Waktu yang ditunggu tiba. Akhirnya Verlyn dan Devano resmi menjadi suami-istri. Bukan hanya kedua mempelai, keluarga, kerabat, dan teman mereka pun ikut merasa lega. Bayang-bayang kegagalan pernikahan mereka akhirnya tidak terjadi.
Resepsi diadakan di aula salah satu hotel bintang lima. Dekorasi ruangan itu sangat elegan. Bunga-bunga menghiasi setiap sudut. Lampu-lampu kristal pun tak kalah membuat ruangan menjadi terkesan mewah. Ternyata, meskipun Verlyn dan Devano tidak ikut andil merancang segala macam t***k bengeknya, pihak wedding organizer cukup membuat mereka puas.
Kedua mempelai menggunakan pakaian internasional untuk resepsi. Gaun yang Verlyn kenakan sangat anggun dan pas melekat di tubuhnya. Jas yang Devano kenakan pun cukup membuat pria itu terlihat lebih gagah.
Senyum bahagia mengembang di bibir Lusi. Ia hanya bisa berdoa, semoga rumah tangga anaknya akan harmonis. Hanya maut yang bisa memisahkan mereka.
Di sudut lain, ada Flo yang tengah menggendong Dafa. Setitik air mata jatuh di pipinya. Kakaknya telah menikah. Kakaknya tak lagi miliknya seorang. Ia cium pipi putranya yang barusia hampir dua bulan itu.
"Sayang, kelak apa pun yang terjadi, kamu jangan pernah tinggalin Mama, ya. Biarkan papa kamu melakukan apa yang dia suka. Kamu satu-satunya harapan Mama."
Sementara pasangan pengantin baru itu tengah memimpin untuk berdansa. Musik berirama pelan itu mampu memberi kesan romantis. Devano meletakkan tangan kirinya di pinggang sang istri, sementara tangan Verlyn berada di pundak suaminya. Tanpa malu-malu lagi, Devano mencium bibir Verlyn dengan mesra. Tepukan dan riuh histeris tamu undangan menjadi pengiring kebahagiaan yang baru saja mereka ciptakan.
***
Resepsi selesai. Malam ini, Devano dan Verlyn memilih untuk menginap di hotel. Tentu saja, pria itu tidak ingin ada yang menggganggu malam pertama mereka.
Verlyn baru saja selesai membersihkan diri. Rambut panjangnya tergerai basah. Senyum menawan terbit di bibirnya yang tipis. Bibir yang selama satu minggu sebelumnya juga mendapat perawatan khusus. Devano yang melihatnya, segera mendekat.
"Bibir kamu manis. Habis kamu apakan?" tanya Devano, ibu jarinya menekan-nekannya pelan.
"Perawatan. Aku tidak ingin mengecewakan suamiku. Apalagi setelah satu minggu tidak bertemu." Wanita itu mengalungkan tangannya di leher pria yang saat ini juga sudah mengunci pinggangnya.
"Ehm ... sangat manis kedengarannya."
Verlyn mengecup d**a telanjang Devano. "Apa kamu mau mandi lebih dulu?"
Devano menggeleng. "Aku rasa, keringatku tidak akan membuatmu pingsan." Tangannya melepas simpul bathrobe yang Verlyn kenakan.
Di balik handuk bermodel baju itu, Verlyn sudah mengenakan lingerie hitam sederhana berenda yang sengaja ia siapkan khusus untuk memanjakan suaminya.
"Kamu suka?" tanya Verlyn.
Devano tidak menjawab. Ia mulai mengecupi pundak terbuka Verlyn. Membalikkan tubuh istrinya agar membelakanginya. Bibirnya sibuk menjelajahi pundak, punggung, hingga leher Verlyn. Sementara tangannya agresif di tubuh bagian bawah wanita yang kini sudah memejamkan mata, menikmati sentuhan-sentuhan itu.
Naluri wanita dewasa Verlyn berbica. Ia membalik badan. Diciumnya bibir suaminya. Sementara tangannya kini yang gantian memanjakan tubuh Devano.
Hanya suara detik jam kamar yang menjadi saksi keintiman mereka. Verlyn dan Devano sudah berada di ranjang. Saling membelai, saling mencumbu. Hingga akhirnya, dinding itu berhasil Devano runtuhkan. Verlyn sangat bangga bisa menjaganya dan akhirnya bisa memberikannya pada suami sahnya.
Pukul tiga dini hari Verlyn terjaga. Senyumnya mengembang memperhatikan wajah Devano yang matanya terpejam. Tangannya terulur membelai pipi suaminya. Mengusap bibir yang sudah menjadi candu untuknya. Teringat kegiatan beberapa jam lalu, membuat d**a Verlyn berdebar. Tangannya bergerak nakal. Diusapnya tubuh sang suami di balik selimut.
"Terima kasih sudah membangunkan singa yang kelaparan," bisik Devano. Kemudian ia tindih tubuh Verlyn. Diciuminya bibir wanita itu tanpa ampun.
Tak banyak kata. Yang ada hanya desah dan erangan yang saling bersahutan. Sampai akhirnya mereka melakukannya untuk kedua kali.
Tidak hanya sampai di situ. Selesai melakukan di ranjang, mereka kembali melakukannya di kamar mandi. Lagi dan lagi. Sepertinya mereka sama-sama menemukan mainan baru untuk ke depannya.
***
Tidak ada acara bulan madu. Lebih tepatnya ditunda. Mereka tidak tega jika harus meninggalkan Flo dan Dafa terlalu lama. Verlyn sama sekali tidak keberatan. Toh tanpa bulan madu pun, mereka bisa melakukannya setiap saat. Maklum saja, pengantin baru. Jadi bersentuhan sedikit saja sudah seperti setrum yang memberikan efek dahsyat.
Verlyn adalah wanita yang sangat mencintai kebersihan dan kerapihan. Karena itulah ia mengambil alih semua pekerjaan bersih-bersih di rumah Devano. Sebelum berangkat kerja, ia selalu rutin memasak, mencuci baju, hingga merapikan rumah.
Awalnya Flo tidak keberatan. Namun, lama-lama ia juga merasa tidak nyaman. Ada bantal sofa salah tempat saja langsung dirapikan oleh Verlyn. Ada piring belum sempat dicuci, langsung dicuci Verlyn. Flo merasa sangat dibatasi di rumahnya sendiri.
"Kak, jujur, aku merasa sangat tidak nyaman dengan Verlyn," ujar Flo saat Verlyn menginap di rumah sang ibu.
"Kenapa?"
"Dia pendatang di rumah ini, tapi dia seperti ingin mengusai semuanya."
"Jangan nethink begitu. Niat dia baik, kok."
"Iya, aku tahu. Tapi, aku jadi merasa apa-apa diburu-buru. Apa yang belum sempat aku kerjakan, diambil alih sama dia. Padahal, aku ngerjainnya nanti pas Dafa tidur."
"Tapi kan kamu jadi nggak capek malahan."
Flo memanyunkan bibir. "Mentang-mentang udah nikah, belain aja terus." Ia sudah berdiri, berniat masuk kamar. Namun, Devano menahan pergelangan tangannya. Mendudukkan sang adik di atas pangkuannya.
"Aku tahu, kamu sensi bukan karena itu, kan? Tapi karena yang lain. Kamu tenang saja, aku tidak akan berubah."
"Bohong!"
"Siapa yang bohong? Kalau aku berubah, malam ini aku pasti lebih memilih ikut Verlyn menginap di rumah Ibu. Setiap malam kami tidak pernah melewatkannya. Malam ini aku pasti akan kesepian."
"Kalau begitu, tidur di kamarku. Semenjak Kakak menikah, Kak Vano sudah tidak pernah melakukannya."
"Yang benar saja. Masa iya, ada Verlyn, kita harus tidur satu kamar. Bisa-bisa dia cemburu buta dan salah paham."
Flo menyenderkan kepalanya di pundak sang kakak. Menikmati hal yang sudah susah mereka lakukan. Tangan Devano melingkari perut Flo.
"Ehm, aku merindukan ini. Apa Kakak juga merindukan saat-saat seperti ini?"
"Em ... ya, tapi hanya sedikit," goda Devano.
"Iya, deh. Tahu-tahu, yang setiap malam sekarang udah bisa ngegolin terus."
"Jangan bahas, deh. Milikku sensi sekarang."
Mereka terdiam, mata terpejam. Menikmati saat-saat yang sekarang sudah langka untuk mereka.
"Kak...."
"Ya?"
"Apa kita akan seperti ini selamanya?"
"Tentu."
"Kalau nanti aku menikah?"
"Itu terserah kamu. Kalau kamu masih butuh dadaku untuk bersandar, asal paham sikon, aku pasti akan meminjamkannya."
Flo mencium pipi Devano. "Terima kasih."
oOo