“Tidak ada yang namanya keikhlasan, hanya terpaksa karena keadaan.”
_ Ana Khairunnisa_
Aku masih datang bulan, sakit ini masih menyiksa. Meskipun tidak separah hari pertama dan kedua, hari kelima haid memberikan sensasi cukup menggelitik di bawah pusar, memberikan tekanan yang membuat perasaan mual dan ingin muntah. Perut juga terasa lebih buncit dari sebelumnya, serta terasa kembung dan sulit sekali untuk makan. Aku sudah seperti orang hamil. Keadaan ini diperparah dengan nafsu makan yang meningkat, tetapi perut tak mau menerima apa yang diinginkan hati. Rasanya, aku ingin membeli ini-itu, tetapi semua tak termakan, hanya ingin, bukan mengkonsumsinya. Benar-benar membuat frustrasi.
Fuad masih senantiasa menghubungiku meskipun kami tak bisa bertemu dan memadu kasih dalam rayu dan cumbu. Rasanya, dia satu-satunya pelipur lara di kala aku benar-benar dalam keadaan down begini. Dia perhatian dan sangat menggaumkan. Benar dugaanku kalau dia adalah lelaki yang akan selalu menemaniku melewati banyak hal dalam hidup ini. Namun, aku sama sekali tak bercerita mengenai hasil pemeriksaanku kemarin. Bukannya tak percaya, tetapi aku merasa, bukan saatnya untuk memberikannya kabar yang bisa dikatakan kabar buruk untuk seorang lelaki, terutama yang akan, sedang atau sudah berstatus suami. Aku percaya, meskipun dia sudah memiliki anak dair istri pertamanya, dia masih akan mengharapkan keturunan dariku. Sayangnya, aku tak bisa mewujudkannya, kecuali ada keajaiban dari Tuhan untuk seorang pendosa sepertiku. Ah, tidak. Aku tak bermaksud menyebutku yang seorang pacar dari suami orang ini adalah pendosa karena melakukan itu. Bagiku, cintaku pada Fuad bukanlah sebuah kesalahan, tetapi takdir. Jika tidak, aku tak mungkin mencintainya sampai seperti ini. Setiap manusia adalah pendosa, hanya berbeda jenis dosanya saja. Aku mengakui kalau sebagai manusia biasa, aku banyak melakukan dosa. Lagipula, aku tak merasa cukup suci untuk tidak menjadi pendosa. Aku tak semunafik itu sebagai manusia. No way.
Selama dua tiga hari, aku hanya rebahan di kamar kosan. Aku sakit dan meminta izin untuk tidak masuk. Beruntung karena perusahaan kecil di mana aku bekerja, memberikan dispensasi bagi pegawainya maksimal 3 hari, untuk yang sakit dan memberikan surat keterangan dokter. Saat haid, aku biasa mengkonsumsi obat pereda nyeri selama ini, memberikan dampak yang cukup membuatku sanggup bertahan sampai jam pulang kerja, meskipun harus bolak-balik kamar mandi untuk mengganti pembalut dan celana dalam, kadang, kalau sudah sangat deras aliran darah yang keluar, sudah mirip banjir skala sedang menurutku. Akan tetapi, untuk kali ini, aku benar-benar tak bisa menahannya. Sakitnya sudah bukan main. Aku tak hanya mengalam PCOS, tetapi juga beberapa hal lain, sejenis kista dan endometrium ( penebalan dinding rahim ), yang sudah tak wajar. Sebab, memberikan dampak luar biasa untuk rahimku, sekaligus, menghalangi jalan sel s****a untuk bertemu dengan jodohnya. Biasanya, penyakit ini, bisa diselesaikan dengan operasi jika tempatnya bukan di tuba fulopi ataupun dengan inseminasi buatan sejenis program, bayi tabung, tetapi untuk kasusku, dokter bilang, itu tidak mungkin. Seumur hidup, seorang Anna Khairunnisa, akan menjadi wanita mandul, yang tak akan pernah memberikan keturunan untuk siapapun. Ini sungguh menyedihkan, tetapi menjad istri kedua Fuad, akan menyelesaikan segalanya. Aku akan memiliki suami dan anak yang aku impikan, tanpa harus bersusah payah. Meskipun keluarga kami, juga harus ditambahkan dengan Inayah, istri pertama Fuad. Akan lebih baik jika dia tidak ada, tetapi aku butuh anaknya. Jadi, wanita itu, mau tidak mau, aku harus membiarkannya tetap memainkan perannya sebagai istri pertama. Sedangkan aku akan tetap di posisiku, sebagai istri kedua. Walau begitu, di hati Fuad, aku tetap akan menjadi yang nomer satu. Sebab, Fuad hanya mencintaiku, bukan Ina lagi. Perempuan itu, tak ada artinya bagi Fuad. Mereka bersama demi anak mereka. Itu yang Fuad katakan dan aku memercayainya. Dia tak akan pernah membohongiku lagi. Tidak akan!
“Ada apa, An? Wajahmu terlihat pucat? Perutmu masih sakit?” Ayu bertanya. Kami sedang makan siang bersama, meskipun dua-tiga sendok, aku sudah merasa sangat kenyang. Perutku seperti akan meledak jika aku makan beberapa sendok lagi. Entah karena makanannya tidak sesuai selera atau perutku saja yang malas mencerna, aku sama sekali tidak mengerti situasi dari tubuhku sendiri saat ini. Menyebalkan sekali jika terus begini.
“Tidak apa, perutku hanya mual dan ingin muntah,” jawabku sembari tersenyum tipis, “Terima kasih sudah khawatir.” Ayu memang teman kantorku, tetapi lebih dari itu, dia sudah seperti teman dekat. Meskipun aku tak pernah banyak bercerita padanya, mengenai banyak hal, rahasia dan lainnya. Sebab, jauh di dalam hatiku, kerasnya hidup yang selama ini aku jelani mengajarku kalau kita tak bisa mempercayai siapapun di dunia. Tidak ada. Seseorang yang mengaku keluarga saja, mengkhianati, apalagi orang lain yang tak ada hubungan darah? Itu sebabnya, aku tak akan peduli apapun yang orang lain katakan. Sebab, mereka cenderung menghamiki, bukan memahami atau berusaha untuk peduli. Menunggu dimengerti manusia, hanyalah angan yang tak akan pernah sampai. Aku tak akan menghabiskan hidupku untuk berharap akan sesuatu yang tidak pasti. Hal itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga saja. Sia-sia, tak ada gunanya.
“Aku bukannya mau mencampuri urusanmu, tapi kamu yakin baik-baik saja? Kamu selalu seperti ini setiap kali datang bulan. Apa tidak sebaiknya kamu memeriksakan diri ke dokter? Jika kamu tidak mau diantar olehku, kamu bisa memeriksakan diri dengan pacarmu. Bagaimanapun, kamu dan dia, akan menikah kan?” Ayu memberikan saran. Aku tahu kalau dia adalah teman yang baik. Akan tetapi, tanpa perlu dikatakan pun, aku yang paling memahami kondisiku. Aku baik-baik saja, untuk saat ini. Obat dari dokter memberikanku kemampuan untuk bertahan, sekalipun, aku merasa dunia akan kiamat dan tubuhku akan terpecah menjadi kepingan, terutama di bagian pinggang, nyerinya sampai seolah aku akan terbelah menjadi dua bagian, seperti halnya cacing yang dibelah secara simetris.
“Aku sudah memeriksakan diri di dokter, kok, Yu,” sahutku membuat Ayu sedikit terkejut, sekaligus merasa lega.
“Benarkah? Lantas, bagaimana hasilnya? Kamu tidak apa-apa, kan?” Pertanyaan dan kekhawatiran yang berlebihan. Aku sama sekali tidak butuh empati seperti itu. Dia pasti hanya akan memintaku untuk sabar jika tahu mengenai masalahku, atau dia mungkin hanya akan berekspresi sedih dan berpura-pura berbelasungkawa untuk beberapa saat. Aku tidak butuh ucapan berduka cita darinya atau rasa kasihan yang akan terlupakan dalam seperkian detik setelah dia mengatakannya, seolah tak pernah terjadi apapun padaku. Aku tidak butuh simpati basi seperti itu! Aku bisa terus berjalan tanpa perlu dipandang rendah atau diremehkan oleh manusia yang derajatnya, tak lebih tinggi ataupun rendah dariku. Aku tidak mau dikasihani oleh siapapun. Sebab, aku pantas untuk diperhitungkan dalam hidup ini. Aku cantik, mandiri dan pandai memasak. Aku adalah idaman setiap lelaki. Tidak bisa menghasilkan anak, bukan serta-merta membuatku menjadi rendah atau tidak sempurna. Aku masih wanita, tulen, bukan kw atau hasil operasi kelamin. Harga diriku tinggi sebagai wanita murni. Setidaknya, orang lain harus paham itu. Aku tidak rendah, murah atau sebagainya. Bagaimanapun diriku, aku menganggap diriku luar biasa.
“Aku tidak apa-apa,” jawabku berbohong. “Ini wajar, karena dinding rahimku tebal dan belum menikah saja,” terangku. “Dokter bilang, aku akan baik-baik saja setelah menikah.”
Ayu menaik-turunkan kepalanya mengerti. Senyumannya terbit, seolah ada rasa lega setelah mendengar jawaban dariku. Entah, apakah dia tulus atau berpura-pura. Yang jelas, apapun itu, aku tidak peduli. Meskipun cukup senang rasanya, ada seseorang yang mau bertanya. Meskipun tak semua hal harus dijawab, terutama untuk hal-hal yang privasi.
“Syukurlah, An. Aku senang mendengarnya,” katanya dengan senyuman terkembag. “Oh ya, Fuad gimana? Kalian sudah lama nggak ketemu pasti ya, kamu bilang, dia dinas di luar kan?”
Aku mengangguk, “Iya, tapi kami akan bertemu besok. Dia juga berjanji akan mengantar-jemputku besok.” Aku tersenyum bangga membuat Ayu bersorak, ikut senang atau mungkin iri karena pacarnya tak seromantis pacar yang aku miliki. Meskipun pacarnya lajang, sedangkan punyaku suami orang. Meski begitu, aku tak menyesal mencintai Fuad. Bagiku, menjadi yang pertama saat ada wanita lain di hidupnya, jauh lebih membuatku istimewa.
Keparaat? Oh, tidak. Aku tak seperti itu. u*****n seperti itu tidak layak untukku. Sebab, sejak awal, aku tak pernah tahu kalau Fuad sudah beristri. Bahkan, sudah memiliki anak. Di mataku, dia adalah lelaki lajang yang berusaha mendapatkan hatiku. Aku hanya sedang dipermainkan keadaan saja saat tahu kalau dia sudah menjadi jodoh orang. Lagipula, kami akan segera menikah. Lelaki boleh menikah satu, dua sampai empat istri. Menjadi nomer satu atau dua, tidak masalah. Itu hanya urutan pernikahan, bukan urutan di hati sang pujangga. Bagaimanapun, Fuad, lebih mencintaiku disbanding istrinya. Jika tidak, tidak mungkin, dia merasa puas dengan pelayananku selama ini, memujiku setinggi langit bahkan mengajakku menikah. Semua itu adalah bukti kalau dia lebih menganggapku istimewa dibandingkan istri pertamanya yang sama sekali tak pantas untuk dibandingkan denganku. Aku jauh lebih modis, cantik dan memuaskan disbanding perempuan itu. Bahkan, dia tak bisa berdandan. Sedangkan aku, sangat ahli dalam melakukannya.
Selama menjalin hubungan dengan Fuad, Fuad selalu mengatakan kalau dia tak pernah sepuas itu, dalam urusan perut ataupun ranjang. Jadi, bisa disimpulkan kalau istrinya sangat ketinggalan zaman, baik dalam make up ataupun urusan ranjang. Dia mungkin hanya wanita kampung yang lurus-lurus saja dalam hidupnya. Banyak yang bilang, natural lebih baik, tetapi bagi lelaki tidak. Mereka hanya melihat fisik, visual dan talenta. Bagaimanapun, lelaki memiliki satu nafsu yang harus terpuaskan dengan segala cara. Jadi, aku merasa, Inayah, istri Fuad, tak bisa memenuhi semua itu. Akan tetapi, dia tak perlu khawatir. Semua ketidakpuasan Fuad akan aku berikan. Dia akan mendapatkan apa yang tidak didapat dari Ina, sedangkan dariku, dia sudah mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan ; anak. Itu saja. Tak ada yang lain. Inayah hanya pelengkap saja dalam rumah tanggaku dan Fuad nanti. Untuk itu, aku mungkin, perlu melakukan pengorbanan sedikit untuk masuk ke dalam hidup mereka sedikit demi sedikit, lalu menjadi Nyonya besar. Haha. Rencana yang sempurna.
“An, kamu sedang apa? Kok, ketawa sendiri?” Ayu mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku, membuatku tersadar dari lingkaran pikiranku.
“Ah, maaf. Aku hanya bengong sebentar,” kataku sembari cengengesan.
“Bengong ngebayangin apa?”
“Pernikahanku sama Fuad,” jawabku malu-malu. Itu bukan kehobongan, tetapi kebenaran. Bedanya, di rumah tangga kami nanti, aka nada satu imam, dua makmum. Itu saja. Bukankah berdua selalu lebih baik daripada sendiri? Aku bisa menjadi teman Ina, itu pun kalau dia bersedia. Kalau tidak, aku akan memaksanya dengan segala cara.
“Ciyee yang bentar lagi nikah. Aku diundang ya,” katanya.
Aku hanya tersenyum, tak mau berjanji. Bagaimanapun, aku butuh waktu untuk memikirkan segalanya, meskipun rencana pernikahan ini sudah jauh-jauh hari dipersiapkan. Keadaan sudah sedikit berubah. Aku tak mau gegabah dengan mengundang orang yang tak berkepentingan dan berpotensi merusak hari bahagiaku. Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi. Tidak akan pernah.
Inayah, dia bukan musuh. Aku berpikir demikian. Namun, dia pasti akan menganggapku sebagai musuh atau hama yang harus dibinasakan. Bagaimanapun, tak akan ada wanita yang mau dimadu. Kalaupun ada, sangat jarang sekali. Aku berharap, Inayah adalah salah satunya. Sesuai namanya, aku berharap dia adalah perempuan yang perhatian dan memahami situasiku. Aku membutuhkan izinnya, setidaknya, agar aku bisa masuk ke dalam keluarga mereka. Aku ingin anaknya, suka atau tidak. Dia harus ikhlas untuk menerimaku sebagai istri kedua suaminya sekaligus ibu tiri bagi anak lelakinya. Harus! Keikhlasan adalah keterpaksaan karena keadaan. Jadi, seharusnya, jika dia tahu keadaannya, dia akan berhenti melawan dan menerimaku. Bagaimanapun, dia tak akan menang melawanku. Aku juga tak mau menyakitinya lebih dari ini. Sebab, aku, meskipun seperti ini, memiliki sikap belas kasih. Aku istimewa, Fuad tahu itu, sehingga Inayah juga harus menyadari itu agar kami bertiga bisa tetap bahagia di posisi masing-masing tanpa perlu adanya pertumpahan darah, perasaan dan emosi di antara kami. Damai itu indah, benar kan?