1. Lamaran
"Sera, kita sudah saling mengenal sejak masih kecil. Aku melihatmu tumbuh. Seorang bayi perempuan yang menjelma menjadi gadis cantik yang membuat tidurku tidak pernah nyenyak."
Alex mengulurkan tangannya, menggenggam jari-jari Seraphina yang ramping dan cantik. Matanya menatap tajam dan penuh kesungguhan. Sudah cukup lama dia menunggu pemilik hatinya cukup umur untuk mengungkap semua rasa yang menyesakkan dadanya bisa menerima pinangannya.
Jantung Seraphina perlahan tapi pasti mulai berdebar keras. Saking kerasnya hingga dia merasa dadanya sakit. Matanya mengerjap perlahan sementara otaknya berusaha memproses kalimat yang baru saja dia dengar.
Apakah Alex akan.......?
Sera tidak berani membayangkannya. Dia menunggu kalimat Alex selanjutnya dengan mata penuh tanda tanya dan kegugupan.
"Aku bukan pria yang bisa mengungkapkan perasaan dengan gamblang. Kamu sudah tahu itu. Tapi aku berani menjamin jika...."
Alex menjeda kalimatnya. Dia merasa gugup hingga lidahnya kelu. Pria itu kesulitan berucap. Tenggorokannya mengering.
Sial! Padahal dia sudah berlatih lama. Bertahun-tahun Alex melatih lidahnya mengutarakan apa yang dia rasakan. Kini, saatnya sudah tepat. Seraphina berada di depannya tanpa ada gangguan. Dan semua kalimat yang sudah dia susun lenyap seketika.
Persetan dengan semua kata pengantar. Lebih baik dia mengatakannya langsung.
"Seraphina, bersediakah kamu melahirkan anak-anakku, menemaniku hingga semua rambut kita memutih, dan terus bersamaku hingga ajal menjemput?"
Alex berlutut di depan gadis yang sudah mencuri hatinya selama bertahun-tahun. Di tangannya, sebuah kotak kecil dari kayu yang penuh dengan ukuran rumit terbuka. Sebuah cincin berlian tampak berkilau diterpa sinar matahari berada di sana menunggu untuk dipasangkan.
Matanya yang sejernih madu menatap lurus kepada Sera, dipenuhi dengan sorot permohonan dan harapan. Irisnya yang berwarna kuning keemasan menatap Sera yang bergetar. Alex menyadari betapa terkejutnya gadis cantik di depannya ini, tapi dia sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Umurnya sudah genap tiga puluh tahun. Dia tidak peduli jika Sera baru saja lulus kuliah dan bahkan belum bekerja. Dia bisa membiayai hidup mereka bahkan jika tuhan memberi ya sepuluh anak, Alex yakin rekeningnya masih mampu memberikan yang terbaik untuk mereka. Selain itu, Sera sendiri adalah putri dari Edwin yang memiliki perusahaan pembuat kapal pesiar yang berbasis di Amerika. Masa depan cerah menanti mereka.
Alex sudah memantapkan hatinya. Dia juga sudah meminta ijin kepada mamanya untuk melamar Sera. Tentu saja Darren dan Amber merestui. Mereka sudah mengenal Sera sejak gadis itu masih berupa janin. Selain itu, hubungan keluarga Darren dan Edwin sudah terjalin sejak mereka masih bujang. Jadi, tidak ada halangan restu bagi mereka.
Nafas Sera tercekat. Telinganya berdengung. Tidak pernah dibayangkan oleh Sera dia akan menerima pertanyaan indah itu dari bibir pria paling mempesona saat ini.
Wajah cantik Sera terpaku. Kelopak matanya yang indah mengerjap, membuat bulu-bulu matanya yang panjang dan lentik berkibar seperti sayap kupu-kupu. Bibirnya yang berwarna merah muda cerah terbuka, namun tidak satupun kata yang sanggup dia ucapkan.
Angin pantai bertiup, memainkan rambutnya yang panjang dan berwarna kecokelatan. Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat, memberikan siluet indah dari sosok Seraphina yang berdiri mematung di depan Alex yang masih berlutut.
Kesadaran gadis cantik itu seakan terenggut sesaat sebelum Alex kembali bersuara.
"Sera, apa kamu tidak bersedia?" Alex tampak frustrasi karena kekasih hatinya tidak kunjung menjawab ajakannya.
Sera bisa melihat mata Alex yang berwarna keemasan itu sedikit berkabut. Apakah pria ini benar-benar ingin menjadikannya istri? Pria tampan yang selalu menjadi idola di manapun dia berada, kini berlutut di depannya sambil memegang sebuah cincin berlian dan memintanya untuk menjadi ibu dari anak-anaknya?
"Tentu saja aku mau!!" teriaknya heboh.
Beruntung, mereka sedang berada di pantai pribadi. Tidak ada orang lain yang terganggu dengan kehebohan Sera dan tawa Alex.
Mata Sera memanas dengan cepat. Saat dia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Kedua tangannya sontak menutup mulutnya yang tidak ingin berhenti berteriak kegirangan.
Dada Alex merasa plong. Batu besar yang menghimpitnya hancur sudah. Putra Darren itu segera berdiri dan memasang cincin itu di jari Sera, lalu memeluknya dengan erat.
"Terima kasih, Sera. Terima kasih sudah menerimaku."
Sera membalas pelukan itu tidak kalah erat. Perasaan haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Pasalnya, dia tidak pernah berani bermimpi untuk menjadi pengantin Alex yang terkenal. Meskipun mereka telah dekat selama beberapa tahun, Alex tidak pernah sekalipun mengungkapkan perasaannya. Hanya saja, Alex tidak pernah absen memberikan perhatian untuknya.
Sera beberapa kali mengalami serangan jantung karena sikap Alex yang manis. Jantungnya selalu berdegup lebih kencang. Namun karena Alex tidak pernah terang-terangan mengatakan isi hatinya, Sera juga berusaha untuk tidak terlalu menunjukkan perasaannya. Dia takut. Kini, tidak ada lagi keraguan. Alex ternyata menyukainya dan melamarnya! Hati Sera serasa dipenuhi dengan ledakan kembang api, membuatnya berdebar namun bahagia dan penuh warna.
Sera memejamkan mata, menghirup wangi parfum Alex yang bercampur dengan bau asin air laut. Sangat sejuk dan menenangkan. Sera berniat ingin menyimpan memori ini dan tidak akan menghapusnya seumur hidup.
Alex menjauhkan wajahnya untuk memberikan ciuman di kening Sera. Putra amber dan Darren itu merasa hidupnya sempurna, memiliki orang tua yang saling menyayangi, saudara yang usil, dan calon istri yang dia cintai.
"Terima kasih banyak," bisiknya tepat di telinga Sera.
Sera mengangguk. "Terima kasih juga sudah memintaku menjadi pengantinmu."
Alex mengangguk. "Ayo kita makan dulu! Aku tidak ingin kamu sakit karena angin pantai."
Alex menggenggam tangan Sera, menuntunnya kembali ke meja, dan mengaturkan kursi untuknya. Pelayan yang berada tidak jauh dari mereka bergegas menyajikan menu-menu yang sudah dipesan oleh tuan muda mereka. Tidak lama kemudian, pasangan yang sedang berbahagia itu mulai menikmati makan malam yang cukup awal.
"Langit terlihat sangat indah saat senja seperti ini." Alex memandangi langit yang mulai gelap dengan semburat jingga di ujung laut. Awan-awan bergerak perlahan seakan sedang menari bersama ratusan burung yang hendak kembali ke sarangnya.
Sera mengikuti arah pandang Alex. Ya, langit memang tampak menakjubkan. Tuhan begitu baik padanya. Tidak hanya menakdirkan Alex untuk menjadi calon suaminya, tapi juga memberikan langit dan pantai yang luar biasa yang menjadi saksi bisu bertambah dekat hubungan mereka.
"Apakah kamu ingin berjalan-jalan sebentar?"
Pertanyaan Alex membuyarkan lamunan Sera.
Gadis dua puluh tiga tahun itu menoleh. Tatapannya bertemu dengan mata keemasan milik Alex yang selalu membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Semburat merah muncul perlahan di pipinya. Diapun mengangguk. Sera tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia ingin menambah kenangan manis hari ini yang akan selalu dia kenang sepanjang hidupnya.
Sudut bibir Alex melengkung. Dia berdiri. Satu tangannya terulur untuk membantu kekasihnya.
Sera menerima uluran tangan itu. Tangannya yang mungil tenggelam dalam genggaman Alex. Jantungnya masih belum bisa bekerja normal. Beberapa kali, dia menghembuskan nafas untuk menghilangkan kegugupannya. Pria ini lebih tua tujuh tahun darinya. Namun, ketampanan dan posturnya yang tegap membuatnya seakan berumur dua puluh lima tahun. Berapa beruntungnya Sera! Dia harus mengabari kedua orang tuanya secepatnya.
Alex dan Sera berjalan bersama menyusuri pantai. Aura bahagia tercium kuat dari keduanya. Perasaan mereka yang dalam dan lama terpendam, kini mulai menguncup. Tidak lama lagi, akan berubah menjadi taman bunga yang indah.
Sepasang mata mengawasi mereka dari jauh. Tidak ada kebahagiaan yang terlihat di sana seolah aura kuat dari Alex dan Sera tidak mencapai hatinya.
Satu titik air mata berhasil lolos, menuruni pipinya. Namun, dia tidak akan membiarkan air mata yang lain membasahi pipinya. Dengan cepat, wanita berambut panjang itu mengusap pipinya. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Hanya saja, dia tidak menyangka jika rasa sakit yang dia rasa akan sehebat ini.
Hatinya yang hancur membuat dadanya menjadi sesak. Satu tangannya terangkat untuk menepuk dadanya, berharap rasa sesak ini segera pergi. Namun, bukannya membaik, dia semakin merasa tenggelam dalam kesedihan. Air mata berbondong-bondong membanjiri matanya dan membasahi pipinya. Bahunya berguncang. Isakannya lirik terdengar.
'Ya Tuhan, jika memang kami tidak berjodoh, kenapa Engkau menitipkan rasa ini padaku? Hapuskan saja semua! Aku tidak akan sanggup lagi.'