Terima Kasih Sudah Mencintaiku

1042 Kata
“Dafa udah bangun belum? Aku kangen. Aku ke kamar kamu, ya.” Belum mendapat jawaban dari Flo, Verlyn langsung berjalan menuju kamar di mana Dafa berada. Kebetulan, pintunya tidak tertutup. Wanita itu masuk. Namun, bukan box Dafa yang menjadi pusat perhatiannya. Melainkan ranjang milik Flo. Di sana ada Devano yang masih tidur terlelap. Tangannya terlihat terbuka tanpa memakai baju. Verlyn membeku di tempatnya. Flo menyadari hal itu. “Ehm, semalam Dafa rewel, Ver. Makanya Kak Vano bantu jagain. Terus dianya ketiduran.” Flo mencoba memberi calon iparnya pengertian. Ia berharap, Verlyn tidak salah paham. Wanita yang masih diam di tempat itu berada di satu persimpangan. Haruskah ia percaya? Mengapa terlalu banyak kejadian yang membuatnya menjadi mempunyai pemikiran buruk? Ataukah, karena dia tidak memiliki saudara laki-laki makanya merasa ada yang aneh pada hubungan Flo dan Devano. Pria yang masih berada di ranjang itu terlihat mulai mengucek mata. Ia meraba area ranjang sampingnya. “Flo....” Lagi. Flo merasa sangat tidak enak. Sementara Verlyn lagi-lagi merasa cemburu. Kedua wanita itu tidak ada yang bersuara. “Flo....” Mata Devano sudah terbuka. Ia belum menyadari jika sang kekasih berada di ruangan itu. Begitu menyadarinya, Devano langsung terlonjak kaget. “Ver....” “Maaf, aku terlalu pagi datang ke sini.” Tidak seperti sebelumnya, kali ini Verlyn tidak bisa menahan perasaannya. Meskipun yang dilihatnya tidak seperti yang dipikirkan, dalam pikirannya, Devano bertelanjang bulat, nyatanya pria itu masih menggunakan celana pendek. “Kamu, kamu sudah sejak tadi?” tanya Devano tergagap. “Aku datang karena Ibu menyuruhku mengantar sarapan untuk kalian, juga sayur bening daun katuk agar ASI Flo lancar.” Tidak ada ekspresi bersahabat di wajah Verlyn. Devano berdiri, ia berjalan mendekat ke arah Verlyn. “Terima kasih, ya. Maaf sudah merepotkan kalian.” “Aku, aku berangkat dulu, ya.” “Jangan. Kita berangkat bareng. Aku mandi dulu.” Devano sudah akan keluar dari kamar, namun Verlyn mencegahnya. “Aku berangkat sendiri saja. Ada urusan lain sama temenku. Aku lupa ngomong sama kamu. Sampai ketemu di kantor.” Verlyn keluar dari kamar Flo, Devano mengikutinya. “Biar aku antar.” “Nggak usah.” Tanpa bisa dicegah lagi, Verlyn keluar dari rumah itu. Dia berbohong jika mengatakan ada urusan dengan temannya. Nyatanya, ia pergi ke taman, duduk di salah satu bangku. Sambil menikmati udara pagi, Verlyn hanya bisa diam sambil meneteskan air mata. Ia bingung, ia bimbang. Apa yang mengganjal di dalam hatinya memang sebuah firasat, atau memang semua itu hanya efek dirinya yang terlalu baper, terbawa perasaan. Ia teringat tiga tahun lalu, saat pertama kali dikenalkan dengan Flo. Flo terlihat dingin menanggapi, membuatnya merasa kalau ia tidak diterima di keluarga itu. Namun, ternyata ia salah paham. Kenyataannya, Verlyn dan Flo bisa sedekat sekarang. *** Di rumah Devano, ia sedang menikmati sarapan buatan ibu Verlyn bersama Flo. Ia bersyukur akan memiliki mertua yang pandai memasak. "Kak ... apa Verlyn marah pada kita?" tanya Flo. Ia merasa sangat bersalah kalau sampai Verlyn meminta putus dari sang kakak. Ia tahu, kakaknya sangat mencintai Verlyn. "Tidak ... kamu tenang saja. Toh, tidak ada yang sedang kita lakukan, kan? Apa alasan dia buat marah. Kamu jangan memikirkan hal-hal yang bisa membuat kamu stres. Kakak nggak mau, nanti berimbas sama Dafa. Pokoknya, Kakak mau kamu hanya fokus sama Dafa. Berikan yang terbaik." Devano menambah nasi lagi ke dalam piringnya. Ia juga tambahkan sayur bening daun katuk. Kemudian, ia menyuapkan pada Flo. "Lebih baik, kamu makan yang banyak. Biar ASI yang dihasilkan juga banyak. Biar Dafa juga nggak rewel." Flo tersenyum. " Siap, Bos!" Devano menyuapi sang adik hingga nasi di dalam piring habis. Setelah itu, ia minun air putih dan segera berangkat ke kantor. Sebelum keluar rumah, ia cium kening adiknya. Hal yang sudah biasa Devano lakukan. *** Sesampainya Devano di kantor, bertepatan dengan Verlyn yang juga baru turun dari taksi. Namun, meskipun melihat kedatangan sang kekasih, Verlyn tidak menyapanya. "Apa dia marah padaku?" gumam Devano. Ia berjalan di belakang Verlyn. Sesampainya di loker, Devano menegur Verlyn. "Kamu kenapa? Kamu marah padaku?" tanya Devano. Verlyn diam saja tak menjawab. Hanya melirik pria itu sekilas. "Ver ... aku dan Flo tidak ada apa-apa." Verlyn belum juga menjawab. "Ver...." Sebenarnya Devano masih ingin mengobrol dengan Verlyn. Namun, jam sudah berdenting. Menandakan mereka sudah harus briefing karena sebentar lagi bank akan dibuka. *** Jam istirahat tiba. Verlyn mendapat jatah istirahat lebih dulu. Di bank tempat Verlyn bekerja, waktu istirahat memang dibagi dua. Ia ke kamar mandi untuk mencuci muka. Selesai mencuci muka, ia dikejutkan adanya Devano di depan pintu saat wanita itu membukanya. "Ayo makan siang bareng!" ajak Devano. "Aku sudah pesan ojek online." "Kalau begitu, pesankan untukku sekalian." "Aku sudah terlanjur pesan." Verlyn sudah akan melangkah meninggalkan Devano. Namun, pria itu menarik tangannya, membawa ke ruangannya yang kebetulan tidak terlihat pegawai yang lain saat Devano melakukan itu. "Kenapa kamu begini? Nggak enak kalau yang lain lihat!" murka Verlyn sambil menghempaskan tangan Devano saat sudah berada di ruangan pria itu. "Aku minta maaf kalau memang aku buat salah sama kamu. Tapi tolong, kamu jangan begini. Ini sangat menyiksaku," ucap Devano. Posisinya kini sedang berada tepat di depan wajah sang pacar. "Aku sadar, kalian lebih dulu bersama. Tapi jujur saja, keakraban kalian membuatku cemburu. Ini sangat tidak wajar dalam pemikiranku. Aku mencoba menerima semua penjelasan kamu. Tapi logikaku masih saja merasa ada yang janggal." "Kalau kamu ingin aku menjaga jarak dari Flo, aku akan melakukannya. Tapi kamu jangan menghindariku begini." Verlyn membalik badan membelakangi Devano. Ia remas jemarinya sendiri. "Aku bukan orang sejahat itu." "Lalu aku harus bagaimana?" Verlyn masih belum menjawab. Dipeluknya tubuh wanita yang tengah dilema itu dari belakang. "Tolong, jangan ragukan perasaanku. Aku sungguh-sungguh mencintai kamu. Bulan depan, aku akan menikahi kamu." Mendengar kalimat yang keluar dari bibir Devano membuat Verlyn membeku. "Bulan depan, kita akan menikah. Aku tidak mau menundanya lagi. Aku sudah ingin bisa satu atap denganmu. Bisa satu ranjang denganmu. Bisa dua pulah empat jam melihatmu. Aku ingin menanam benih di rahimmu. Setiap malam, setiap saat. Aku ingin selalu bersamamu." Verlyn mencubit tangan Devano yang berada di perutnya. Setelah itu ia membalik badan. "Benarkah?" Devano mengangguk mantap. Ya, ia ingin segera menikahi wanita pujaannya. Lelah rasanya jika harus terlibat kesalahpahaman terus menerus. "Kita hanya perlu mengabari wedding organizer. Semuanya akan beres." "Apa tidak apa-apa? Bagaimana dengan Flo?" tanya Verlyn sambil merapikan dasi Devano yang miring. "Dia pasti senang mendengar ini." Verlyn tersenyum. "Maafkan sikapku tadi." "Justru aku berterima kasih. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu." oOo
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN