Lima

1532 Kata
“Lebih baik saling berbagi daripada saling menyakiti.” - Ana -             Rasa sakit di perutku semakin menjadi. Tadi malam, aku sampai muntah sebanyak dua kali. Diperburuk dengan tamu bulanan yang datang tanpa diduga. Menyebalkan. pagi-pagi, aku sampai harus merangkak untuk membuat air panas dengan heater. Setelahnya menuangkannya dengan susah payah ke botol kaca, membalutnya dengan handuk kecil lalu meletakkan di perutku untuk mengurangi remasan dan rasa sakit yang terus meningkat.             Aku memiliki jadwal bulanan yang tidak teratur, terkadang bisa dua atau tiga bulan sekali. Sudah begini sejak remaja. Pertama aku datang bulan saat berusia 11 tahun. Pada awalnya, aku was-was karena jadwal menstruasi yang tidak teratur, khawatir hamil padahal belum pernah berhubungan badan. Namun, setelah beberapa kali mengalami keterlambatan, aku menyadari kalau ini adalah hal yang biasa—setidaknya untukku—sehingga tidak perlu khawatir. Lagipula, mustahil aku hamil tanpa melakukan hubungan intim. Walaupun tidak memiliki pendidikan yang tinggi, aku mengerti kalau untuk hamil harus terjadi pembuahan lebih dulu.             Siang hari, aku tidak bisa lagi menahan rasa sakit di perutku. Ini berbeda dengan biasanya. Jadi, aku memutuskan untuk meminta bantuan Ayu, rekan kantorku, untuk mengantarku ke klinik. Kebetulan, dia menelpon tadi, menanyakan mengapa aku tidak datang bekerja. Aku mengatakan padanya kalau aku sakit dan dia bersedia datang untuk menemaniku memeriksakan diri ke rumah sakit.             Sore hari, sekitar pukul setengah enam, Ayu datang ke kos. Dengan susah payah aku membukakan pintu. Temanku itu segera membantuku berjalan. Sialnya, di depan gerbang, aku bertemu dengan seseorang yang tidak ingin aku temui, si ratu gosip.             “Kenapa, An? Hamil?” Candaan Fara sama sekali tidak lucu.             Aku tidak ada waktu untuk berdebat dengannya. Jadi aku memilih mengabaikannya. Ayu pun demikian. Setelahnya, dia membawaku memeriksakan diri. Kami pergi dengan online car. Sedangkan sepeda motor Ayu diparkirkan di kos. Dia khawatir aku tidak akan kuat kalau naik sepeda motor.             Kami sampai di rumah sakit. Ayu pun segera mendaftarku ke bagian dokter kandungan. Aku tidak hamil—sedang datang bulan—tetapi menurutnya, aku harus memeriksakan diri ke sana karena berkaitan dengan perut dan Rahim. Lagipula, aku akan segera menikah, jadi tidak ada salahnya untuk memeriksakan kesehatan organ reproduksiku. Bagaimanapun, aku juga ingin memiliki keturunan dengan Fuad. Aku tidak boleh kalah dengan perempuan yang menjadi istri pertamanya sekarang. Tidak boleh.             Setelah menunggu cukup lama, giliranku tiba. Ayu dengan setia menungguiku. Walau dia tidak ikut masuk, aku berterima kasih dia bersedia datang dan membantuku.             Dokter kandungan yang aku temui ternyata lelaki. Usianya cukup muda dibanding perkiraanku, empat puluh tahunan mungkin. Dengan senyuman ramah, dia menanyai permasalahku. Jadi, aku mengatakan segala yang aku keluhkan padaku. Dia menanyaiku tentang jadwal menstruasiku, rasa sakitnya bagaimana, obat apa yang aku minum, gaya hidupku dan lain sebagainya. Setelah itu, dokter tersebut menyaranku untuk melakukan pemeriksaan fisik lebih dulu.             Dokter Arman—dokter kandungan yang memeriksaku—mencatat mengenai berat/tinggi badan, tekanan darah, indeks massa tubuh, juga memeriksa p******a, perut dan kelenjar tiroid. Setelahnya, dia melakukan pemeriksaan pada organ reproduksiku. Ini cukup memalukan, tetapi harus professional. Aku ingin tahu alasan sakit di perutku, bukan saatnya untuk merasa malu atau sungkan.             Setelah pemeriksaan yang cukup melelahkan, dokter Arman memintaku untuk melakukan tes darah dan ultrasound. Dia memintaku untuk kembali besok untuk mendapatkan hasilnya. Untuk sementara dia meresepkan obat anti nyeri untukku jika rasa sakit diperutku kembali dan kompres hangat tidak sanggup meredakannya. Setelahnya, aku pulang dengan tetap ditemani Ayu.             Sekitar tengah malam, aku terbangun ketika ponselku berdering, ada telpon masuk. Fuad menelponku, menanyakan kabarku. Aku mengatakan padanya kalau aku sakit dan harus pergi ke rumah sakit besok. Aku tidak mengatakan padanya tentang pemeriksaan yang tadi aku jalani. Bagaimanapun, aku tidak mau membuatnya khawatir, lagipula hasilnya belum keluar.             Fuad menanyakan bagaimana rencana kami lusa dan terpaksa aku membatalkannya. Lelaki yang aku cintai tersebut terdengar cukup kecewa, tetapi berusaha untuk mengerti. Dia juga tidak bisa datang menjenguk karena harus lembur, ada kerjaan yang tidak bisa ditinggal. Aku mengatakan padanya untuk tidak khawatir. Dia pun menyudahi telpon setelah kami mengobrol hampir setengah jam, jadwal waktu terpendek untuk telponan kami dibanding sebelum-sebelumnya.             Besoknya, aku kembali ke rumah sakit, kali ini sendiri karena Ayu harus bekerja. Sedangkan aku sudah meminta izin untuk tidak masuk kerja, sakit. Obat Pereda nyeri yang diresepkan dokter Arman bekerja dengan baik. Aku tidak terlalu kesakitan setiap mengkonsumsinya, meskipun kembali sakit setelah efek obatnya habis.             “Bagaimana perasaanmu hari ini? Apa sakitnya membaik?” tanya dokter Arman ramah.             Aku hanya tersenyum kecil, rasa deg-degan di hatiku ini tidak mudah untuk dihentikan. Bahkan, kaki dan tanganku sudah terasa dingin. Aku gugup dan sangat cemas denan hasilnya.             “Anda terkena polycystic over syndrome,” terang dokter Arman membuat dahiku berkerut. Itu istilah yang asing untukku.“Istilah gampangnya, PCOS atau sindrom polikistik ovarium.”             Aku tidak menjawab apapun, tidak tahu bagaimana harus merespons.             “PCOS memiliki beberapa gejala umum, seperti masa ovulasi yang tidak beraturan ( menstruasi tidak teratur), tingginya kadar endrogen dalam tubuh dan adanya kista pada ovarium. Dalam kasus anda, untuk memastikan posisi kista yang anda miliki kita harus melakukan pemeriksaan USG transvaginal dan HSG untuk memastikan, apakah anda bisa hamil secara alami atau tidak.”             Otakku memahami kalimat terakhir dokter Arman, “Maksud dokter, saya mandul?”             Dokter Arman menggeleng, “Bukan begitu, pasien PCOS sulit hamil. Kita harus melakukan LOD ( Laparosopic Ovarium Drilling ) atau pembedahan kecil untuk mengangkat kista jika sudah menyebar dan menyebabkan sumbatan, juga terapi hormon sebelum akhirnya anda bisa memiliki harapan untuk hamil. Sebelum melakukannya, seperti yang sudah saya katakana, kita perlu melakukan USG transvaginal dan HSG untuk pemeriksaan lanjutan.”             Aku terdiam. Ini sangat tidak masuk akal. Namun, aku tidak mau menyerah dengan keadaan. Tuhan sudah sering mempermainkanku. Ini tidak akan menghalangiku untuk bahagia. Tidak akan. Tidak akan aku biarkan itu terjadi.             “Bisakah kita melakukan dua pemeriksaan itu sekarang, Dokter?” tanyaku yang dibalas anggukan oleh dokter Arman. Dia pun memanggil perawat untuk membantuku melakukan dua pemeriksaan tersebut.             Sialan. Pemeriksaan yang menyakitkan. v****a dan perutku terasa sakit dan tidak nyaman. Beruntung, hasilnya tidak perlu setengah hari untuk keluar. Aku bisa segera berkonsultasi kembali setelah hasilnya diketahui.             Kabar buruk. Dokter Arman mengatakan, indung telurku hanya satu dan kecil. Apa-apaan itu? Uterus dan tuba filopiku sudah tersumbat dan masih ada embel-embel begitu. Dengan kata lain, selain program bayi tabung, melakukan perawatan apapun, aku akan tetap sulit hamil. Menggelikan. Air mata ini pun berjatuhan. Kenyataan selalu pahit, seolah dunia tidak pernah membiarkanku untuk bahagia.             Selesai melakukan pemeriksaan aku kembali ke kos. Fuad menelponku segera setelah aku mengabarinya, menanyakan keadaan dan hasil pemeriksaan. Aku berbohong dengan mengatakan padanya kalau aku baik-baik saja. Dia pun bersyukur untuk itu.             “Yang, istrimu, siapa namanya?” Aku memberanikan diri untuk bertanya.             “Kenapa? Kamu melakukan sesuatu lagi? Jangan nekad, An.” Fuad sepertinya khawatir aku akan melabrak istrinya atau semacamnya.             “Aku hanya ingin tahu. Lagipula, aku akan segera menjadi istri keduamu,” terangku.             Fuad mendesah pelan, ragu untuk mengatakannya.             “Aku hanya ingin tahu namanya, itu saja.” Aku meyakinkannya.             “Ina,” jawabnya.             “Hanya itu?”             “Inayah,” jawabnya membuatku tertawa. Nama kampungan. ”Ada apa?” tanya Fuad heran. “Tidak apa-apa. Maaf, aku sedang menonton televisi, suaranya aku kecilkan, tetapi adegannya menggelikan sehingga aku tertawa.” Aku berbohong. “Baiklah,” katanya lalu kami mengobrol hal lain sebelum pembicaraan kami disudahi. Selesai berbincang dengan Fuad, aku membuka laptopku, membuka instagramku dan mencari akun Fuad. Di list pertemanannya, aku mencari nama Inayah dan ketemu. Mengejutkan, perempuan itu tidak kampungan seperti dugaanku. Postur tubuhnya pendek dengan badan cukup berisi, tetapi tidak gemuk. Kulit wajahnya bersih, tidak berjerawat sepertiku, demikian pula dengan kulit tangannya. Senyumnya cerah, terutama saat berfoto dengan suami dan anaknya. Dia memang tidak semodis diriku, riasan wajahnya juga hampir tidak ada, seolah dia bukan tipe perempuan yang suka berdandan. Meski begitu, dia masih terlihat cukup manis. Menyebalkan.             Aku termenung sejenak, memperhatikan anak lelaki yang digendongnya. Usianya mungkin sekitar tiga tahunan, sangat imut dengan mata lebar, hidung mancung dan kulit cerah, persis seperti ayahnya. Senyumanku terbit. Ide brilliant terpatri di otakku saat ini. Aku sudah memutuskan, daripada berkelahi dan saling menyakiti, lebih baik kami berbagi. Jika istri Fuad tidak bisa menerimaku dengan sukarela, aku akan berusaha untuk membuatnya melakukannya dengan cara lain.             Orang bilang, tak kenal, maka tak sayang. Itu sebabnya, aku harus mengenalkan diriku. Sebagai orang asing yang tiba-tiba datang ke dalam kehidupan pernikahannya, tentu dia akan menolak dan melawanku habis-habisan. Aku tidak bisa kehilangan Fuad sekarang. Terlebih setelah tahu kalau semua harta yang Fuad hasilkan, kelak, mungkin akan jatuh ke tangan anaknya, mengingat aku tidak akan bisa memiliki keturunan. Itu sebabnya, aku tidak bisa menyerah atau mendapatkan hasil yang nol sekarang atau nanti. Aku harus memastikan kalau aku bisa mendapatkan keduanya, Faud dan hartanya. Jadi, aku harus mengambil langkah pertama, menjadi teman dari istri Fuad. Setelahnya, bersahabat dan lambat-laun mulai meracuni pikirannya sehingga bisa berpikir terbuka dan menerimaku.             Aku tidak akan mengambil Fuad sepenuhnya. Dia hanya perlu menerimaku masuk ke dalam kehidupan mereka, sebagai teman, sahabat sekaligus istri kedua suaminya. Aku akan menjadi siapapun, asalkan dia mau menerimaku. Ini seperti menimpuk tiga burung dengan satu batu. Aku hanya perlu bertoleransi untuk mempertahankan kebahagianku saat ini. Hidup menjadi istri kedua, tidak akan terlalu buruk jika istri pertama menerimaku. Untuk itu, aku hanya perlu membuat keinginan itu terjadi. Bagaimanapun caranya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN