Harus Menerima

1758 Kata
Hari sudah pagi. Verlyn mengucek mata. Ia sedang dalam keadaan rebah di sofa ruang perawatan Flo. Sementara si empunya kamar, beserta Dafa dan Devano tidak ada di ruangan itu. Verlyn duduk, meregangkan otot-otot yang kaku akibat tidur di sofa. Dari otot leher, hingga jari-jarinya ia lemaskan. Merasa lebih baik, wanita itu kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar mandi, berniat membersihkan wajah. Ke mana pun ia pergi, perlengkapan bersih-bersih wajah memang selalu ia bawa. Apalagi ia bekerja di bank, di mana harus selalu terlihat fresh. Verlyn tipe wanita yang lebih suka menggunakan riasan wajah yang natural. Di depan cermin kamar mandi, putri satu-satunya Lusi itu tersenyum. Jarinya meraba bibir yang semalam habis diterjang sang kekasih pujaan. Sungguh, meskipun sudah sering melakukannya, saat mengingat bagaimana mereka sama-sama agresif saat berciuman, selalu sukses membuatnya malu hingga pipinya merona. Semalam, ketika Devano mulai menyecap bibirnya, naluri wanita dewasanya selalu bermain. Jangan salahkan Verlyn. Ia bukan lagi gadis remaja. Ia wanita dewasa berusia dua puluh delapan tahun yang bahkan sudah siap untuk dibuahi. Namun, sejoli itu selalu sukses menahan nafsu agar tidak sampai kebablasan. Senakal-nakalnya mereka, mereka masih berpegang teguh jangan lakukan s*x sebelum menikah. Terutama Verlyn. Setelah wajahnya kembali segar, wanita itu keluar dari kamar mandi. Sudah ada Flo di rungan itu. “Ver ... udah bangun?” sapa Flo terlebih dulu. “Iya ... maaf, ya, aku kesiangan.” “Santai aja, Ver. Lagian mau ngapain. Kalian juga libur kan kerjanya.” Verlyn mengangguk. “Di mana Devano?” Flo menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Di sana, terlihat Devano sedang menjemur Dafa dalam gendongannya. Kamar rawat Flo memang menghadap ke outdoor, jadi segarnya matahari pagi bisa mereka rasakan hanya dengan berdiri di teras kamar. Verlyn tersenyum. Ia berjalan mendekat ke arah sang pacar. Devano belum menyadari jika Verlyn sudah berada di belakangnya. Ia masih sibuk mengobrol dengan Dafa, meskipun bayi itu belum mengerti apa yang orang dewasa itu bicarakan. “Dafa Papa gendong, biar kulit kita menempel, terus Dafa tahu kalau Papa itu sangat sayang sama Dafa.” Devano memang dalam keadaan tidak menggunakan baju. Ia sedang melakukan metode skin to skin contact kepada Dafa. Metode ini dapat menciptakan ikatan emosional antara bayi dan orang tua. Memberikan kehangatan, juga ketenangan pada bayi. Metode skin to skin ini, biasanya dilakukan sesaat setelah bayi dilahirkan. Dalam keadaan tanpa memakai baju, si bayi diletakkan di d**a sang ibu. Secara naluri, bayi akan bergerak mencari p******a ibu dan mulai menyusu. Walau mungkin baru bisa menjilat dan mencium p******a saja. Skin to skin juga memberikan manfaat untuk ibu, bisa memberikan ketenangan pasca melahirkan, selain itu juga bisa menghindari luka pada p******a akibat menyusui. Kedekatan ibu dan bayi, juga bisa menstimulasi lancarnya Air s**u Ibu. Selain skin to skin dengan ibu, skin to skin dengan ayah pun sama-sama memberikan manfaat. Karena itulah, Devano melakukannya. Mendengar kata papa yang Devano ucapkan, membuat Verlyn mengernyit. “Papa?” Tanpa sadar Verlyn mengucapkan kata itu. Devano terkejut. Ia membalik badan. “Ver....” “Kamu tadi bilang apa? Papa?” Devano diam, sebelum akhirnya dia menjawab, “Ya ... ayah Dafa kan nggak nada. Jadi aku rasa, nggak ada salahnya dia anggap aku papanya. Nanti setelah menikah, aku juga mau Dafa memanggil kamu mama. Kamu nggak keberatan, kan?” Mata Verlyn berkaca-kaca. Lagi-lagi ia merasa bersalah karena perasaan sentimentilnya, ia harus selalu berprasangka buruk pada Devano. Padahal, semalam baru saja ia berjanji untuk tidak lagi berpikiran macam-macam. Namun, pagi ini ia memulainya lagi. “Maaf. Lagi-lagi aku seperti anak kecil,” pinta Verlyn. “Kamu mau menggendongnya?” Verlyn mengangguk antusias. Devano pun memberikan Dafa pada Verlyn. Setelah itu, tangan Devano bergantian memeluk kekasihnya dari belakang. “Jangan gini, Dev ... malu dilihat orang.” “Kenapa harus malu. Kita nggak ngapa-ngapain, kok. Aku lagi bayangin, nanti kalau kita punya anak, kita harus menjemurnya bersama setiap pagi.” “Kan kita harus kerja.” “Oke, kalau gitu setiap akhir pekan. Pasti akan sangat menyenangkan.” “Apa kamu mau punya nak dari aku?” “Kamu ngomong apa, sih? Ya mau lah. Masa nikah nggak mau punya anak.” Devano mengecupi kepala Verlyn. Yang melihatnya, pasti akan menganggap jika mereka keluarga bahagia. *** Verlyn dan Dafa sudah diperbolehkan pulang. Di rumah, sudah disiapkan box bayi yang diletakkan di kamar Flo. Wanita itu tidak mau tidur terpisah dari sang putra. Selain box bayi, perlengkapan lain juga sudah disiapkan di kamar itu. Semuanya lengkap. Nuansa warna biru yang Flo pilih karena Dafa anak laki-laki. Verlyn sedang menidurkan Dafa di box-nya. Sementara Flo sedang merapikan barang-barang yang ia bawa dari rumah sakit, termasuk baju kotor milik Devano. “Baju kotor, ya, Flo? Sini biar aku cuci,” tawar Verlyn ketika melihat Flo sedang memisahkannya. “Nggak usah, Ver. Nanti merepotkan kamu. Lagipula, kamu juga butuh istirahat.” “Baju segitu ini. Nggak apa-apa, Flo. Tenagaku tidak akan terkuras habis.” “Biar saja. Biar aku kumpulin sampai dapat satu gilingan.” Gilingan yang Flo maksud adalah muatan untuk mesin cuci. Rasanya sayang sabun dan air jika mencuci hanya sedikit. Karena sang pemilik rumah mengatakan demikian, Verlyn tidak bisa berbuat apa-apa. “Istirahat sana, Ver. Kamu bisa tidur di kamar Kak Vano.” “Nanti saja. Aku nggak ngantuk, kok. Nggak capek juga. Justru aku seneng lihatin Dafa,” ucap Verlyn. Seulas senyum terbit di bibirnya saat memandangi bayi yang terlelap itu. Flo pun mendekat ke arah box bayinya. Dia juga tersenyum. Memang benar, seorang anak memang bisa menjadi obat segalanya. Ingat saat melahirkan, rasanya begitu sakit. Rasanya seperti kapok jika harus hamil lagi. Namun, begitu melihat wajah Dafa, ketakutan itu hilang seketika. Rasa sakitnya terbalaskan berkali-kali lipat. *** Eskonya, saat Verlyn bangun tidur dan keluar dari kamarnya, ia melihat sang ibu sudah mulai sibuk di dapur. Ia pun berjalan mendekat. Di meja dapur sudah terlihat daun katuk, juga labu siam yang sudah siap masak. “Masak apa, Bu?” tanya Verlyn. “Ini, Ibu mau buatkan sayur bening daun katuk dan labu siam buat Flo. Nanti, sebelum berangkat kerja, kamu mampir, ya. Bawa ini buat Flo. Daun katuk ini bagus untuk ibu menyusui. Biar ASI-nya lancar.” Daun katuk memiliki nutrisi lengkap yaitu mengandung vitamin A, B,C, K, betakaroten, kalsium, fosfor, zat serat, juga berfungsi sebagai antioksidan. Selain itu, daun katuk juga mengandung steroid dan polifenol yang dapat meningkatkan kadar prolaktin, yaitu hormon pelancar ASI. Karena itulah daun katuk sangat cocok untuk ibu menyusui. “Kenapa Ibu melakukannya?” “Karena Ibu merasa iba padanya. Sebagai ibu baru, dia tidak memiliki orang tua yang akan mengajarinya banyak hal. Tidak ada juga suami yang akan mendampinginya, membantunya merawat anaknya. Padahal, punya bayi itu repotnya bukan main. Kalau sampai ibu stres, itu bisa mengakibatkan banyak hal. Bisa baby blues, juga bisa mengakibatkan ASI tidak lancar.” Zaman sekarang, memang sedang marak istilah baby blues. Baby blues terjadi karena ibu baru yang merasa kaget akibat perubahan status, tanggung jawab, dan hormon pada tubuh setelah melahirkan. Pengekpresiannya bisa berupa marah, menangis, cemas, dan yang lainnya. Namun, biasanya hanya berlangsung beberapa hari. Baby blues yang tidak ditangani dengan baik bisa berkembanng menjadi depresi postpartum. Biasanya kondisi terjadi pada tahun pertama setelah melahirkan. Gejala dari depresi pospartum adalah imsomnia, tidak tertarik melakukan aktivitas apa pun, nafsu makan berubah, merasa sedih terus-menerus, merasa gelisah, cemas, dan mudah tersinggung, merasa bersalah, kesepian, dan ketakutan. Karena itulah sebelum mengalami baby blues yang bisa berlanjut menjadi depresi postpartum, sebisa mungkin ibu baru dibuat nyaman dan jangan dibuat stres. Salah satu penyebab stres pada ibu baru adalah tidak lancarnya ASI yang bisa mengakibatkan bayi rewel. Jadi, salah satu solusi agar ASI lancar yaitu mengkonsumsi sayur bening daun katuk. “Wah, kok Ibu tahu hal-hal begitu,” puji Verlyn. “Meskipun Ibu sudah tua, Ibu ini tetap upgrade wawasan. Jadi pemikiran Ibu tidak sekolot umur Ibu.” Mendengar itu Verlyn tertawa terbahak. Padahal, ibunya tidak setua itu. Namun, ia senang. Setidaknya kelak saat dia memiliki anak, ia memiliki guru yang bisa mengajari banyak hal. “Kamu mandi dulu sana. Biar nggak kesiangan.” “Ibu nggak apa-apa, nggak Verlyn bantuin?” “Nggak apa-apa. Masak begini kan cepat selesai.” “Baiklah kalau begitu.” Verlyn mendekati sang ibu, kemudian mencium pipinya. “Makasih banyak, Bu.” *** Selesai mandi, Verlyn segera merias diri. Blouse putih polos dan rok sepan selutut berwarna abu sudah menempel pas di tubuhnya. Kulitnya yang putih dan tubuh yang proporsional memang membuatnya cocok memakai apa saja. Setelah itu, sapuan makeup tipis juga ia terapkan di wajah. Wanita itu memang tidak suka riasan wajah yang terlalu tebal dan menor. Setelah hal terakhir yaitu mencepol rambut ia lakuakan, wanita yang sudah rapi itu segera keluar dari kamar untuk menikmati sarapan bersama sang ibu. “Bagaimana? Enak nggak masakan Ibu?” tanya Lusi ketika Verlyn sudah menelan masakan yang ia buat. Verlyn tidak menjawab karena mulutnya penuh dengan makanan. Namun, dua jempol yang diangkatnya sudah mewakii bahwa makanan ibunya itu sangat enak. “Ibu sudah siapkan itu untuk Flo dan Devano. Nanti jangan lupa kamu bawa, ya.” “Iya, Bu.” “Pesan Ibu, kamu harus kuat, sabar, dan ikhlas. Calon suamimu memiliki adik yang mau tidak mau, perasaan terhadapnya dan terhadapmu harus sama. Kamu tidak boleh mudah cemburu. Harus banyak-banyak stok sabar dan ikhlas agar kamu tidak merasa iri.” Verlyn menghentikan gerakannya menyuap nasi. Apa ketika di rumah sakit, ibunya tahu kalau dirinya sempat merasakan cemburu pada calon adik iparnya? “Apa begitu terihat, Bu?” tanya Verlyn. “Kalau orang lain, mungkin tidak akan menyadarinya. Tapi Ibu? Sembilan bulan kamu berada di rahim Ibu. Dua puluh delapan tahun kita hidup bersama, rasanya cukup untuk Ibu mengerti semua yang terjadi padamu, dan apa yang sedang kamu rasakan. Saat Ibu diam, jangan dikira Ibu tidak tahu apa-apa. Ibu hanya berpikir, mungkin kamu butuh waktu sendiri. Dan tidak semuanya harus kamu ceritakan pada Ibu.” Bening itu tertahan di kelopak mata Verlyn. Ia meremas tangan ibunya yang berada di meja. “Makasih, Bu. Verlyn sayang Ibu.” *** Verlyn pergi ke rumah Devano menggunakan taksi. Sesampainya di sana, ia langsung mengetuk pintu. Rumah itu memang tidak memiliki gerbang. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Di sana, terlihat Flo yang masih menggunakan piyama. Tampaknya ia baru saja bangun. “Eh, Ver....” “Flo ... aku kepagian, ya? Aku ganggu kamu pasti.” “Enggak, kok, ayo masuk.” Flo menggeser tubuhnya. Verlyn pun masuk ke rumah kekasihnya itu. “Ini, aku bawakan sayur bening daun katuk buatan Ibu. Katanya bisa memperlancar ASI.” “Wah, makasih banyak, Ver. Maaf jadi merepotkan.” “Enggak, kok. Ibu nggak merasa direpotkan. Beliau sudah menganggap kamu seperti anaknya sendiri. Jadi kamu tidak perlu sungkan.” Raut wajah Flo berubah. Menganggapnya anak sendiri? Tapi.... “Dafa udah bangun belum? Aku kangen. Aku ke kamar kamu, ya.” Belum mendapat jawaban dari Flo, Verlyn langsung berjalan menuju kamar di mana Dafa berada. Kebetulan, pintunya tidak tertutup. Wanita itu masuk. Namun, bukan box Dafa yang menjadi pusat perhatiannya. Melainkan ranjang milik Flo. Di sana ada Devano yang masih tidur terlelap. Tangannya terlihat terbuka tanpa memakai baju. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN