Bab 08

1455 Kata
Malam menjelang, menyelimuti kota dengan keheningan yang kelam. Gedung hotel tempat seluruh dekorasi pernikahan telah disiapkan kini sunyi. Para pekerja sudah pulang. Lampu-lampu gantung kristal masih menyala, memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan yang esok akan dipenuhi tamu, senyuman, dan... janji suci. Setidaknya, itu rencana semula. Namun tidak bagi Albert Roberto. Lelaki itu berdiri di balkon tinggi kamarnya di lantai atas hotel, memandangi cakrawala malam New York yang gemerlap. Tangannya menyentuh pagar besi dingin. Matanya tajam, tak berkedip. Angin malam menerpa wajahnya yang dingin dan diam. Tapi pikirannya, seperti samudra dalam badai, penuh gemuruh dan riak rencana yang sudah begitu matang. Besok adalah hari besar bagi Alden dan Kiara. Atau... seharusnya begitu. Namun kini, saat jam berdetik ke angka satu dini hari, semua sudah bergerak sesuai kehendaknya. Rencana itu bukan hanya sekadar hasrat, bukan lagi obsesi yang dikurung. Ini nyata. Sudah dijalankan. Dan Albert hanya tinggal menunggu hasilnya. Ia telah menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk menculik Kiara. Tidak dengan kekerasan brutal—ia terlalu licik untuk cara yang kasar. Tapi cukup halus dan terorganisir. Pura-pura ada pengiriman terakhir dari desainer gaun pengantin, lalu memancing Kiara keluar dari kontrakan, dan dalam hitungan menit, gadis itu akan menghilang dari dunia Alden. Ia juga sudah meninggalkan jejak. Bukti tipuan. Sebuah ponsel palsu yang sengaja ditinggalkan di tepi jendela kamar Kiara, dengan pesan singkat yang sudah disusun rapi: “Aku tidak bisa menikah dengan Alden. Maaf. Aku pergi bersama pria yang kucintai sebenarnya. Jangan cari aku.” Dan sebuah dompet dengan uang tunai serta tiket bus ke luar kota, diselipkan di dekat kasur. Semuanya tampak nyata. Seolah Kiara memang lari. Seolah dia memang membatalkan pernikahan karena cinta lain. Sebuah alasan yang menyakitkan namun bisa diterima oleh logika. Sekarang, gadis itu sedang dalam perjalanan. Tertidur atau terbangun di dalam mobil hitam yang sedang melaju ke mansion pribadinya di Manhattan—mansion yang tidak seorang pun tahu selain orang-orang terpercaya miliknya. Sebuah tempat persembunyian mewah, sunyi, aman... dan tertutup. Ia akan menyembunyikan Kiara di sana. Untuk sementara. Sampai semuanya reda. Sampai Alden menyerah. Dan sampai Kiara... memahami bahwa satu-satunya tempatnya adalah di sisi Albert. Pintu kamar diketuk perlahan. Albert berbalik dengan gerakan tenang. Alden masuk, wajahnya tampak murung dan kusut. Ia tidak menyadari senyum tipis yang perlahan muncul di wajah ayahnya. “Daddy...” suara Alden pelan, nyaris seperti bisikan. “Kiara... dia nggak ada.” Albert menaikkan alis dengan ekspresi penuh kekhawatiran palsu. “Apa maksudmu?” “Aku—aku ke kontrakannya tadi malam... Aku mau kasih kejutan... Tapi dia nggak ada. Nggak ada siapa-siapa di sana. Dan ini...” Alden menunjukkan ponsel yang dipegangnya. “Aku nemu ini di kamarnya.” Albert berpura-pura mengernyit dan mengambil ponsel itu. Ia membaca pesan yang sudah ia tulis dan atur sebelumnya. Diam. Hening beberapa detik. Lalu ia menghela napas panjang. “Ya Tuhan...” gumamnya, menggoyangkan kepala perlahan. “Apa mungkin... ini sungguhan dari Kiara?” “Aku nggak tahu!” Alden terduduk di sofa, kedua tangannya menutupi wajah. “Daddy, kami sudah persiapkan semuanya. Aku pikir dia bahagia... Dia nggak pernah bilang apa-apa!” Albert mendekat, duduk di samping putranya, dan meletakkan tangannya di bahu Alden dengan lembut. Ia mengerahkan seluruh seni akting yang ia miliki. Suara, ekspresi, bahkan irama napasnya pun dikendalikan agar terlihat seperti ayah yang hancur melihat anaknya patah hati. “Kau sudah lakukan yang terbaik, Nak...” katanya pelan. “Kadang... seseorang yang kita cintai bisa berubah. Bisa menyembunyikan perasaan. Dan kita tak pernah tahu sampai semuanya terlambat.” Alden terdiam. Bahunya turun naik. Albert memeluk putranya, dan menatap kosong ke dinding seolah tengah bersimpati. Tapi dalam hatinya, ia menertawakan semua ini. Satu bagian rencananya telah berhasil. Kiara sudah hilang dari tangan Alden. Dan luka itu, luka pengkhianatan, akan membuat Alden menutup pintu di hatinya. Ia akan kecewa. Ia akan menyerah. Dan pada akhirnya, ia akan menerima bahwa Kiara memang memilih pergi. Albert akan memainkan perannya sampai akhir. Namun malam ini... malam ini adalah malam ketika Kiara akhirnya menjadi miliknya. Malam ini, di mansionnya yang tersembunyi di Manhattan, sang gadis akan membuka mata dan menyadari bahwa kini ia telah dibawa ke dunia baru—dunia milik Albert. Bukan sebagai calon menantu. Tapi sebagai sesuatu yang jauh lebih dalam dan tak tergantikan. *** Cahaya pagi menelusup masuk melalui celah tirai tipis ruang keluarga mansion Roberto. Udara terasa dingin namun sunyi. Hening pagi ini bukan ketenangan yang menenangkan—melainkan kehampaan yang menganga. Seluruh rumah seolah kehilangan denyut kehidupan. Albert duduk di ujung sofa panjang, masih mengenakan kemeja putih dari semalam, kini sedikit kusut. Secangkir kopi hitam di tangannya tak tersentuh, uapnya sudah hilang, dingin seperti tatapan matanya yang kosong. Tapi wajahnya tetap tenang, penuh wibawa, meski dalam diamnya ia tengah menyusun peran baru yang harus ia mainkan hari ini. Ia mendengar langkah kaki pelan turun dari tangga. Langkah yang berat. Tertatih. Alden muncul dari balik tembok, wajahnya kuyu, rambutnya berantakan. Bola matanya merah dan sembab. Pria muda itu berjalan seperti kehilangan arah, dan akhirnya menjatuhkan diri di sofa seberang, menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan. Albert memandangi anaknya dalam diam. Dalam sekejap, ia melihat luka batin yang dalam di wajah Alden, dan untuk sejenak—hanya sejenak—ia merasakan tumpukan kecil rasa bersalah menetes seperti embun di dasar hatinya. Tapi itu segera ditepis. Tujuannya sudah jelas. Pengorbanan itu perlu. Luka ini perlu. “Daddy...” suara Alden serak, patah. Albert tak menjawab. Ia hanya menatap lembut. “Aku... aku nggak ngerti. Aku pikir Kiara cinta sama aku. Aku pikir... kita bahagia.” Suara itu nyaris pecah. “Tapi dia ninggalin aku, Daddy. Gitu aja. Tanpa kata. Tanpa perpisahan. Cuma pesan itu... cuma pesan busuk itu yang dia tinggalin...” Alden mengusap wajahnya, frustrasi. “Apa aku nggak cukup? Apa aku ada salah?” Albert meletakkan cangkir kopinya ke meja, lalu berdiri. Ia berjalan perlahan ke arah putranya, kemudian duduk di sampingnya dan menepuk bahu Alden dengan lembut. Satu tangan lain mengusap tengkuk Alden seperti seorang ayah sejati yang mencoba menyalurkan kekuatan lewat sentuhan. “Kau laki-laki yang luar biasa, Nak,” katanya pelan, nyaris berbisik. “Dan Kiara... dia yang salah. Kalau dia memilih pergi seperti itu, tanpa memberi penjelasan, tanpa keberanian untuk bicara langsung... maka dia bukan orang yang layak untuk kau perjuangkan.” “Tapi Daddy, kami tinggal selangkah lagi... besok... besok harusnya hari pernikahan kami.” Albert mengangguk pelan. “Kadang, Tuhan punya cara yang kejam untuk menyelamatkan kita dari bencana yang lebih besar. Kau tidak tahu, mungkin beberapa bulan setelah menikah dengannya, kau akan menemukan kebohongan lain. Mungkin ada hal-hal yang selama ini dia sembunyikan.” Alden menggeleng cepat. “Nggak... dia nggak begitu... Kiara bukan orang seperti itu...” Albert menahan napas, lalu pura-pura menghela berat. “Dengarkan aku, Nak. Aku juga pernah mencintai seorang wanita begitu dalam. Ibumu. Dan ketika dia pergi... aku merasa dunia ini runtuh. Tapi lihat aku sekarang. Aku bertahan. Aku belajar... bahwa hidup ini tak selalu bisa kita kontrol. Tapi kita bisa memilih untuk tetap berdiri.” Alden menutup wajahnya lagi. Kali ini air matanya mulai jatuh. Albert mendekap putranya ke dalam pelukan. Dan di dalam pelukan itu, ia kembali memasang topeng ayah yang penuh kasih. Tapi di balik wajah itu, pikirannya telah terbang jauh—menembus puluhan kilometer jauhnya ke mansion megah miliknya yang tersembunyi di kawasan Manhattan, tempat Kiara kini berada. Ia bisa membayangkan gadis itu terbangun di kamar luas dengan jendela tinggi dan tirai mewah. Ia bisa membayangkan ekspresi terkejut di wajah Kiara saat menyadari ia tidak berada di rumahnya, melainkan di tempat asing yang sepi namun tak bisa ia tinggalkan. Ia tahu Kiara akan marah. Akan takut. Tapi waktu akan melunakkan semuanya. Ia hanya perlu memberinya waktu. Dan hari ini, ia akan tetap tinggal di sini. Berperan sebagai ayah yang setia menemani anaknya melewati patah hati. Ia akan menenangkan Alden. Akan menjadi tiang yang bisa disandari anak itu. Karena dalam beberapa hari ke depan, Alden akan perlahan belajar menerima bahwa Kiara telah menghilang. Bahwa cinta itu telah mati. Dan saat dunia Alden perlahan runtuh, Albert akan membangun dunia baru—dengan Kiara di dalamnya. Ia berdiri pelan, menepuk bahu Alden sekali lagi. “Istirahatlah. Kalau kamu butuh apa pun, Daddy di sini.” Alden tak menjawab. Kepalanya masih tertunduk. Suaranya tenggelam dalam tangis lirih yang teredam di antara kedua tangan. Albert berjalan pelan ke luar ruangan, melewati lorong panjang menuju ruang kerjanya. Saat pintu ditutup pelan di belakangnya, ia menarik napas panjang dan mengeluarkan ponsel dari saku. Hanya satu pesan yang ia ketik, singkat, tegas. “Pastikan Kiara tidak bisa keluar. Apapun yang terjadi.” Lalu ia menaruh ponsel itu ke meja, duduk di kursinya, dan bersandar. Ia telah memainkan perannya sebagai ayah. Kini, ia bersiap memainkan perannya sebagai pria yang akan membuat gadis itu jatuh ke dalam dunianya... dan tak pernah kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN