Devano dan Flo masih duduk di sofa depan televisi. Mata mereka sama-sama terpejam, namun tidak tidur.
"Kak...."
"Hem?"
"Malam ini tidur denganku, ya. Malam ini saja. Verlyn-nya kan lagi nggak ada." Tangan Flo mengusap-usap jari Devano yang berada di perutnya.
"Aku takut."
"Takut kenapa?"
"Seperti yang aku bilang, punyaku sekarang sensi. Aku takut kalau aku sampai khilaf."
Flo mengubah posisi duduknya. Ia duduk mengangkangi Devano. Ditangkupnya pipi pria itu.
"Apa karena sudah menikah, Kakak tidak mau lagi tidur denganku? Aku rindu pelukan Kakak."
"Tidak seperti itu...."
"Makanya, untuk malam ini, ayo ... tidur bersamaku. Peluk aku. Agar aku yakin, Kakak tidak akan pernah bisa berubah."
Devano merapikan rambut sang adik. Diselipkannya ke belakang telinga.
"Baiklah. Malam ini aku akan tidur denganmu."
Senyum mengembang di bibir Flo. Ia sangat bahagia, meskipun hanya semalam, ia bisa merasakan kehangatan kakaknya lagi.
***
Di tempat lain, Verlyn sudah berada di ranjang di kamarnya. Pikirannya tiba-tiba saja tidak tenang. Ada yang mengganjal hatinya. Namun, ia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya demikian.
Dipandanginya jam dinding. Ingin menghubungi Devano, tetapi jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Takut mengganggu pria itu. Akhirnya, tidak ada yang Verlyn lakukan kecuali menunggu pagi dan dia bisa segera pulang ke rumah sang suami.
***
Sementara Devano dan Flo, mereka sudah berada di ranjang di kamar wanita itu. Dafa masih nyenyak dalam tidurnya.
Suami dari Verlyn itu mencoba menjaga jarak dengan tidur telentang di samping sang adik. Namun, tiba-tiba saja Flo mendekat, merebahkan kepala di atas d**a Devano dan memeluknya.
"Flo...."
"Kali ini saja."
"Tapi Flo, kamu lupa janji kamu?"
"Aku tidak lupa. Tapi apa salahnya aku melakukan ini?"
Tidak sampai di situ, tangan Flo mulai mengusap celana Devano. Pria itu pun mencengkeram tangan ibu dari Dafa itu.
"Hentikan, Flo. Sudah malam. Tidurlah!"
Flo semakin merekatkan tubuhnya ke tubuh sang kakak. Dadanya yang tanpa bra, begitu terasa menempel di di d**a Devano. Sekuat tenaga Devano menahan agar tidak tergoda.
***
Pagi-pagi sekali Verlyn segera kembali. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu sang suami. Karena pikirnya tidak ingin mengganggu Flo, ia memilih untuk menelepon Devano, meminta dibukakan pintu. Untung saja, semalam Devano tidak lupa membawa ponsel ke kamar Flo. Setelah berbicara dengan Verlyn, ia segera keluar dari kamar Flo, kemudian segera membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, Verlyn langsung menubruk tubuh Devano. Menciumi pipinya.
"Kamu kenapa?" tanya Devano heran. Tangannya sudah bertengger di pinggang sang istri.
"Nggak kenapa-napa. Aku cuma kangen sama kamu."
Devano langsung menarik Verlyn masuk, kemudian pintu segera ditutup. Setelah itu diciumnya bibir sang istri. Karena jujur saja, sejak semalam Devano benar-benar menahan diri agar tidak sampai khilaf pada Flo. Karena itulah, ia ingin segera melampiaskannya.
Digendongnya tubuh Verlyn menuju kamar. Direbahkannya di ranjang. Namun, tiba-tiba Verlyn merasakan kejanggalan.
"Kamu semalam tudur di mana?" tanya Verlyn.
"Ke-kenapa?" jawab Devano gugup.
"Selimut dan spreinya masih rapi."
"Oh ... aku ketiduran di sofa. Nggak bisa tidur aku semalam. Mau telepon kamu, takut ganggu."
"Ih ... kok samaan."
"Iyakah? Tahu gitu, aku semalam langsung ke rumah Ibu."
"Kasihan Flo dong, kalau kamu tinggal."
Mendengar nama Flo, Devano langsung kembali menciun Verlyn. Kali ini penuh emosi.
"Satu sesi, sebelum kita berangkat kerja," bisiknya.
***
Sesuai peraturan, Verlyn akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja. Tempat kerja mereka memang melarang adanya hubungan suami-istri antara karyawannya.
Kesibukan Verlyn saat ini benar-benar hanya menjadi ibu rumah tangga. Sedangkan Flo, ia yang sebelumnya bekerja sebagai penyanyi kafe dan penyanyi di acara pernikahan, kini mulai menerima panggilan lagi. Verlyn-lah yang menjaga Dafa. Bayi itu sudah seperti bayi Verlyn.
Saat ini, Flo sedang mendapat panggilan untuk mengisi acara di tempat Devano bekerja. Untuk membunuh kejenuhan, Verlyn membawa Dafa ke rumah ibunya. Lusi sangat senang melihat interaksi antara Verlyn dan Dafa.
"Kamu terlihat sangat menyayangi Dafa," ujar Lusi.
"Tentu, Bu. Dafa sudah seperti anakku sendiri."
"Lalu, kapan kamu akan memberi Ibu cucu?"
Pertanyaan yang sebenarnya sangat Verlyn takutkan. Apalagi keluar dari mulut sang ibu.
"Kenapa?" tanya Lusi lagi saat sang putri diam saja. "Kamu tidak menundanya, kan?"
Verlyn hanya bisa menggeleng. Ia tidak bisa jujur pada sang ibu bahwa sejujurnya ia memang menunda kehamilan. Entahlah, ia belum yakin untuk memiliki anak. Ada perasaan yang membimbingnya untuk tidak dulu memiliki anak. Meskipun di lubuk hatinya yang paling dalam, ia sudah sangat ingin memilikinya.
***
Pandangan Devano lurus ke arah Flo yang sedang bernyanyi di atas panggung. Hal yang dulu biasa ia lakukan. Mengintimidasi sang adik agar tidak keganjenan terhadap tamu-tamu kafe yang biasanya ada saja yang nakal.
Tidak beda dengan pria-pria yang sedang menyaksikan penampilan Flo. Mata mereka memandangi dengan penuh kekaguman.
Mereka sedang berada di acara ulang tahun bank tempat mereka bekerja. Tamu-tamu berasal dari beberapa pegawai kantor cabang dan kantor pusat.
Devano benar-benar merasa jengah pada pria-pria yang menatap Flo, seolah tidak pernah melihat wanita lain. Begitu acara selesai, Devano segera menarik tangan Flo agar rekan-rekannya tahu, Flo adalah adiknya. Setelah itu ia segera pamit dan membawa Flo ke mobil.
"Dasar ganjen!" ejek Devano saat mereka sudah berada di parkiran.
"Maksut Kakak aku?!"
"Siapa lagi?! Baru juga bertemu laki-laki, langsung tebar pesona!"
Devano segera mengendarai mobil menuju rumahnya dengan kecepatan tinggi. Ia benar-benar emosi. Flo pun tidak berani untuk membuka suara.
Begitu sampai di rumah, Flo segera turun dari mobil. Ia pun ikut kesal jadinya. Sejak dulu dia memang tidak suka kakaknya marah-marah.
"Nggak usah kerja kalau tujuan kamu hanya untuk menggoda laki-laki!"
"Kakak ngomong apa, sih?! Siapa yang menggoda?!" Tentu saja Flo tidak terima dituduh demikian.
"Kamu lah! Siapa lagi!"
"Kenapa?! Kakak cemburu?!" Suara Flo terdengar sinis. "Apa kabar aku yang setiap hari harus meyaksikan Kakak begitu sama Verlyn? Apa Kakak pikir aku sama seperti tembok di rumah ini yang nggak punya perasaan?!"
Tak bisa lagi mengontrol emosinya, Devano mencium bibir Flo. Gayung bersambut. Dahaga itu rasanya tertuntaskan. Flo membalasnya. Ia mencium bibir Devano dengan sangat agresif. Tangannya sudah berada di leher pria itu, menekannya agar ciuman semakin dalam.
Keduanya larut dalam suasana. Flo menuntun sang kakak menuju kamar masih dalam posisi berciuman. Di dalam kamar, ia membuka satu per satu kancing kemeja Devano, begitu juga dengan pria itu.
Sekali lagi mereka melakukannya. Sama seperti saat akan terciptanya Dafa. Bedanya, dulu mereka melakukannya dalam keadaan mabuk, kali ini mereka sama-sama sadar.
oOo
Penjelasan tentang apa sebenarnya hubungan mereka akan ada di part-part selanjutnya. Jadi, jangan lewatkan, ya ....