“Manusia terbaik adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.”
- Ana -
Fuad sudah kembali. Setelah hampir tiga hari dia berada di tempat istri dan anaknya, akhirnya dia kembali ke pelukanku. Dengan gembira, aku menyambut kedatangannya. Aku memeluknya dengan erat, melepaskan kerinduan yang sudah tidak bisa lagi dipendam dalam hati. Fuad juga demikian. Dia segera mengajakku ke hotel untuk menyatukan jiwa dan raga yang haus dengan cumbuan dan kemesraan cinta.
Sejak dua bulan pertama hubungan kami, aku memang sudah berhubungan badan dengan Fuad. Dia bukan yang pertama, demikian pula aku untuknya. Dia juga tidak bertanya mengapa aku sudah tidak perawan. Mungkin, dia tidak ingin aku mengungkit cerita lama, mengingat aku kehilangan keperawananku di usia yang masih belia, lima belas tahun. Aku diperkosa oleh seorang lelaki tua yang tidak diketahui namanya. Mungkin aku sedang sial, bertemu dengannya di hujan lebat, berdua saja meneduh di pinggir warung saat sepeda motorku mogok sehingga terpaksa berhenti.
Lelaki tua itu mungkin sekitar empat puluh tahunan, entahlah, aku tidak terlalu mengingat wajahnya. Keadaan saat itu sepi, tidak ada saksi dan aku juga sepertinya menikmati rasa sakit yang perlahan menjadi rasa yang terlalu nikmat untuk diingkari. Hubungan intim kami terasa sakit sekaligus nikmat. Mungkin itu sebabnya aku memilih merahasiakannya dari kerabat terakhir yang tersisa, kakekku. Setelah kakek meninggal dunia, aku pindah ke luar kota, mencari pekerjaan sampai akhirnya berhasil menjadi staff administrasi di perusahaanku sekarang. Gajinya cukup untuk hidup, meski sangat kurang untuk gaya hidup.
Aku memang sudah pernah berpacaran beberapa kali, tetapi tidak sampai menuju ke tahap yang serius. Memalukan, tetapi aku meniduri semuanya, termasuk lelaki j*****m itu, mantan terakhirku sebelum bertemu dengan Fuad. Kepribadian Fuad yang loyal dan lembut membuatku merajut hubungan terlama dengannya, dua tahun. Bahkan, berencana menikah bulan depan. Tidak banyak yang aku tahu tentangnya, selain kedua orang tuanya yang sudah renta, berusia hampir enam puluh tahunan, pekerjaannya yang seorang staff pemeliharaan listrik dan gajinya yang hampir sepuluh juta per bulan. Sungguh sangat menggiurkan. Walau kenyataannya, dia sudah memiliki istri dan seorang anak.
“Apa kamu berhubungan dengan istrimu?” Pertanyaan yang tidak usah ditanyakan, tetapi aku tergoda untuk menanyakannya. Bagaimanapun, aku harus tahu seperti apa pendapat Fuad tentang istrinya itu.
“Tidak, dia tidak terlalu suka berhubungan intim, terutama karena anak kami masih berusia tiga tahun. Dia hanya fokus pada anak kami dan mengabaikanku. Itu sebabnya, saat bersamanya, aku masih menghubungimu. Aku membutuhkan kepuasaan batin dan kamu menyediakannya.” Fuad sepertinya sudah blak-blakan tentang perasaannya, tidak perlu menutupi apapun karena sudah mengatakan kebenarannya.
Aku tidak tahu apakah ini patut dibanggakan atau tidak. Namun, aku sangat senang karena Fuad dan perempuan itu tidak berhubungan badan. Itu artinya, raga Fuad sepenuhnya milikku.
Jail, aku mengelus lembut paha bagian dalam Fuad, terus merangkak ke bagian vitalnya.
“Hei, kita baru saja melakukannya, kamu sudah mau mengulanginya lagi?” Fuad tersenyum nakal, menangkap jemariku, tidak membiarkanku merayunya dengan mudah.
“DI sana pasti kesepian kan? Mengingat sudah tiga hari tidak diberi kenikmatan.” Senyuman menggoda terkembang membuat Fuad tersenyum geli.
“Aku tahu, tetapi sudah cukup untuk hari ini. Aku harus bersiap-siap. Besok aku harus bekerja pagi sekali, shift pagi,” katanya lantas berdiri, beranjak dari kasur dan memasang pakaiannya kembali.
“Kamu harus pergi?” Aku cemberut, sedikit kecewa.
Fuad tersenyum sembari asyik memasang lagi pakaiannya. “Masih ada banyak waktu, Sayang. Lagipula, kamu perlu istirahat setelah hampir seharian kita terus melakukannya.” Fuad mengedipkan sebelah mata, “Jangan sampai kelelahan sekarang, besok atau lusa, aku masih membutuhkan pelayananmu.”
Aku tersenyum kecil, berusaha mengerti. “Baiklah.”
Aku bangun, memasang kembali bajuku. Lantas, kami pun check out dari hotel. Fuad mengantarku pulang setelah kami makan siang.
Aku melambaikan tangan pada mobil Fuad yang melaju pergi, memandanginya sampai tidak terlihat lagi. Sejujurnya, aku masih ingin bersamanya. Namun, aku tidak boleh egois. Dia memiliki alasan yang bagus. Lagipula, itu bukan karena istrinya, tuntutan pekerjaan. Dia baru datang, harus istirahat setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Jarak kota Surabaya ke Pamekasan memang cukup jauh, sekitar dua jam perjalanan jika tidak macet. Perempuan itu tinggal di sana. Entah bagaimana rupanya, tetapi sejauh yang aku tahu, kebanyakan perempuan berdarah Madura—memiliki kulit hitam—tidak menarik.
Aku mengusap wajahku dengan tisu basah, keringatku belum kering. Fuad terburu-buru sehingga tidak sempat mandi. Makan siang pun sudah seperti diburu polisi. Perutku sedikit terasa sakit karenanya. Ususku seperti dipilin, sangat menyebalkan. jika tahu begini, aku akan memintanya memesankan makanan melalui aplikasi online saja.
Setelah cukup lama mematung di depan gerbang kos, aku memutuskan untuk masuk.
“Kamu terlihat lelah,” tegur Fara membuatku hanya tersenyum kecil. Sejujurnya bertemu dengannya sekarang, tidak aku harapkan. Dia mendengus kemudian. “Kamu tercium seperti air mani.” Dia blak-blakan membuatku berdecak cukup keras.
“Urus saja urusanmu sendiri. Jangan ikut campur,” tegurku dengan mata melotot. Kesal.
Fara tergelak, “Aku hanya bercanda,” katanya dengan senyuman culas menyebalkan. “Kamu terlalu serius, Ana. Lagipula, sudah biasa untuk memberikan tubuh sebelum pernikahan. Menjadi murahan sudah menjadi hal lumrah zaman sekarang.” Dia terkekeh.
Tanganku terkepal. Marah. Memang, perkataannya tidak sepenuhnya salah, tetapi tetap saja membuatku emosi.
“Kapan pernikahan kalian? Apa sudah ditetapkan?” Fara mengalihkan topik, “Apa aku diundang?”
“Tidak,” jawabku cepat.
Fara memasang wajah sedih, “Kenapa?”
“Kamu menyebalkan,” sahutku lantas masuk ke kos dengan sengaja membanting pintunya. Aku mendengar Fara terbahak. Dia memang menyebalkan. Setelah menikah, aku akan meninggalkan kos terkutuk ini, juga orang-orang di sekitarnya. Aku akan membuka lembaran baru dan berbahagia dengan Fuad.
Aku merebahkan diri di kasur, lelah. Tak berapa lama, ponselku berdering, lelaki pujaan hatiku menelpon. Sepertinya dia memang tidak bisa berpisah lama-lama denganku. Sungguh manis sekali.
“Ada apa, Sayang?” Manja, aku menanyainya begitu telpon kami terhubung.
“Besok aku tidak bisa menjemputmu di tempat kerja, ada kerjaan,” sahutnya memberikan kabar buruk.
Aku menghela napas panjang dan berat.
“Jangan sedih, sebagai gantinya, lusa akan aku ajak jalan ke mall,” janjinya membuatku tersenyum senang.
“Aku boleh meminta apapun?”
“tentu saja, Sayang.”
Senyumanku semakin lebar.
“Baiklah,” jawabku setuju.
“Sampai jumpa besok lusa, Sayang. I love you.”
“I love you too.”
Telpon pun diakhiri. Hatiku berbunga-bunga. Walaupun besok kami tidak bisa bertemu, setidaknya, lusa, dia akan memenuhi segala yang aku butuhkan. Aku mulai melihat-lihat sekitarku, berpikir barang apa yang sudah habis dan harus dibeli. Selagi ATM berjalan masih ada, aku harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Ini bukan sifat matre, melainkan memanfaatkan kesempatan. Lagipula, manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain, benar kan? Juga, aku tidak meminta, Fuad yang menawarkan. Rezeki tidak boleh ditolak.