Bab 09

1388 Kata
Cahaya putih temaram merembes dari jendela tinggi, menyilaukan kelopak mata Kiara yang perlahan mulai terbuka. Sinar itu menusuk pandangannya yang masih buram, membuatnya mengerjap pelan. Kepalanya terasa berat, seperti baru bangun dari tidur panjang yang dipaksakan. Udara di sekitarnya dingin namun harum. Bantal dan selimut di bawah tubuhnya begitu empuk, bahkan terasa lebih mewah dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Namun tempat ini... bukan kontrakannya. Bukan hotel tempat ia seharusnya menginap semalam menjelang hari pernikahannya. Tempat ini terlalu asing. Kiara mengangkat tubuhnya perlahan, duduk di atas ranjang dengan seprai putih tebal dan ukiran kayu mahal di kepala ranjang. Kamar itu luas, megah, dengan langit-langit tinggi dan lampu gantung kristal. Langit-langitnya berbentuk kubah, dan tirai-tirai lebar menjuntai hingga menyentuh lantai marmer putih. Lemari besar, meja rias penuh kaca antik, dan sofa panjang mengisi ruangan seperti potret dari majalah desain interior. Tapi bukan rasa kagum yang menguasainya. Melainkan ketakutan. Kebingungan. Dan kepanikan. "Apa ini...?" bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar. Tiba-tiba, jantungnya berdetak cepat. Ia turun dari ranjang, berlari ke arah jendela besar yang tertutup rapat. Tangannya meraih gagang—terkunci. Ia mencoba pintu utama kamar. Juga terkunci. “Hallo?” teriaknya, mulai panik. “Hallo! Siapa pun! Tolong buka pintu ini!” Tidak ada jawaban. Ia memukul pintu dengan kepalan tangannya, suaranya meninggi. “Tolong! Buka pintunya! Saya di mana ini?!” Suara kunci berputar. Pintu dibuka dari luar. Dua pria bertubuh besar berpakaian hitam masuk ke dalam kamar dengan langkah pelan namun mengintimidasi. Salah satunya mengangkat tangan, memberi isyarat agar Kiara mundur. “Jangan berisik,” ucap pria itu, suaranya datar dan tegas. Kiara menatap mereka dengan mata membelalak. “Aku... aku di mana? Siapa kalian?! Apa ini penculikan? Apa kalian mau uang? Aku—aku akan hubungi tunanganku! Aku harus menikah hari ini!” Pengawal kedua tertawa kecil, suara rendah yang mengejek. “Kau seharusnya bersyukur, Nona. Tuan kami menyuruh kami memperlakukanmu dengan baik. Kami hanya mengamankanmu sampai waktu yang tepat.” “Waktu... yang tepat?” suara Kiara bergetar. “Waktu apa?! Aku ada pernikahan hari ini! Aku harus pergi sekarang! Lepaskan aku!” Pengawal pertama melangkah maju. “Tuan kami akan datang seminggu lagi. Sampai saat itu, kau tetap di sini. Makanan dan semua keperluanmu disediakan. Tapi jangan mencoba melarikan diri, atau kau akan membuat keadaan jadi sulit untuk dirimu sendiri.” Kiara menatap mereka tak percaya, lalu perlahan tubuhnya melemas. “T-tunggu... siapa tuan kalian?” Keduanya tidak menjawab. Hanya bertukar pandang singkat, lalu berbalik keluar, mengunci kembali pintu dari luar. Kiara jatuh terduduk di lantai, tubuhnya bergetar. Tangannya menutup mulut, matanya memanas, dan air mata yang ia tahan mulai mengalir satu per satu di pipinya. Ia menggenggam lututnya, menggoyangkan tubuhnya maju mundur seperti anak kecil yang ketakutan. “Tidak...” bisiknya lirih. “Tidak mungkin... ini tidak mungkin...” Ia mendongak ke langit-langit tinggi ruangan itu, seolah berharap langit-langit itu akan retak dan menyingkapkan jawaban. Tapi hanya kesunyian dan denting jam dinding yang menjawab. Dia di mana? Siapa yang menculiknya? Dan bagaimana dengan Alden? Bagaimana dengan pernikahan mereka? Ya Tuhan, hari ini seharusnya menjadi hari bahagianya. Ia seharusnya berdiri di altar, mengenakan gaun putih, melihat Alden menatapnya penuh cinta. Bukan di ruangan asing. Bukan dalam keadaan terkunci. Yang tidak tahu dimana! “Alden... tolong aku...” Ia bergumam di antara isakannya. Kiara berjalan perlahan ke jendela, mencoba mengintip ke luar di sela-sela tirai. Yang terlihat hanyalah pemandangan langit Manhattan—terlihat dari ketinggian yang sangat tinggi. Bangunan lain tampak jauh, kecil, dan terhalang kaca tebal. Tempat ini... sangat jauh dari siapa pun yang bisa menolongnya. Ia menggedor kaca itu, berharap suara pukulan tangannya bisa terdengar keluar. Namun gedung ini sunyi. Terisolasi. Dan Kiara merasa seperti burung dalam sangkar emas—me­wah, indah, tetapi tanpa kebebasan. Satu kalimat terus terngiang dalam benaknya: Tuan kami akan datang seminggu lagi. Siapa tuan mereka? Dan kenapa dia harus berada di sini selama seminggu? Tidak. Dia tidak bisa tinggal di sini. Dia harus keluar. Dia harus kembali ke Alden. Pernikahan mereka... pernikahan itu adalah satu-satunya hal yang telah ia impikan selama ini. Ia mencintai Alden. Dia ingin hidup bersama Alden. Dia tidak bisa menyerah hanya karena seseorang telah menculiknya. Dia tidak akan menyerah. Namun tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan menjalari setiap inci tulangnya. Dan di balik semua tekad yang ia kumandangkan dalam hati, ada kenyataan pahit yang mulai tumbuh di kepalanya—bahwa siapa pun yang menculiknya, memiliki kuasa besar. Cukup besar untuk menyembunyikannya sejauh ini... cukup kuat untuk menahan siapa pun yang berani mencari tahu. Dan nama “tuan” yang mereka sebut... terasa samar-samar familiar. Tapi Kiara belum bisa menyambungkannya. Belum berani memikirkan yang paling buruk. *** Langit mendung menggantung rendah di atas mansion Roberto, seakan turut berduka atas apa yang sedang terjadi di dalam rumah itu. Angin dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela besar, membuat suasana ruang tengah yang megah terasa suram. Tak ada canda tawa seperti biasanya. Tak ada derit halus langkah pelayan. Yang terdengar hanya suara napas berat, tersedu, dan sesekali isakan pecah dari seorang pria muda yang sedang patah hati dalam diam. Alden duduk bersimpuh di bawah tangga spiral, di sudut ruangan yang biasanya menjadi tempat ia menyambut Kiara dengan pelukan. Kini tubuhnya membungkuk, wajahnya terkubur dalam kedua tangan. Bahunya berguncang hebat. Isaknya mengisi ruangan besar itu, menggema, menyayat udara dan jantung siapa pun yang mendengarnya. Albert berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya tegap, kedua tangan disilangkan di d**a, dan wajahnya penuh ekspresi simpati yang sangat meyakinkan. Matanya menatap anaknya dengan pandangan seolah menanggung kesedihan yang sama. Tapi dalam batinnya, ambisi yang terisi rapi itu berputar pelan. Tidak meledak. Tidak gegabah. Hanya bergulung... menyusun langkah berikutnya. “Dia... pergi, Daddy...” suara Alden pecah, tersendat. “Kenapa? Kenapa seperti ini?” Albert mendekat perlahan. Ia berlutut di samping Alden, menyentuh bahunya dengan tangan hangat. “Tidak ada yang bisa menjawab kenapa,” jawab Albert dengan suara berat, begitu meyakinkan. “Kadang... cinta memang tidak adil.” “Padahal aku—aku sudah siapkan semuanya. Aku ingin bangun hidup bersamanya. Aku ingin anak-anak kami... Aku ingin rumah yang penuh tawa... Kenapa Kiara?” Alden menatap ayahnya dengan mata basah, merah, penuh luka. “Aku pikir dia cinta sama aku.” Albert mengangguk, seolah ikut hancur. “Dia bilang... dia bahagia, Daddy. Dia bilang... dia nggak sabar menikah denganku.” Suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Kenapa mendadak berubah?” Albert menghela napas panjang, menarik tubuh Alden ke pelukannya. “Kadang... perempuan menyimpan ketakutan yang tidak bisa mereka sampaikan. Mungkin... dia tidak yakin. Mungkin... ada sesuatu yang ia sembunyikan.” Alden menggeleng dengan keras. “Tidak. Tidak. Kiara nggak seperti itu!” Albert menatap mata anaknya, dengan nada rendah dan penuh luka buatan. “Tapi dia pergi, Nak. Dia tinggalkan kamu sehari sebelum pernikahan. Tanpa penjelasan. Tanpa berpamitan. Dengan pesan yang membuatmu... seperti bukan siapa-siapa.” Alden menahan napas. Lalu pecah lagi dalam tangis. “Aku... cinta pertama dia. Dan dia... juga cinta pertamaku, Daddy... Aku bahkan belum bisa bayangin hidup tanpanya. Aku belum siap kehilangan dia.” Albert memejamkan mata sejenak. Sebuah tarikan napas palsu ia hembuskan untuk menjaga topeng yang sempurna. Ia tahu luka yang dialami Alden saat ini adalah luka paling dalam. Ia tahu anaknya tidak akan bisa membangun ulang kepercayaan yang sama. Dan dari sinilah permainan akan menjadi lebih mudah. “Sudah cukup, Nak,” bisiknya lirih. “Kau tidak perlu menyalahkan dirimu terus-menerus. Ini bukan salahmu. Ini... adalah takdir. Jika dia memilih pergi, maka dia tidak pantas untukmu.” Alden terdiam, hanya menggeleng pelan di pelukan ayahnya. Albert tahu waktu akan mengurus sisanya. Luka sebesar ini tak akan sembuh dalam hitungan hari. Tapi satu minggu cukup untuk membuat Alden melepaskan harapan. Dan dalam waktu itu juga... ia akan membentuk dunia baru untuk Kiara. Dunia yang hanya akan berisi dirinya dan gadis itu. Perlahan Albert bangkit, lalu meraih ponsel dari sakunya. Ia melangkah menjauh, berjalan menuju koridor panjang di ujung ruangan. Saat tidak ada lagi yang melihat, Albert membuka pesan rahasia di aplikasi yang hanya bisa dibuka dengan sidik jarinya. “Bagaimana?” Beberapa detik kemudian, balasan muncul. “Subjek aman. Tuan bisa datang kapan saja.” Albert menyeringai pelan. Lalu ia kembali menyimpan ponsel itu di sakunya, membalik badan, dan kembali menatap putranya yang masih duduk di lantai. Air mata terus mengalir dari mata Alden, seperti anak kecil yang kehilangan seluruh harapan hidupnya. Dan Albert tahu. Dia sudah menang satu langkah lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN