Verlyn dan Devano masuk ke dalam ruang bersalin. Mereka berjalan ke arah ranjang, di mana di sana ada Flo yang sedang memberi Dafa ASI. Meskipun ASI yang dikeluarkan belum banyak dan masih bening, namun Flo wajib melakukannya. Karena, dalam ASI yang dikeluarkan seorang ibu untuk pertama kali itu merupakan kolostrum. Dan kolostrum itu sangat baik untuk daya tahan tubuh bayi.
Kolostrum ini sudah mulai diproduksi sejak masa kehamilan, hingga 2-4 hari setelah melahirkan. Warna dan tekstur kolostrum ini berbeda dengan ASI, berwarna kuning keemasan dan lebih kental.
Di dalam kolostrum, terdapat sel darah putih dan zat pembentuk kekebalan tubuh atau imunoglobulin. Kedua kandungan ini sangat berperan penting dalam tubuh bayi melawan bakteri dan virus penyebab infeksi.
Selain untuk daya tahan tubuh, kolostrum juga bermanfaat untuk kesehatan pencernaan, mencegah penyakit kuning, juga mendukung tumbuh kembang optimal pada bayi. Karena itulah setiap ibu yang baru saja melahirkan, sangat dianjurkan memberi ASI pada bayi sesaat setelah lahir agar kolostrum tidak terbuang sia-sia.
Senyum terbit di bibir Flo saat melihat calon kakak iparnya masuk. “Akhirnya, Ver ... dia udah bisa aku gendong,” ucap Flo penuh kebahagiaan.
Verlyn pun ikut merasakannya. Rasa sentimentil yang tadi ia rasakan, hilang entah ke mana. Ia ulurkan tangan, lalu membelai pipi bayi merah yang baru berusia beberapa menit itu.
“Ganteng banget kamu, Sayang,” pujinya, “pasti mirip papa kamu.”
Mendengar itu, seketika semuanya diam. Verlyn merasa telah salah bicara.
“Ehm, maaf. Maksudku....”
Belum selesai melanjutkan ucapannya, Flo memotong ucapan Verlyn. “Nanti, setelah kalian menikah, kalian juga jangan menunda kehamilan, ya.”
Verlyn yang sebenarnya masih merasa tidak enak pun, akhirnya mencoba melupakan perasaan itu.
“Pasti, dong ... yang banyak kalau bisa. Iya, nggak, Sayang?” Verlyn menjawab dan meminta persetujuan dari Devano. Namun, sepertinya pria itu sedang tidak fokus. Karena pria itu menjawab dengan tergagap, itu pun setelah dikode oleh Flo.
“Hah ... oh, iya, Sayang. Iya.”
Verlyn cukup kesal sebenarnya, tetapi ia mencoba untuk tidak merusak suasana. Wanita itu kembali memperhatikan Dafa yang masih saja menyedot ASI dan sepertinya tidak cukup mengenyangkan. Ia merasa geli melihat bayi itu yang terlihat gemas. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sang kekasih. Devano juga sedang memandangi sang keponakan. Ada senyum yang memperlihatkan sebuah kebahagiaan.
Lagi, perasaan sentimentil dalam diri Verlyn datang lagi. Sekuat tenaga ia menahan diri agar tidak menunjukkannya di depan kedua orang di hadapannya. Dan ia berhasil melakukannya.
***
Flo sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Begitupun dengan Dafa. Kebetulan, rumah sakit yang mereka tempati, tidak memberlakukan ibu dan bayi harus terpisah. Verlyn mengabari sang ibu. Beberapa saat kemudian, Lusi sudah sampai di rumah sakit.
Wanita itu masuk ke ruanga perawatan Flo. Fo tersenyum menyambut kedatangan calon mertua kakaknya.
“Ibu...,” sapa Flo. Kemudian mencium tangan ibu dari Verlyn itu.
“Selamat, ya ... akhirnya udah lega karena dedenya udah di luar. Udah nggak kepikiran mau keluar jam berapa, dan udah nggak perlu was-was.”
“Iya, Bu. Kebetulan, normal juga. Nggak harus sampai operasi.” Flo mengakhiri kalimat yang diucapkannya dengan senyum penuh syukur. Ya, benar-benar sebuah perjuangan. Hidup dan mati. Demi nyawa seorang darah daging, ia telah berjuang keras.
“Apa ayah dari bayi kamu nggak ke sini? Atau nggak kamu kasih kabar?” tanya Lusi. Jujur saja, dalam hatinya, ada sebuah ketakutan.
“Ehm, itu....” Flo bingung harus menjawab apa.
“Itu, Bu. Kami nggak bisa menghubunginya.” Pada akhirnya, Devano yang menjawab.
“Ooh ... tapi suatu saat, kamu kasih tahu, kan? Nggak baik lho, memutus tali silahturahmi antara anak dan ayah.”
“Iya, Bu. Pasti kami kasih tahu.”
Pembahasan tentang ayah Dafa, memang selalu memberikan kecanggungan. Entah siapa pria itu. Pria seperti apa yang sudah menghamili Flo. Karena sebagai orang terdekat pun, Verlyn tidak tahu tentang pria itu.
Cukup lama ibu Verlyn menjenguk Flo. Ia juga sempat menggendong Dafa. Rasanya, sudah ingin menggendong cucu kandung sendiri. Ia berharap, setelah menikah, Verlyn segera memiliki anak. Ya, kalaupun sang putri harus tetap bekerja, ia rela jika harus menjaganya cucunya.
Verlyn dan Devano meminta izin untuk ke kantin. Sejak menemani sang adik di ruang bersalin, Devano memang belum minum atau makan apa pun. Mereka duduk di kursi kantin.
Sambil menunggu pesanan, Devano memperhatikan wajah sang kekasih yang terlihat berbeda. Diremasnya tangan Verlyn yang ada di meja.
“Kamu kenapa?” tanya Devano.
Verlyn balas menatap kekasihnya. Entahlah, ia seperti merasa kalau pria di depannya itu kini penuh misteri.
“Kamu yang kenapa?”
“Aku?” Devano menunjuk mukanya dengan telunjuknya.
“Ya. Kenapa kalian menutupi siapa ayah Dafa dariku? Apa kamu nggak menganggap aku keluarga?” Mata Verlyn memancarkan kekcewaan. Begitu juga dengan suaranya.
“Apa itu penting buat kamu?”
“Apa itu nggak penting buat kamu?”
“Ya ... maksudku, kalaupun kamu tahu, kamu juga nggak akan bisa bantu apa-apa. Jadi, buat apa juga kamu tahu.”
Verlyn menatap Devano tak percaya. Ia melepas paksa tangan pria itu dari tangannya.
“Begitu? Jadi, aku nggak bisa bantu apa pun buat keluarga kamu?!” Suara Verlyn memang pelan, namun sangat kentara kalau dia sangat kecewa, merasa pria yang dicintainya selama ini ternyata tidak menganggapnya sebagai keluarga.
“Bukan begitu. Dalam kasus ini, yang bisa kita lakukan hanya membantu Flo merawat Dafa. Itu aja. Aku juga nggak mau, dia semakin terluka saat mengingat ayah kandung Dafa, pria yang nggak bertanggung jawab. Jadi, untuk apa bahas dia lagi.”
“Setidaknya, aku tahu siapa pria itu, Dev. Toh, nggak harus di depan Flo kamu mengatakannya.”
“Udahlah, Ver. Lebih baik kita fokus sama urusan kita. Nggak perlu juga kita ngurusin urusan orang lain!”
Sebenarnya, ingin rasanya Verlyn mendebat Devano. Tapi untuk apa? Karena sudah pasti itu akan sia-sia.
***
Mereka sudah kembali ke ruang perawatan Flo. Ibu Verlyn sudah pulang. Melihat Dafa yang sedang tidak tertidur, membuat Verlyn ingin menggendongnya. Naluri keibuannya keluar. Saat bayi itu sudah berada dalam dekapannya, wanita itu menciuminya, membelai pipinya.
“Halo, Sayang ... ini Tante Verlyn.”
Di sudut lain kamar, Flo sedang berada di kamar mandi untuk mengganti pembalutnya. Tiba-tiba saja terdengar ia memanggil sang kakak. Devano pun masuk ke dalam kamar mandi. Tentu saja, hal itu membuat Verlyn merasa cemburu. Oke, mereka kakak-beradik. Tetapi, haruskah berada dalam kamar mandi yang sama? Memangnya apa yang harus Devano lakukan untuk untuk adiknya?
Verlyn mencoba berpikir posititf. Ia tidak ingin setan menguasainya.
“Gimana, Kak? Apa ada jahitan yang lepas?” Verlyn mendengar sayup-sayup suara Flo bertanya demikian.
Jahitan? Jahitan apa?
“Nggak ada.”
“Tapi, kok, sakit, ya. Nyeri.”
“Mungkin memang seperti itu. Nanti, deh, konsultasikan ke dokter.”
Beberapa saat kemudian. Devano dan Flo keluar dari kamar mandi. Verlyn yang melihatnya, mulutnya gatal ingin bertanya.
“Apa yang terjadi? Tidak ada hal buruk, kan?”
“Oh ... enggak, kok, Ver. Ini, bekas lahiran aku kayak nyeri banget gitu. Aku minta tolong Kak Vano buat liatin, siapa tahu ada yang nggak beres. Soalnya, kan, aku nggak bisa liat sendiri.”
“Jalan lahir?” Siapa yang tidak terkejut. Meskipun saudara kandung, apa wajar ketika sudah dewasa melihat alat kelamin adiknya yang juga sudah dewasa?
Flo merasa sudah salah ucap. “Ehm, gini, Ver ... kalau harus nanya ke dokter langsung, malu akunya.”
“Oh....” Untuk kesekian kalinya, Verlyn merasa keanehan di hari yang sama.
“Udah, Ver ... jangan dibesar-besarkan. Kami udah dari dulu cuma hidup berdua. Jadi beginilah kami. Jangan berpikiran yang enggak-enggak. Kamu pikir, ketika Flo sakit, siapa yang menyeka tubuhnya? Juga mencebokinya? Buatku, itu hal yang biasa.”
Verlyn membeku di tempatnya. Bertahun-tahun menjadi kekasih Devano, ia baru tahu kalau kekasih dan calon adik iparnya itu bisa seintim itu. Mau tidak mau, ia harus mulai membiasakan diri dari sekarang.
Flo mencoba menghilangkan kecanggungan. Ia tidak mau, calon kakak iparnya salah sangka dan bisa berakibat buruk pada rencana pernikahan Verlyn dan Devano lagi. Saat Dafa sedang digendong Devano, Flo memanfaatkan kesempatan untuk mencairkan suasana kembali antara dirinya dan Verlyn.
“Maaf, aku belum bisa mengubah kebiasaanku, ya, Ver. Aku janji, mulai sekarang, aku akan menjaga jarak dari Kak Vano,” ujar Flo, ia sangat merasa bersalah.
Mendengar Flo berkata begitu, membuat Verlyn juga ikut merasa bersalah. Merasa kalau dirinya sudah berlebihan merespons kekasih dan calon iparnya. Ia pun akhirnya ikut meminta maaf.
“Aku juga minta maaf, Flo. Sikapku sudah berlebihan, ya?”
“Enggak ... wajar kok kalau kamu begitu. Yang namanya orang yang manikah, bukankah katanya banyak cobannya?”
Verlyn tersenyum. “Semoga aku selalu dijaga dalam berpikir, ya ... biar setan nggak terus ngebisikin aku buat berpikiran jahat.”
Flo tertawa. Keduanya kembali mencair. Verlyn merasa, kalau dia memang sudah berlebihan. Ia berjanji pada dirinya sendiri kalau dia akan berusaha untuk menahan rasa cemburunya. Lebih tepatnya, cemburu buta. Ya, cemburu pada adik iparnya, bukankah itu sangat berlebihan dan tidak masuk akal?
Mungkin memang benar kata orang. Semakin dekat pernikahan, cobaannya semakin banyak. Dan hanya butuh kesabaran agar hubungan yang sudah dijalin lama dan serius tidak berakhir di tengah jalan. Verlyn akan menambah kesabarannya. Ia tidak mau, hubungannya dengan Devano berakhir sia-sia.
Malamnya, Verlyn memutuskan untuk menginap di rumah sakit. Siapa tahu saja, Flo membutuhkan dirinya. Saat Flo dan Dafa sudah tertidur, ia dan Devano mengobrol di sofa. Verlyn menyenderkan kepala di bahu Devano. Tangan mereka saling terpaut.
“Maafkan sikapku seharian ini.” Verlyn meminta maaf lebih dulu. Begitulah semestinya dalam suatu hubungan, jangan gengsi meminta maaf. “Aku sudah cemburu padamu. Cemburu yang tidak pada tempatnya.”
Devano membawa tangan Verlyn ke depan bibirnya, diciumnya. “Aku juga minta maaf. Tapi, aku juga sangat senang kalau kamu cemburu padaku. Berarti kamu sangat mencintaiku.”
“Apa kamu masih meragukannya?” Verlyn mendongakkan kepala. Wajahnya begitu dekat dengan wajah pria yang saat ini juga sedang memandangnya.
Tidak menjawab, Devano mendorong leher bagian belakang Verlyn agar mendekat. Bibir mereka bertemu. Suara kecupan di malam yang sunyi itu mengusik telinga si ibu baru yang tadi sedang tertidur. Ia mengubah posisi untuk miring, membelakangi sejoli yang masih asyik berciuman. Senyum terbit di bibir Flo. Namun, segerombolan air mata juga memaksa untuk meruntuhkan pertahanannya.
“Seandainya saja ayah Dafa...,” ucapnya dalam hati.
Bersambung