Devano sedang menjemput Flo di cafe. Mereka sedang dalam perjalanan pulang di dalam mobil. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Devano ada lembur, sehingga ia langsung menjemput Flo dari kantor.
"Mulai sekarang, kamu harus rapikan kamarmu sendiri, Flo!" tegur Devano. Pandangannya lurus ke jalanan.
"Kenapa, Kak?" tanya Flo.
"Kemarin Verlyn membersihkan kamar kamu. Mengganti sprei juga. Dia nemu k****m bekasku."
"Terus Verlyn-nya gimana?"
"Untungnya dia nggak curiga sama aku. Cuma, dia mikirnya kamu punya pacar, dan berani membawanya ke rumah."
Wajah Flo terlihat masam. "Ck. Kak Vano bilangin dia gih, biar jangan mengurusi privasiku lagi."
"Ya mana bisa. Lagian, kan ... dia ikut jagain Dafa juga. Mana mungkin dia nggak masuk kamar kamu. Nggak mungkin juga kan, aku ngelarang."
"Kalau gitu, kalian pindah aja. Sewain aku babysitter. Lama-lama aku juga gerah. Verlyn terlalu ikut campur. Terlalu ngatur ini dan itu. Itu rumahku, Kak. Rumah kita."
"Kamu yakin? Nggak apa-apa aku tinggalin?"
"Yang penting, Kak Vano tiap hari harus ke rumah. Meskipun sebentar, harus nemuin aku sama Dafa. Dengan begitu, aku juga jadi lebih bebas. Nggak apa juga Kak Vano nggak nemuin kami, tapi apa Kakak rela, setiap hari aku diantar sama temanku?"
"Kamu berani?"
"Ya apa salahnya kalau aku merasa kesepian."
Sebelum Devano menikah dengan Verlyn, kakak beradik bukan kandung itu memang tidak pernah melakukan hal yang kelewat batas selain saat malam terciptanya Dafa. Sejak Devano cemburulah, mereka mulai melakukannya.
Flo menyenderkan kepalanya di pundak Devano. Ia cium pipi pria yang sedang memperhatikan lampu lalu lintas yang sedang berwarna merah. Tangan Devano mengusap kepala Flo dengan sayang. Flo pun memejamkan mata, menikmati sentuhan sang kakak. Ia sangat yakin, Devano tidak akan pernah meninggalkannya.
***
Sesampainya di rumah, Devano melihat Verlyn sudah tertidur di sofa di ruang televisi. Dari wajah dan matanya yang terpejam, wanita itu terlihat sangat lelah. Seketika hati Devano merasa bersalah telah menyembunyikan status dirinya dari sang istri. Ada rasa ingin jujur, tetapi ia takut nantinya akan kehilangan wanita itu. Ia sangat mencintai Verlyn, meskipun memang ia tidak bisa mengingkari bahwa dirinya juga telah memiliki Flo dan Dafa.
Tidak ingin mengusik tidur istrinya, Devano memilih berjalan ke kamar. Ia ingin membersihkan diri setelah itu baru akan menggendong dan memindahkan Verlyn ke kamar.
Saat Devano sedang membuka bajunya, Flo masuk ke kamar pria itu. Devano pun terkejut.
"Flo! Apa yang sedang kamu lakukan di sini?!"
Bukannya menjawab, Flo malah merebahkan diri di ranjang.
"Flo ... ayolah, jangan kekanak-kanakan. Nanti kalau Verlyn bangun bagaimana?!"
"Aku rindu bau kamar ini, Kak. Aku rindu tidur di kamar ini," jawab Flo dengan entengnya. Mereka memang sering tidur bersama. Ya, hanya tidur.
"Flo...."
"Mungkin lebih baik memang Kak Vano dan Verlyn pindah saja. Biar kalian bisa punya privasi, begitu juga denganku. Di tempat yang berbeda, kalian bisa dengan bebas mau bergerak sesuka hati. Aku pun begitu. Tinggal di rumah sendiri, tapi diatur-atur itu nggak enak."
"Nanti aku bicarakan sama Verlyn. Sekarang, kamu keluar! Aku mau mandi. Aku nggak mau, dia berpikir macam-macam."
"Kamu begitu menjaga perasaannya, tapi kenapa tidak pernah menjaga perasaanku?"
"Flo...."
"Baiklah. Aku keluar. Nanti atau besok, masuklah ke kamarku kalau sempat. Aku punya lingerie baru," goda Flo.
Jangan salahkan wanita itu, mengapa ia bisa bersikap begitu. Karena Devano memiliki andil yang cukup besar sehingga Flo bisa demikian.
***
Verlyn membuka matanya yang terpejam. Ia tajamkan penglihatan, melihat ke arah jam dinding.
"Aku ketiduran," ucapnya.
Pelan-pelan ia bangun, kemudian berjalan menuju kamar Flo. Tujuannya untuk melihat Dafa. Namun, begitu pintu kamar terkunci, ia urung untuk masuk. Berarti Flo sudah pulang. Kemudian ia berjalan ke kamarnya. Terlihat Devano sedang menyisir rambut.
"Hei, sudah bangun ... tadi aku mandi dulu. Niatnya mau mindahin kamu setelah mandi," ucap Devano ketika melihat Verlyn masuk kamar.
Verlyn tersenyum. "Kaya aku anak kecil aja dipindahin."
"Kamu kelihatan capek banget."
Suami dari Verlyn itu berjalan mendekat ke arah sang istri. Kemudian duduk di sebelahnya. Ia raih kaki wanita itu, lalu menaruhnya di atas pangkuannya, memijitnya. Verlyn pun tersenyum.
"Aku nggak capek, kok. Malah lebih capek waktu masih kerja di bank. Seneng aja gitu menikmati sensasi berebut waktu sama Dafa."
Devano tersenyum. Tangannya masih fokus memijit kaki Verlyn.
"Kapan kita punya Dafa?" tanya Devano.
Verlyn mengusap pipi sang suami. "Sedikasihnya aja." Tentu saja Verlyn tidak berani berkata jujur, mengatakan bahwa dia sengaja menundanya.
"Ya ... sekarang, kita nikmati saja dulu waktu berdua kita. Puas-puasin pacaran."
Verlyn pun mengangguk.
"Sayang...."
"Hem?"
"Kamu mau nggak, kalau kita pindah?"
Verlyn menatap Devano penuh tanda tanya.
"Gini ... kita pindah ke apartemen. Biar kamu nggak kecapean."
"Aku nggak capek."
"Selain itu, biar kita lebih bebas juga. Kamu nggak tahu, ya, kalau aku punya fantasi-fantasi yang pengen aku lakuin?"
"Fantasi?"
"Ya ... aku pengen kita melakukannya dengan bebas. Mau itu di dapur, di ruang makan, di ruang tamu, ruang televisi. Pokoknya sepengennya aku, tanpa kita harus memikirkan ada orang lain."
Mendengar penjelasan Devano, Verlyn tertawa. "Kamu, tuh, ya ... mikirinnya masalah itu."
"Ya iyalah. Aku pria normal. Aku butuh banget hal itu buat ngilangin capek setelah kerja dan saat libur kerja."
"Lalu Dafa sama Flo?"
"Flo, biar dia bisa belajar mandiri. Dafa, nanti aku cari babysitter buat jagain dia."
"Tapi aku nggak tega, Dev...."
"Tapi kan kamu butuh metime juga. Siapa tahu, dengan begitu, dia cepet hadir di sini," ucap Devano sambil mengusap perut rata Verlyn.
"Apa kamu udah bilang ke Flo?"
"Udah ... dia setuju aja."
"Baiklah. Kalau begitu, silakan kamu atur. Kamu udah makan?"
"Udah tadi di kantor. Kamu udah makan belom?"
Verlyn menggeleng.
"Kalau gitu, ayo makan!"
"Aku udah nggak nafsu."
"Aku temenin. Atau, aku siapin. Aku nggak mau, ya ... istriku yang cantik ini sakit."
"Tapi aku pengennya mi rebus."
"Kamu nggak masak emang?"
"Masak. Tapi malas makan. Pengennya mi rebus."
"Ya, udah. Aku masakin. Tuan Putri cukup nunggu di ruang makan sambil duduk manis."
"Gendong...."
"Ayo!"
Devano langsung berjongkok di depan Verlyn. Wanita itu pun langsung naik ke punggung suaminya. Devano berdiri, kemudian berjalan keluar kamar, menuju ruang makan. Verlyn ia dudukan di kursi, sementara pria itu bersiap memasakkan mi rebus untuk wanita yang dicintainya itu.
Sementara di kamar, Flo baru saja selesai mandi. Seperti yang tadi ia ucapkan, ia kenakan lingerie yang baru saja dibelinya. Ia dekati Dafa yang masih tidur terlelap.
"Sayang ... kamu sabar, ya. Cepat atau lambat, Papa pasti akan menjadi milik kita seutuhnya. Kita hanya cukup mengalah lebih dulu, untuk jadi pemenang," ucap Flo penuh keyakinan.
oOo
Tunggu update-nya setiap hari, jamnya mulai jam 11 siang ke atas, ya ... soalnya ngikutin jam UTC. Insya Allah, asal diberi kesehatan, cerita ini update rutin.