia, si aktor terbaik dengan kemampuan yang tak semua orang miliki. Disaat ia mungkin bisa jadi insinyur hebat, tapi keputusannya untuk terjun ke dunia hiburan nyatanya hanya jalan pintas untuk mempercepat kematiannya.
Jika saja dulu ia memilih menekuni kemampuannya di bidang tekhnik, mungkin... mungkin dia masih disini. Meski belum tentu kita mengenalnya.
......
Beberapa jam sebelum ditemukan....
Pria berkulit sawo matang dengan wajah maskulin serta terkenal memiliki senyuman manis itu kini merenung di balkon kamarnya. Dengan selinting rokok pada selipan jarinya yang sesekali ia hisap dan hembuskan asapnya perlahan.
Wajahnya kini tak secerah yang terlihat di televisi ketika pria itu masih membintangi banyak film layar lebar. Ketika bintang dalam dirinya masih bersinar terang.
Kini cahaya itu telah redup seiring lenyapnya senyuman pada wajah rupawan itu. Hampir semua orang mengenalnya. Hampir semua orang mengaguminya. Tapi itu dulu.
Ketika sahabatnya masih hidup beberapa bulan yang lalu, ketika kehidupannya sedang dalam tingkat tertinggi. Perlahan roda kehidupan berputar, seiring kepergian sahabatnya yang selama ini membantunya. Kepergian sahabatnya yang membuatnya semakin terpuruk, jatuh ke dalam jurang kehancuran.
Ditambah seseorang yang ia cintai, mendadak menyusul sahabatnya. Dengan kematian yang tak wajar.
Hanya dirinya yang tersisa kini, berusaha berdiri dengan kakinya sendiri. Tanpa bantuan dan dukungan orang terdekatnya. Nyatanya tidak ada satu pun yang bisa ia percaya, selain dirinya sendiri.
Tidak ada lagi mereka yang menasehatinya, memarahinya bahkan tak segan menamparnya. Demi menyadarkannya jika apa yang telah ia capai kini tidak boleh disia- siakan. Tidak boleh menyerah hanya karena berita- berita yang berusaha menghancurkan karirnya.
Kini ia berusaha sendiri, selama beberapa bulan ini. Hanya bersama pil- pil yang seakan menjadi teman barunya. Ia sampai pada titik akhir perjuangannya. Ia sudah lelah dengan semuanya. Jika sahabat dan kekasihnya masih ada, mungkin mereka akan menghabisinya sampai ia sadar. Jika kehidupannya selalu berarti, meski tak banyak orang yang menginginkannya tetap hidup.
Tapi jika sudah lelah begini, ia hanya ingin istirahat. Istirahat yang lama, melepas kepenatan hidup yang semakin tak terarah.
Pria itu memegang sebuah lembar foto, foto yang diambil beberapa tahun lalu. Ketika kehidupannya masih normal. Tanpa kesibukan, tanpa shooting sana sini, tanpa mendatangi beberapa pesta, hanya sibuk soal pelajaran dan hukuman guru.
Pria itu mengulum senyum, berharap adanya mesin waktu sungguhan di dunia ini. Lalu ia bisa kembali ke dunia dimana ia tidak harus memilih untuk terjun dalam dunia hiburan. Dunia hiburan yang malah menyiksa jiwanya.
Perlahan pria itu membuang puntung rokoknya, ia masih duduk di sisi pagar balkonnya dengan posisi kaki tergantung di udara. Menikmati semilir angin yang menyejukkan tapi tidak mampu menenangkan pikirannya. Bahkan ketika pil- pil itu masuk ke dalam tubuhnya, bukan ketenangan yang ia dapat. Hanya kegelisahan yang semakin menjadi. Kegelisahan untuk mempertahankan penderitaannya atau mengakhirinya.
"Seharusnya sudah dari dulu aku menyusul kalian." gumam pria itu yang kemudian melompat ke bawah, membiarkan dirinya terhempas seiring mimpinya yang kian memudar.
Brak!!!
Tubuh dan mimpi itu kini telah benar- benar hancur. Tidak menyisakan penyesalan, hanya ketenangan. Ketenangan yang ia rindukan selama ini.
"Aku pergi."