Verlyn tersenyum. "Maafkan sikapku tadi."
"Justru aku berterima kasih. Terima kasih kamu sudah mencintaiku sedalam itu."
Verlyn memeluk Devano, begitu juga dengan pria itu. Verlyn pun sebenarnya bingung. Ada apa dengannya? Mengapa dia akhir-akhir ini mudah sekali cemburu, tetapi juga mudah memaafkan.
Saat ini bisa curiga pada sang kekasih, beberapa saat kemudian bisa sangat percaya. Wanita itu berharap, semoga setelah menikah, perasaan itu bisa segera hilang. Rasanya tidak mungkin jika dua puluh empat jam ia harus dilingkupi perasaan curiga.
Devano mengusap punggung Verlyn. "Pulang kantor, kita akan mulai mengatur semuanya."
"Tapi, kali ini tidak akan gagal, kan?" Sudah dua kali gagal, tentu saja Verlyn memiliki ketakutan sendiri. Ia takut rencananya akan gagal untuk ketiga kali.
"Kali ini enggak, Sayang. Aku akan menjamin itu. Pokoknya, aku janji nggak akan buat kamu kecewa."
Verlyn tersenyun di balik punggung Devano. Wanita mana yang tidak bahagia dijanjikan seperti itu. Tentu saja Verlyn berharap itu bukan sekadar janji. Melihat Devano yang begitu bertanggung jawab pada sang adik, Verlyn percaya, kelak Devano pun akan seperti itu pada dirinya, istrinya.
***
Pulang kantor, Devano memenuhi janji. Ia mengajak Verlyn untuk mendatangi wedding organizer. Semua mulai didiskusikan. Dari tanggal dan tempat untuk melangsungkan resepsi, sampai makanan apa saja yang dipilih untuk menjamu tamu.
Kali ini, Devano tidak bisa meminta terlalu banyak. Ia sadar diri, pernah dua kali membuat WO itu kecewa. Karena itulah, untuk gedung misalnya, Devano tidak memaksakan harus di mana, seperti sebelum-sebelumnya. Begitu juga dengan konsep. Verlyn dan Devano menyerahkan semuanya pada pihak WO.
Usai mendiskusikan pernikahan, di mana esok hari mereka harus datang lagi, pasangan calon pengantin itu makan malam di resto langganan mereka.
"Ibu pasti senang mendengarnya," ujar Verlyn. Tentu saja, Lusi adalah orang yang paling sedih saat mengetahui putrinya gagal menikah, bahkan sampai dua kali.
"Bilang pada Ibu, kali ini aku takan mengecewakannya. Aku sudah tidak sabar untuk menjadi menantunya." Devano mengerlingkan mata yang kemudian dibalas Verlyn dengan memonyongkan bibir.
"Kamu menggodaku? Atau, kita nanti menginap saja di hotel?" tantang Devano.
"Ngapain harus ke hotel?"
"Bobo bareng."
"Sabar, Pak. Sebulan lagi kita bisa bobo bareng. Bahkan lebih dari bobo bareng."
"Oh, Tuhan, Verlyn ... shut up! Kamu buat celanaku sesak, apa kamu mau tanggung jawab?!"
Verlyn tertawa terbahak. Ya, mereka memang sudah terbiasa bercanda dengan bahasa yang v****r. Jadi biasa saja ketika salah satu dari mereka ada yang bercanda menjurus ke pembicaraan soal s*x.
***
Setelah mengantar Verlyn, Devano langsung pulang. Begitu mobilnya terparkir, pintu langsung terbuka.
"Malam sekali, Kak. Lembur?" tanya Flo sambil meraih tas kerja sang kakak.
"Aku mandi dulu. Nanti, setelah mandi aku jelaskan semuanya. Oke?" Devano mengusap kepala adik satu-satunya itu.
Flo pun mengangguk dan tersenyum.
***
Selesai mandi, Devano masuk ke kamar Flo. Seharian tidak bertemu Dafa, tentu saja ia merasa rindu. Sayang, bayi itu sudah terlelap. Akhirnya ia hanya bisa menciumnya.
"Good night, Sayang ... mimpi indah, ya."
Flo yang memperhatikan dari pintu kamar tersenyum bahagia. Ia sangat beruntung memiliki Devano. Sayang, pria itu adalah kakaknya. Ia selalu berandai, seandainya saja ia bisa memiliki suami yang seutuhnya seperti Devano ... tapi sayang, itu tidak mungkin. Ya, sangat tidak mungkin.
"Aku terlambat pulang. Adakah yang aku lewatkan hari ini?" tanya Devano. Ia berjalan mendekat ke arah Flo. Setelah itu merangkulnya dan mengajaknya keluar. "Kita ngobrol di ruang televisi saja."
"Apa Kakak udah makan?"
"Udah. Tadi aku makan malam bareng Verlyn. Kalau tidak merepotkan, buatkan aku kopi saja."
"Baiklah. Kakak tunggu, ya!"
"Oke."
Sambil menunggu Flo membuatkan kopi, Devano duduk di sofa kemudian menyalakan televisi. Mencari channel yang menayangkan acara yang bagus. Maklum saja, stasiun televisi lokal saat ini tayangannya sangat tidak bermutu dan tidak mendidik.
Penuh dengan gimmick, penuh dengan settingan. Bahkan apa saja sekarang dijadikan settingan agar seseorang bisa terus eksis di televisi. Tidak peduli lagi akan harga diri. Asal itu menghasilkan, mau saja dilakukan.
Flo kembali ke ruang televisi dengan nampan berisi dua cangkir berada di tangan. Ia memberikannya satu pada sang kakak.
"Kamu jangan minum kopi. Nggak bagus. Kamu kan lagi kasih Dafa ASI." Devano berkata demikian karena paham betul adiknya adalah pecinta kopi.
"Iya, Kak. Ini aku buat teh hangat."
"Sini duduk!" Devano menepuk sofa agar Flo duduk di sebelahnya.
Flo pun menurut. Ia duduk di sebelah sang kakak.
"Aku tadi sama Verlyn habis ke WO."
Flo menghentikan aktivitasnya. Cangkirnya menggantung di depan d**a.
"WO? Wedding organizer?"
Devano mengangguk. "Kami akan menikah bulan depan."
Flo terdiam. Wajahnya terlihat murung. Namun, kemudian ia kembali tersenyum. "Selamat. Maaf, kalau saja bukan karena aku, pasti Kakak dan Verlyn sudah menikah."
Devano meraih tangan Flo, digenggamnya. "Kamu jangan khawatir. Sekalipun aku menikah, tidak akan ada yang berubah. Perhatianku padamu akan tetap sama."
Flo tersenyum lagi. "Iya, Kak. Aku janji, kali ini tidak akan menggagalkan pernikahan kalian lagi. Aku sudah memilikinya. Aku tidak butuh yang lain lagi."
"Terima kasih untuk semuanya." Devano mencium pipi Flo. Ibu dari Dafa itu pun balas mencium pria yang berstatus sebagai kakaknya tersebut.
***
Hari-hari Devano dan Verlyn disibukkan dengan mengurus pernikahan mereka. Setiap pulang kantor, pasti mereka sempatkan untuk mengecek segala sesuatunya. Menanyakan kesiapan.
Di kantor, kabar pernikahan juga sudah sampai di telinga pegawai lain. Semua mendoakan agar acara dilancarkan. Sebagai teman, tentu saja mereka juga merasa was-was. Takut kalau pernikahan rekan sejawat mereka sampai gagal lagi. Begitu juga dengan Lusi.
Pernikahan satu minggu lagi digelar. Tidak seperti sebelumnya, kali ini ia merasa biasa saja. Tidak ada yang mengganjal. Ia mengartikan jika pernikahan sang putri pasti akan berjalan lancar.
Seperti calon pengantin pada umumnya, Devano dan Verlyn juga melakukan ritual pingitan. Yaitu tidak boleh bertemu sebelum hari H pernikahan.
Selain untuk menghindari perdebatan-perdebatan kecil, pingitan juga dilakukan agar nanti ketika pasangan itu bertemu akan merasa pangling, merasa pasangannya berbeda, lebih cantik dan tampan. Sehingga perasaan cinta akan semakin terpupuk.
Apalagi, Verlyn juga melakukan perawatan. Ia mengundang terapis datang ke rumah untuk memberikan treatment pada wajah juga tubuhnya. Ia tidak ingin mengecewakan Devano di malam pertama mereka. Ia benar-benar ingin memberikan yang terbaik, terutama apa yang selama ini ia jaga untuk suaminya, mahkotanya.
Kalau boleh jujur, wanita itu sangat merindukan sang kekasih. Namun, ia bisa apa. Perjuangannya sebentar lagi akan berakhir. Ia yakin, ia masih bisa menunggu satu minggu lagi.
oOo