Bab 07

1314 Kata
Gedung hotel bintang lima yang berdiri megah di pusat kota itu bersinar keemasan di bawah matahari sore. Bangunan pencakar langit yang selama ini dikenal sebagai lambang kejayaan bisnis Albert Roberto, hari ini telah berubah wajah. Seluruh lobi dan aula utamanya disulap menjadi ruang pernikahan yang menakjubkan—hiasan bunga putih dan ungu, tirai sutra bergelombang menggantung dari langit-langit tinggi, karpet merah membentang lurus ke panggung tempat janji suci akan diucapkan. Namun di tengah segala kemegahan itu, di salah satu ruang kaca yang menghadap langsung ke aula utama, duduklah Albert. Lelaki berumur 49 tahun itu menatap ke luar jendela dengan mata yang tajam dan dingin. Ia duduk bersandar di kursi kulit hitam dengan satu tangan menopang dagu, sementara jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu besar di hadapannya. Ketukan itu tak pernah berirama tetap. Setiap ketukan adalah gambaran dari pikiran kacau dan gejolak batin yang tak bisa diredam. Napasnya teratur, wajahnya datar, tapi ada api menyala di dalam matanya—api dari rencana yang perlahan semakin matang dalam pikirannya. Ia menyeringai kecil, tanpa suara. Senyum itu begitu halus, nyaris tak terlihat, namun penuh bahaya. Pernikahan ini. Pernikahan yang katanya akan menjadi momen terindah bagi putranya, Alden. Segalanya telah disiapkan dengan begitu sempurna, oleh para event organizer terbaik yang dikontrak langsung oleh Albert. Tidak ada satu detail pun yang terlewatkan—semuanya dikelola langsung di bawah kendalinya. Tapi bukan karena ia ingin membuat Alden bahagia. Bukan itu tujuan utamanya. Ia hanya ingin segalanya berada di bawah pengawasannya. Ia ingin memiliki kendali penuh. Karena satu hal sudah jelas di benaknya—ia akan menculik Kiara. Ia akan mengambil gadis itu, satu hari sebelum pernikahan berlangsung. Tentu saja ini bukan keputusan yang muncul tiba-tiba. Obsesi itu sudah lama tumbuh, dan kini ia tak ingin lagi menahannya. Bangun pagi bersama Kiara. Senyum polos itu. Cara gadis itu memandang dunia dengan lembut. Dan kenyataan bahwa semua itu akan dimiliki oleh Alden... membuat pikirannya semakin terjerat gila. Tidak. Itu tidak akan terjadi. Kiara bukan untuk Alden. Kiara adalah miliknya. Dan ia tidak akan menunggu hingga terlambat. Rencana itu sudah hampir sempurna. Ia sudah menyusun semuanya—waktu, tempat, hingga kendaraan yang akan ia gunakan. Ia akan menunggu saat yang paling lengah. Mungkin ketika Kiara sedang fitting terakhir gaun pengantin. Mungkin ketika gadis itu sedang mengambil napas di kamar hotel yang telah dipesan untuk malam sebelum pernikahan. Saat itu tiba, ia akan datang. Ia akan membawa gadis itu menjauh, ke tempat yang tidak diketahui siapa pun. Ketika pintu ruangan terbuka, Albert segera membalikkan tubuhnya dan memasang wajah ramah. Alden melangkah masuk, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan. Ia berjalan ke arah ayahnya sambil menatap ke sekeliling ruangan yang kini sudah sepenuhnya terhias indah. “Daddy,” ucap Alden dengan senyum mengembang. “Tempat ini luar biasa. Gila, dekorasinya mewah banget. Kiara pasti bakal terharu banget lihat semua ini.” Albert ikut tersenyum, lembut, seolah hatinya dipenuhi suka cita. “Tentu,” katanya dengan suara dalam. “Hari besar anakku harus istimewa.” Padahal di dalam dirinya, ada suara yang berteriak—bukan untuk Alden. Semua kemewahan ini bukan untukmu, Nak. Ini semua akan menjadi saksi, betapa gadis yang kau cintai akan menjadi milik ayahmu sendiri. Tangannya masih mengetuk meja, tapi kini lebih pelan. Irama ketukan itu seperti denting jam yang menghitung mundur. Hitungan waktu menuju rencana gila yang akan mengubah segalanya. Rencana yang akan menyingkirkan Alden dari gambaran masa depan Kiara. Dan ketika Alden berjalan keluar ruangan untuk melihat-lihat sisi lain dari dekorasi, Albert berdiri perlahan, mendekati jendela. Ia menatap gedung yang penuh dengan cahaya dan kemewahan itu. Tapi baginya, semua ini bukan tempat pernikahan. Ini hanya panggung. Dan ia akan mencuri aktris utama tepat sebelum tirai pertunjukan terbuka. Ia akan memiliki Kiara. Tidak peduli dosa apa yang menanti. *** Langkah kaki Albert terdengar lembut ketika ia memasuki mansion yang selama ini menjadi istananya. Udara sore menyambutnya dengan sejuk, aroma bunga yang tertata rapi di sepanjang koridor depan menyapa hidungnya—aroma yang tenang, namun tidak bisa menyentuhkan apa-apa pada gejolak dalam d**a pria itu. Langkahnya lambat, penuh kendali. Setiap hentakan sepatunya di marmer mahal terdengar seperti nada dari sebuah simfoni yang ia ciptakan sendiri. Hari itu adalah hari yang biasa bagi orang lain, namun tidak bagi Albert. Karena satu minggu lagi, hanya tujuh hari dari sekarang, gadis yang setiap hari mengganggu benaknya akan bersanding dengan putranya sendiri. Ia tahu, waktu hampir habis. Tapi ia tidak akan bertindak gegabah. Saat ia melewati lengkungan kayu menuju ruang tengah, suara tawa lembut menyambutnya. Suara yang ia kenali terlalu baik. Suara Kiara. Pria itu berhenti sejenak, berdiri di balik pilar dan memperhatikan tanpa bersuara. Di ruang tengah, Alden duduk di sofa besar sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi, sementara Kiara berusaha merebut ponsel dari tangan tunangannya itu. Gadis itu tertawa, wajahnya merah, rambutnya terurai ke depan menutupi sebagian pipinya. Mata Kiara bersinar, tubuhnya bergerak lincah, dan senyum itu—senyum itu menusuk langsung ke pusat hati Albert seperti anak panah yang berlapis madu dan racun sekaligus. “Berikan!” Kiara tertawa keras. “Bilang dulu sayang seribu kali,” jawab Alden menggoda. Albert mengamati itu semua dengan mata dingin. Ia tidak bicara. Ia tidak bergerak. Tapi otaknya bekerja sangat cepat. Tubuhnya seperti patung, tapi pikirannya adalah mesin yang sedang menyusun strategi paling gila yang pernah ia bayangkan sepanjang hidupnya. Gairah yang ditekan, kecemburuan yang dipendam, dan obsesi yang tumbuh liar, semuanya menyatu menjadi satu emosi yang membakar di balik kulit tenangnya. Lalu ia melangkah masuk. “Apa yang sedang terjadi di sini?” Suaranya dalam dan hangat, penuh wibawa seorang kepala keluarga yang disegani. Kiara langsung menoleh. “Oh! Uncle—eh, Daddy Albert. Kami cuma bercanda sedikit.” Alden tertawa. “Daddy, lihat deh. Dia nggak mau aku posting foto kita waktu fitting cincin tadi. Padahal bagus banget.” Albert tersenyum. Senyum yang begitu sempurna, begitu tenang. Ia melangkah mendekat dan duduk di salah satu kursi lengan dekat mereka, menyilangkan kaki dengan elegan. Matanya menatap Kiara beberapa detik, cukup lama untuk membuat gadis itu kikuk dan menunduk, sebelum ia mengalihkan pandangannya ke Alden. “Kalian berdua memang cocok. Melihat kalian seperti ini... saya bangga. Bahagia,” katanya pelan, seolah setiap kata mengandung keikhlasan seorang ayah. Padahal dalam pikirannya, ia menyusun dialog lain. Dialog yang jauh berbeda. Melihat kalian seperti ini membuatku ingin menghancurkan semuanya. Gadis itu milikku. Dia harus berada di sisiku, bukan di pelaminan bersama anakku. “Seminggu lagi ya?” gumam Albert sambil menyesap kopi yang baru saja dibawa pelayan. “Iya, Daddy. Nggak sabar banget. Kiara juga, kan?” Kiara mengangguk cepat. “Aku gugup sih, tapi... ya, aku bahagia.” Kalimat itu. Kata “bahagia” yang keluar dari mulut Kiara sambil menatap Alden, membuat Albert diam beberapa detik lebih lama dari seharusnya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu kembali memasang wajah ramah. “Kalian pasti akan jadi pasangan yang luar biasa,” ucapnya, seolah memberikan restu. “Saya senang Kiara ada di keluarga kita.” Kiara tersipu. “Terima kasih, Daddy.” Tapi suara itu membuat kulit Albert meremang. Gadis itu memanggilnya Daddy. Ia tahu panggilan itu berasal dari rasa hormat dan kekeluargaan, namun setiap suku kata yang keluar dari mulut Kiara mengandung racun manis yang menusuk langsung ke dalam otaknya. Malam itu, setelah tawa mereda dan Alden membawa Kiara pulang ke kontrakan sementara mereka, Albert berdiri di depan perapian. Api menyala kecil, hanya sekadar simbol kehangatan rumah. Tapi dalam dirinya, api itu sudah menjilat-jilat tak terkendali. Ia menatap api dalam diam. Seminggu. Hanya tujuh hari lagi. Dan setelah itu, segalanya akan terlambat. Dia tidak akan membiarkan hari itu tiba. Tidak akan membiarkan Kiara mengenakan gaun pengantin di altar megah itu. Tidak akan membiarkan Alden menyematkan cincin di jari manis gadis yang sudah terpatri dalam jiwanya. Dia akan bertindak. Tapi sekarang... ia hanya perlu tersenyum. Bertingkah seperti ayah mertua yang baik, yang pengertian. Dan di balik semua itu, ia menyimpan kunci rencana yang akan mengubah seluruh hidup mereka. Waktu terus berjalan. Dan Albert sedang menghitung detiknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN