Sudah tiga hari berlalu sejak Kiara terbangun di kamar mewah yang sama—kamar asing, kamar penjara dalam balutan kemewahan. Dan selama tiga hari itu pula, ketakutan dan kegelisahan tumbuh dalam dirinya, seperti akar tanaman liar yang membelit jantungnya perlahan tapi menyakitkan.
Ia masih tidak tahu siapa dalang dari semua ini. Siapa yang cukup gila untuk menculiknya sehari sebelum pernikahannya dengan Alden. Siapa “Tuan” yang disebut oleh para penjaga yang tak pernah mengizinkannya keluar dari kamar lebih dari sekadar ke ruang makan di lorong bawah.
Kiara tahu, jika ia tetap diam, tetap menunggu, ia akan terkubur dalam kebingungan dan kehilangan. Ia tidak bisa tinggal di sini. Ia harus pergi. Harus mencari jalan keluar, sebelum semuanya terlambat.
Malam ini, langit Manhattan berwarna kelabu gelap. Hujan turun pelan di balik jendela kaca besar kamar tempat ia dikurung. Cahaya remang-remang dari lampu gantung membuat bayangannya memanjang di lantai marmer. Ia duduk di pinggir ranjang, matanya menatap lurus ke pintu, menunggu.
Dan saat jam berdentang dua kali—ia bergerak.
Dia tahu jadwal pengawal yang menjaga lorong luar kamar. Ada satu waktu saat penjaga pertama ke kamar mandi, dan pengawal kedua menggantikannya hanya dalam beberapa menit. Celah sempit itu, hanya lima menit, tapi cukup untuk bertaruh nyawa.
Kiara melilit gaun tidur sutranya dengan jaket yang ia curi dari rak tamu saat sempat keluar ruang makan siang tadi. Ia menyelipkan pin rambut kecil di balik lengan bajunya—satu-satunya benda tajam yang bisa dia gunakan. Ia tahu ini gila. Tapi lebih gila lagi kalau ia hanya diam dan menunggu pria misterius itu datang dan merenggut hidupnya.
Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara. Dia menempel ke dinding, berjalan mengendap-endap menuju pintu. Ia menempelkan telinganya, mendengarkan. Suara langkah menjauh.
Saat itu tiba.
Dengan cepat, dia membuka pintu yang tadi ia ganjal menggunakan sendok makan dari makan malam—satu trik yang ia pelajari dari menonton film-film kejahatan. Pintu berderit pelan. Nafasnya tercekat.
Gelap. Koridor itu sunyi.
Ia mulai berlari. Kakinya menyentuh karpet tebal tanpa suara. Ia melewati dua lukisan besar di dinding. Tangga! Tangga melingkar ke bawah!
Dia mulai menuruni anak tangga, dadanya berdegup keras. Nafasnya terengah. Tangannya menggenggam pin rambut erat-erat. Dia harus cepat. Hanya butuh keluar dari pintu utama. Hanya itu.
Namun saat ia berbelok di lantai dasar, suara teriakan keras menghentikan langkahnya.
“Hei! Berhenti!”
Suara itu membelah keheningan malam seperti cambuk. Kiara menoleh dengan mata membelalak. Dua pria berbadan kekar sudah berlari mengejarnya dari ujung lorong. Keduanya mengenakan seragam gelap dan menyalakan senter ke arahnya.
“Tidak! Jangan!” Kiara menjerit, melompat turun dua anak tangga sekaligus, mencoba lari ke arah pintu depan.
Tangannya menggapai pegangan pintu besar. Terkunci.
Dia memukul pintu dengan kepalan tangan. “Tolong! Ada orang! Tolong aku!”
Namun sebelum ia sempat berteriak lagi, tubuhnya ditarik dengan keras dari belakang. Satu tangan besar menutup mulutnya, dan tangan lainnya menjepit kedua lengannya ke belakang.
Kiara menendang, meronta, berteriak sekuat tenaga, namun suara itu tertelan oleh telapak tangan penjaga yang membungkamnya.
“Diam!” desis pria itu.
Mereka menyeret Kiara kembali ke atas, menuju kamarnya. Sepanjang perjalanan, ia menangis, air matanya mengalir deras membasahi pipi. Matanya memohon, tubuhnya menggigil, dan kepalanya menunduk putus asa.
Pintu kamar dibuka dengan cepat, dan tubuhnya dijatuhkan ke atas lantai marmer. Pintu dikunci kembali, suara kunci berputar seperti belenggu yang menegaskan bahwa tidak ada jalan keluar dari tempat ini.
Kiara duduk lemas di lantai, punggungnya menempel ke tembok. Napasnya terengah, dan tangisnya pecah.
“Aku... harusnya menikah hari ini...” isaknya, suara lirih bercampur dengan tangis. “Alden... aku... aku mau pulang...”
Namun tidak ada yang menjawab. Tidak ada yang peduli.
Hanya denting jam yang terus berdetak, seolah mengejek. Hari pernikahannya telah lewat. Cincin yang sudah dipesan Alden pasti masih tersimpan di dalam kotaknya. Semua mimpi yang ia rajut perlahan hancur, satu per satu. Dan sekarang, ia berada di sebuah tempat tanpa nama, di bawah kuasa seseorang yang bahkan belum menunjukkan wajahnya.
Ia memeluk lututnya, tubuhnya berguncang, hingga akhirnya matanya terpejam karena kelelahan. Ia tidak tahu berapa lama dirinya tertidur di atas lantai dingin. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya... Kiara benar-benar merasa tak berdaya.
***
Sinar matahari pagi menembus celah tirai kantor pribadi Albert Roberto di lantai tiga mansion utama. Ruangan itu berdinding kayu mahoni dengan rak penuh buku, satu lukisan besar bertengger di balik meja kerja panjang bergaya kolonial. Di atas meja, sebuah cangkir kopi masih mengepulkan uap. Albert duduk tenang di kursinya, mengenakan kemeja putih bersih dan dasi yang belum sepenuhnya dikancingkan.
Ia terlihat seperti pria mapan yang sedang menikmati pagi dengan damai. Namun dalam dadanya, badai sedang berputar.
Ponselnya bergetar.
Bukan panggilan. Tapi pesan rahasia dari jalur komunikasi aman yang hanya digunakan oleh tim khususnya. Ia membuka layar itu dengan sidik jari, dan membaca cepat.
“Nona Kiara mencoba kabur dini hari tadi. Gagal. Tidak ada luka serius. Sudah diamankan kembali.”
Rahangnya mengeras. Ia menutup pesan itu dengan satu sentuhan, lalu mendongak memandangi langit biru pucat dari balik jendela kaca besar ruangannya. Napasnya teratur, tapi ada dentuman halus di balik tenggorokannya—raungan emosi yang ia tekan sekuat tenaga agar tidak meledak keluar.
Dia tahu Kiara akan mencoba. Tentu saja. Gadis itu bukan tipe yang mudah tunduk. Bukan boneka yang hanya bisa dipajang.
Namun itu tidak berarti dia senang menerima laporan tersebut.
Tangannya yang menggenggam cangkir mulai mengencang. Gagang porselen halus itu nyaris retak. Lalu dia meletakkan cangkirnya perlahan, sangat perlahan, lalu berdiri dari kursi. Langkahnya pelan, tapi terukur, menyusuri ruangan hingga ia berdiri di depan jendela tinggi. Matanya menerawang ke kejauhan, menatap hamparan kebun dan air mancur kecil di depan mansion utama.
“Dia sudah mencoba kabur…” gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar.
Giginya mengatup. “Dan kalian biarkan dia sempat mencapai pintu utama?”
Dia menggelengkan kepala sendiri, lalu mengambil ponselnya kembali. Kali ini, ia merekam suara. Suaranya dalam, pelan, tapi berisi amarah dingin yang tajam.
“Kunci semua akses lantai satu. Ganti penjaga di koridor timur. Siagakan satu orang di kamar setiap malam. Jangan biarkan celah sekecil apapun terjadi lagi. Aku ulangi—tidak ada celah. Jangan sampai aku harus ke sana hanya untuk membereskan kelalaian.”
Pesan itu dikirim, lalu ia duduk kembali.
Tangan kirinya mengetuk meja. Pelan. Tapi terus-menerus. Ketukan yang bukan karena gelisah, tapi karena berpikir keras. Matanya kosong menatap titik tak jelas di permukaan meja. Ia memikirkan Kiara.
Gadis itu kini tahu bahwa dirinya ditawan. Sudah merasakan dinding yang mengurungnya. Sudah melihat sendiri bahwa pelariannya hanya akan sia-sia.
Dan itu bagus. Itu bagian dari proses pembentukan.
Albert bukan hanya ingin memiliki Kiara secara fisik. Ia ingin gadis itu menoleh padanya dengan rasa butuh. Dengan pandangan bergantung. Dengan hati yang tidak hanya tunduk karena tidak bisa kabur, tapi karena mulai menyadari bahwa ia butuh perlindungan dari satu-satunya orang yang bisa mengendalikan dunia ini: dirinya.
Tapi dia belum bisa ke sana.
Masih terlalu cepat. Alden masih rapuh. Emosi anaknya masih dalam tahap berkabung dan marah. Albert harus tetap memainkan perannya sebagai ayah yang setia menemani anak yang patah hati.
Jika dia hilang dari mansion utama terlalu lama, Alden akan curiga.
Jadi, sekarang dia menunggu.
Waktu adalah senjata. Dan dia akan memanfaatkannya sebaik mungkin.
Ponselnya kembali bergetar. Kali ini dari pengawal pribadi kepercayaannya, dengan laporan tambahan.
“Nona Kiara tidak makan pagi ini. Menangis semalaman. Tapi tidak memberontak lagi.”
Albert mengembuskan napas panjang.
Ya. Begitu prosesnya dimulai.
Rasa takut akan jadi permulaan. Rasa pasrah menyusul. Lalu... ketergantungan.
Tapi sebelum semua itu terjadi, dia akan pastikan Kiara benar-benar merasa bahwa satu-satunya yang bisa menyelamatkan dan menyentuhnya adalah dirinya—Albert Roberto. Ayah dari Alden. Lelaki berusia 49 tahun yang sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang kesepian, dan kini menatap cahaya itu pada calon menantunya sendiri.
Ia berdiri lagi, melangkah ke rak bukunya. Di balik rak, tersembunyi lemari kecil berisi wine tua. Tangannya mengambil satu botol, lalu menuang sedikit ke gelas kristal.
“Bertahanlah, Kiara...” bisiknya, sebelum meneguk wine itu perlahan.
“Kau akan berterima kasih... karena sudah berada di tempat itu dan akan jatuh cinta padaku!”