Bab 06

1001 Kata
Pagi itu udara di mansion Albert Roberto terasa tenang. Matahari belum tinggi, sinarnya masih lembut menyusup melalui tirai-tirai mahal yang menjuntai di sisi jendela besar ruang makan. Namun bukan cahaya pagi yang membuat d**a Albert bergetar. Ia menatap lurus ke arah dapur terbuka, tempat tangannya kini tengah berusaha memanggang croissant. Tangan itu gemetar sedikit, meski pria itu sangat terbiasa dengan alat-alat dapur. Hari ini, ada yang berbeda. Ada yang mengusik pikirannya dan membuatnya tidak fokus meski rutinitas di dapur adalah sesuatu yang sudah lama ia nikmati diam-diam. Kiara. Gadis muda itu berjalan pelan menuruni tangga kayu, mengenakan piyama tipis berwarna krem pucat. Rambutnya berantakan, belum disisir. Namun justru dalam kondisi paling natural itulah Kiara tampak begitu menggoda. Wajahnya masih mengantuk, tapi matanya menatap Albert dengan ekspresi polos. Senyum kecil tanpa sadar tersungging di bibir muda itu. "Pagi..." gumam Kiara dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Albert menelan ludah. Lelaki berumur empat puluh sembilan tahun itu menoleh sejenak, lalu kembali memusatkan perhatian ke croissant yang mulai mengeluarkan aroma mentega dan panggangan. Tapi pikirannya sudah buyar. Ia tahu, para pelayan bisa saja menyajikan sarapan lengkap pagi itu. Bahkan tanpa ia perintah pun, segala menu akan siap di meja makan dalam waktu sepuluh menit. Tapi tidak. Setiap pagi, sejak Kiara menginap beberapa hari di sini, Albert bersikeras membuat sarapan sendiri. Ia tidak mau orang lain menyentuh dapur saat Kiara menginap. Pemandangan pagi seperti ini... terlalu berharga untuk diserahkan pada orang lain. Albert mencuri pandang lagi ke arah Kiara. Gadis itu berjalan perlahan, menarik kursi tinggi di bar dapur dan duduk sambil menguap pelan. Lengan kecilnya merentang ke atas, memperlihatkan sedikit bagian pinggang yang tersingkap dari bawah piyama. Napas Albert tercekat. Ia buru-buru membalik croissant dengan spatula. “Aku suka wangi mentega pagi-pagi,” gumam Kiara sembari memejamkan mata. Albert tak menjawab. Ia hanya memusatkan perhatian ke loyang dan kompor. Tapi otaknya mengembara. Gadis ini, yang dulunya hanya ia lihat sebagai bayangan pasangan begitu ideal untuk Alden, kini akan menjadi istri sahnya. Dan setiap pagi seperti ini, tubuhnya harus menanggung gejolak yang tak pernah ia alami sejak istrinya meninggal lebih dari satu dekade lalu. Kiara tidak pernah mencoba menggoda. Gadis itu terlalu polos untuk sadar bahwa keberadaannya saja sudah cukup untuk membakar sisa-sisa kendali dalam diri Albert. Dan hari ini, saat ia berjalan santai di mansion megah itu dengan piyama tipis dan rambut kusut, tanpa riasan, tanpa senjata kecantikan apa pun, ia justru terlihat paling berbahaya. Croissant gosong di satu sisi. Albert mengumpat pelan, lalu cepat-cepat mengangkatnya dari wajan pemanggang. Kiara terkikik pelan. “Uncle Albert tidak fokus ya?” Albert menghela napas panjang. Ia meletakkan croissant di piring dan berbalik menghadap gadis itu. “Pagi ini... kamu terlalu cantik,” ucapnya dengan suara berat. Dan pagi itu, aroma mentega, cahaya lembut matahari, dan keheningan mansion menjadi saksi bisu dari pergolakan hati seorang pria tua yang terperangkap dalam cintanya pada gadis yang terlalu muda... namun terlalu dalam telah mengisi kekosongan jiwanya. *** Langit siang itu cerah, langit biru membentang tanpa awan, namun hati Albert Roberto gelap, mendung, dan penuh badai. Ia berdiri di balik kaca besar ruang utama mansion-nya yang megah, mengenakan kemeja putih yang digulung setengah lengan dan celana panjang hitam, tampak tenang di permukaan namun sesungguhnya sedang bergolak hebat di dalam. Matanya terpaku pada pemandangan di depan halaman rumah. Kiara Aledran, gadis yang telah menginap semalam di mansion nya, yang setiap pagi hadir dalam bayang pikirannya, kini sedang berdiri di samping Alden, putranya. Gadis itu terlihat cantik dengan gaun sederhana berwarna biru langit dan sepatu datar, rambutnya dikuncir longgar ke belakang. Wajahnya tersenyum hangat saat Alden mengajak tangannya untuk masuk ke dalam mobil. "Ayo, Kiara. Kita ambil cincinnya hari ini. Toko perhiasannya sudah konfirmasi siap sejak kemarin. Nggak sabar rasanya ngelihat kamu pakai cincin itu," suara Alden terdengar jelas dari balik jendela. Albert menatap dalam diam. Tangannya yang berada di sisi tubuhnya perlahan mengepal kuat. Rahangnya mengeras, bahkan helaan napasnya tertahan di kerongkongan. Perasaannya seperti ditikam berkali-kali hanya dengan melihat cara Alden menatap Kiara. Dan lebih menyakitkan lagi, melihat cara Kiara tersipu malu, menunduk, lalu tertawa kecil. Pemandangan itu seharusnya membuatnya bahagia. Seharusnya, sebagai seorang ayah, ia merasa bangga bahwa anaknya akan segera menikahi wanita baik, sopan, dan lembut seperti Kiara. Tapi kenyataannya, ia terbakar. Cemburu. Hatinya mendidih seperti lava. Bukan karena Alden tampan. Bukan karena Alden akan menikahi seorang gadis muda. Tapi karena wanita yang akan disematkan cincin itu bukan wanita biasa. Itu Kiara. Gadis yang tadi pagi muncul di tangga rumahnya hanya dengan piyama tipis, rambut kusut, dan senyum polos yang menampar kewarasannya. Gadis yang perlahan, tanpa sadar, menguasai seluruh pikirannya. Albert tahu ini salah. Ia tahu pikirannya menjijikkan. Tapi ia tidak bisa menahannya. Dan sekarang, melihat dua sosok muda itu berjalan bersama, seperti pasangan yang begitu cocok, membuat dadanya nyeri. Seakan udara dalam paru-parunya terkuras. "Cincin..." gumam Albert lirih, suaranya nyaris tak terdengar. "Cincin itu seharusnya tidak untuk Alden..." Ia memalingkan wajah dari jendela, tak tahan melihat mobil mereka melaju keluar dari halaman rumah. Tapi bayangan wajah Kiara tidak mau pergi dari benaknya. Ia bisa membayangkan bagaimana nanti Kiara berdiri di altar, mengenakan gaun putih seperti malaikat, dengan Alden di hadapannya. Ia bisa membayangkan cincin yang akan disematkan ke jari manis gadis itu. Dan pikiran itu membuatnya kehilangan kendali. “Dia bukan milik Alden,” bisiknya dengan rahang mengeras. Ia duduk perlahan di kursi kayu tua di ruang baca, namun punggungnya menegang. Tangannya masih mengepal. Jantungnya berdegup cepat, tidak karuan. Ia menunduk dalam, mencoba menenangkan dirinya, tapi tidak berhasil. “Dia harus dalam pelukanku,” pikirnya dengan kalut. Rasa yang selama ini ia tekan, yang ia tutupi dengan senyum, dengan sikap sopan, kini mulai bocor dari segala penjuru. Ia tidak bisa lagi berpura-pura. Ia tidak bisa menipu dirinya sendiri. Ia menginginkan Kiara. Lebih dari apapun. Tapi belum saatnya. Ia masih harus menahan. Ia harus menunggu waktu yang tepat. Namun satu hal yang pasti: ia tidak akan membiarkan hari pernikahan itu terjadi. Tidak selama ia masih hidup. Karena dia tidak akan membiarkan itu bukan. Kiara ... hanya miliknya seorang!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN