Bab 1. Rindu
“Kapan pulang, Nduk?”
Suara wanita di seberang telepon terdengar sendu.
“Belum tahu, Mi.” Luna meringis sembari mengaduk soto ayam di hadapannya.
Terdengar helaan nafas di ujung telepon. “Sudah dua tahun kamu belum pernah pulang, Nduk. Banyak sekali kerjaanmu di sana, ya?”
Ini bukan pertama kalinya wanita teduh itu meminta Luna untuk pulang. Sudah tak terhitung banyaknya obrolan telepon yang hanya berputar pada hal itu-itu saja. Tapi Luna memang keras kepala. Suara lembut hingga rayuan sedikit memohon tak juga meluluhkan hatinya.
“Ummi ‘kan tahu kalau Luna pengen lanjut sekolah spesialis? Ya ini Luna lagi nyiapin,” jawab Luna.
Akhirnya gadis itu menyuapkan sesendok penuh soto ayam ke mulutnya. Jam istirahatnya sudah hampir habis.
“Sekolah spesialis itu nggak bisa di sini aja?”
Luna melotot, kemudian buru-buru menelan makanan di mulutnya. “Mana ada sekolah spesialis di sana, Mi?”
“Di kota sebelah juga ngga ada?” Ummi Nur, ibunda Luna itu masih coba menawar.
Luna meletakkan sendoknya. “Ada, tapi Luna maunya di sini. Di kampus Luna dulu. Lebih enak karena lebih familiar juga sama guru-gurunya, Mi.”
Hening sesaat. Namun kekecewaan jelas mengambang berat di intonasi suara Ummi Nur berikutnya. “Ya sudah kalau memang mau kamu begitu, Nduk. Ummi juga cuma bisa mendoakan yang terbaik buatmu.”
“Iya. Makasih banyak, Ummi.”
Luna kembali meraih sendoknya. Siap melanjutkan makan.
“Jaga diri di sana, ya, Nduk. Titip salam buat Haris juga. Dia satu tempat kerja sama kamu toh?”
“Iya. Tapi beda shift, Mi.”
“Ya sudah kalau gitu, Ummi tutup, ya? Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Luna meletakkan ponselnya ke atas meja sesaat setelah sambungan telepon terputus. Ada helaan nafas ringan sebelum ia kembali meneruskan makan siangnya.
“Kenapa kekeh banget nggak mau pulang, sih?” Jihan, rekan sejawat sekaligus sahabat dekat Luna itu bertanya. Mereka sedang makan siang bersama.
“Lo nggak pernah hidup di pesantren, jadi nggak tahu gimana nggak enaknya.” Luna mendengus, masih sibuk dengan soto ayamnya.
“Tapi ‘kan itu pesantren punya abi lo. Singkatnya, lingkungan pesantren itu ya kampung halaman lo. Lo hidup dan besar di sana. Tetep aja lo harus sekali-kali pulang, Lun.”
Luna tak menjawab. Mulutnya penuh dengan makanan sementara mangkuk di hadapannya sudah kosong. Ia meneguk air mineral kemudian.
“Lo mau ikut gue pulang nggak?” tanya Luna tiba-tiba.
“Dih! Ngapain?”
“Nah! Lo aja nggak mau, apalagi gue yang udah tahu gimana nggak enaknya hidup di pesantren.”
Luna beranjak dari kursinya, membawa ponsel serta jas putih kebanggaannya.
“Ya beda dong, Luna!”
Jihan ikut beranjak, mengejar Luna yang sudah berlalu lebih dulu.
***
“Gimana, Mi?” suara berat itu muncul dari balik punggung Ummi Nur.
Ummi Nur menggeleng, wajahnya terlihat murung. “Masih belum mau pulang.”
Sejenak, kesedihan menggantung di langit-langit ruangan besar itu. Sebuah ruangan 6 x 6 meter yang di sisi selatannya dihiasi oleh rak buku hingga menyentuh langit-langit. Rak buku itu penuh, ada berbagai macam buku di sana. Tapi yang paling mendominasi adalah buku-buku bertuliskan bahasa arab.
Di sisi utara ruangan diisi oleh sepasang kursi dan meja. Setumpuk buku dan dokumen terlihat rapi di ujung meja. Sementara di sebelahnya, berbagai macam alat tulis ditata sedemikian rupa agar memudahkan orang yang bekerja di belakang meja. Lalu sisanya, kosong dan bersih. Tidak ada komputer, laptop, atau barang elektronik lainnya.
Ummi Nur duduk di kursi hitam empuk yang terletak di belakang meja. Kursi kebesaran Abi Jamal, suaminya. Namun, karena sang pemilik sudah tiba, ia segera beranjak.
“Nggak usah, Ummi duduk aja nggak apa-apa.” Abi Jamal mengangkat tangannya, menyuruh sang istri untuk kembali duduk.
Di tengah ruangan, satu set sofa berwarna cokelat tampak senada dengan keseluruhan interior ruangan itu. Abi Jamal duduk di salah satunya, kemudian menyandarkan punggung.
“Maaf, Bi. Cemilannya saya letakkan di mana?”
Seorang laki-laki berperawakan tinggi tampak muncul di ambang pintu. Membawa nampan berisi cemilan hangat dan segelas seduhan jahe ditambah madu.
“Di sini saja, Nak.” Ummi Nur yang menjawab. Ia ikut duduk di sebelah Abi Jamal.
Laki-laki itu mengangguk. Meletakkan sepiring pisang kukus di atas meja.
“Saya bawakan minuman untuk Ummi juga, ya?” tawarnya kemudian.
“Nggak usah. Kamu ikut duduk di sini. Ummi mau tanya-tanya.”
Ahsan, sekretaris pribadi Abi Jamal itu terlihat ragu. Namun anggukan dari Abi Jamal membuatnya ikut duduk di hadapan pasangan pendiri pesantren tempatnya menuntut ilmu.
“Kenapa, Ummi?” tanyanya sopan.
“Kenapa kamu betah di sini?” tanya Ummi Nur tanpa basa-basi.
“Hm, maksudnya di pesantren ini, Mi?”
Ummi Nur mengangguk.
Ahsan tak langsung menjawab, ia memilih kalimat paling pas untuk dilontarkan oleh lisannya. “Di sini… sudah seperti rumah saya sendiri, Mi.”
“Jujur saja, Nak,” potong Ummi Nur cepat. “Masa kamu nggak kangen kampung halamanmu? Sudah dua tahun kamu nggak pulang.”
“Eh? Betulan, Ummi. Saya betah di sini karena rasanya kayak di rumah sendiri. Lagipula meskipun saya punya kampung halaman, di sana sudah nggak ada siapa-siapa lagi. Kakek saya meninggal dua tahun lalu,” jelas Ahsan panjang lebar.
“Oh, iya. Maafkan Ummi, ya, Nak.”
“Nggak apa-apa, Ummi. Sudah lama juga.” Ahsan sedikit cengengesan.
Sebenarnya, ia sengaja mengambil tawaran untuk menjadi sekretaris pimpinan supaya ia tak punya waktu untuk bersedih. Apalagi mengasihani dirinya yang sebatang kara di dunia ini.
Ummi Nur terlihat mendesah resah, Ahsan menyadari itu.
“Ummi Nur… ada masalah?” tanyanya setelah menimbang.
“Anak-anak orang lain semua betah di sini. Kamu juga betah di sini. Membantu Abi Jamal, menemani Ummi Nur ngobrol, mengurus hal ini itu, padahal kamu bukan anak kami. Tapi Luna, si bungsu itu malah nggak mau kembali ke sini,” keluh Ummi Nur. Ada kesal bercampur sedih dalam kalimatnya.
“Mi…” Abi Jamal menyentuh lengan istrinya. Entah untuk menenangkan atau menyuruhnya berhenti mengeluh.
“Abi juga gitu, kalau Luna di sini tuh jangan terlalu dilarang-larang, jangan kebanyakan diperintah-perintah. Luna itu karakternya berbeda dengan yang lain. Dia nggak bisa ditekan begitu, Bi.” Kini, kalimat Ummi Nur lebih terdengar seperti protes.
Ahsan menelan ludah. Ini pertama kalinya ia melihat Abi Jamal dan Ummi Nur berselisih. Biasanya, pasangan itu terlihat harmonis dan romantis meski sudah puluhan tahun menikah.
“Iya, Abi juga baru sadar,” lirih Abi Jamal.
“Nah, Abi teleponlah Luna itu. Minta maaf, suruh dia pulang. Masa Abi nggak kangen anak sendiri?”
“Iya, nanti Abi telepon.”
“Jangan nanti-nanti, Bi. Abi betulan nggak kangen Luna?” Ummi Nur memajukan tubuhnya, menyelidiki wajah Abi Jamal.
Abi Jamal mendesah pelan. “Iya, ini Abi telepon.” Kemudian bibirnya menyunggingkan senyum.
Ahsan menggigit bibir. Posisinya serba salah, seperti melihat pertengkaran rumah tangga yang tak seharusnya ia saksikan.