Yang Jin yang sudah berpengalaman, segera melonpat dari atas kuda, menghalang anak panah yang hampir menerobos jendela kereta. Dengan apik kedua anak panah itu menyelip dijari-jarinya.
“Yang Jin,” Gantan membuka kain yang menutupi pintu kereta.
“Tetap didalam, yang mulia. Keadaan luar tak akan aman.” Peringatan Yang Jin saat beberapa orang mulai muncul dari semak-semak.
Semua anak buah Yang Jin segera turun dari kuda, mengambil pedang. Peperangan terjadi dengan begitu saja tepat didepan mata Gantan. Rasa takut itu muncul dengan tiba-tiba ketika salah satu anak buah Yang Jin tersungkur dengan lengan yang berdarah karna terkena pedang lawan. Kedua tangan Gantan mengepal, ingin membantu, tapi ia tak mempunyai kemampuan bertarung. Dia celikukan mencari senjata terdekat yang kemungkinan bisa ia gunakan untuk membantu, walau kemungkinan ‘bisa’ itu sangatlah kecil.
Seorang lelaki yang memakai topeng mendekat setelah berhasil membunuh lawan. Sunggingan senyum terlihat dibibirnya yang hitam. Tatapan penuh kebencian jelas terarah ke Gantan yang ketakutan. Gantan mencengkram erat pedang yang memang ada didalam kereta, mengarahkan tepat kedepan, dimana si pembunuh itu ada disana. Sayang banget, pedang yang terlihat bergetar sesuai tangannya yang ketakutan itu tak membuat lawannya jadi takut.
“Hiiyaa!”
Bluuss!
Pedang yang hampir menusuk d**a Gantan jatuh begitu saja bersamaan dengan si pemegang pedang yang tergeletak setelah ditendang oleh Yang Jin.
“Yang mulia, anda tak apa-apa?” tanyanya dengan begitu khawatir.
Gantan menarik nafas berkali-kali, lalu menggeleng dengan masih ketakutan. “Tak apa. Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Anak buahmu?”
Menoleh, menatap mereka yang kini mengurus dua anak buahnya yang terluka. “Mereka tak apa, masih bisa bertahan.”
“Kita istrirahat dulu, aku tak tega melihat mereka kesakitan.”
“Tidak perlu, yang mulia. Lebih baik kita segera tinggalkan tempat ini. Di depan sana, satu mil lagi akan sampai di desa Tang Sha. Kita bisa mencari penginapan disana.” Terang Yang Jin.
Kedua mata Gantan melotot, tentu sangat terkejut dengan apa yang Yang Jin katakan tadi. Hanya bisa mengangguk, nurut. “Baiklah.”
Yang Jin memberi hormat, kembali ia menatap beberapa anak buahnya. “Ayo, kita lanjutkan perjalanan.”
“Baik, jendral.”
Gantan menelan ludah beberapa kali. Ia kini sibuk menatap mereka yang mulai menaiki kuda, lalu mulai berjalan pelan, tak lagi secepat sebelumnya. Karna tenaga mereka pasti masih capek setelah peperangan sesaat tadi.
‘Buk, pak, aku benar-benar tersesat disini. Mau ketempat yang sebenarnya hanya satu jam lebih jika aku tempuh dengan motor, kini harus aku tempuh selama tiga hari. Itu juga harus was was dengan nyawa.’ Batinnya kalut.
Gantan kembali duduk didalam kereta, membuka kain yang menutup jendelanya. ‘Mbak Susan, maaf. Maafkan aku yang selalu berisik menggangguk istirahatmu. Doamu benar-benar terkabul. Kini aku telah hidup di hutan. Di sini aku terancam mati.’
Beberapa penyesalannya terasa menghimpit d**a, membuatnya ingin cepat kembali ke tempat aslinya. Lalu meminta maaf kepada semua orang yang telah ia lukai hatinya.
**
Seorang lelaki yang terlihat ramah menyambut kedatangan Yang Jin dan beberapa kawannya. Sesuai yang sudah mereka rencanakan, Yang Jin menyembunyikan identitas Pangeran Zhao Gantang dan semua. Bahkan pakaian mereka tak seperti pakaian di kerajaan. Setelah kamar siap, Yang Jin menyuruh Gantan untuk segera masuk dan beristirahat.
“Pangeran, disini memang aman, tapi waspada tetap dibutuhkan.” Ucapnya dengan berbisik.
Gantan ngangguk, dia memang belum begitu paham hidup di negri berantah ini. Tapi dia akan berusaha memahami, sedikit demi sedikit.
“Jika begitu, saya permisi. Kamar saya ada tepat disebelah kamar pangeran. Anda bisa berteriak memanggil saya jika dibutuhkan.”
“Iya, istirahatlah yang cukup. Keselamatanku, bergantung padamu.”
Kedua mata Yang Jin sedikit melebar, ia menatap Gantan lekat. “Yang mulia ….”
Gantan menarik nafas. “Yang Jin, kau akan tau sesuatu setelah kita sampai di Lingling.”
“Saya akan melindungi yang mulia sampai darah penghabisan. Itu sudah menjadi janji saya pada istana Yongheng.”
Gantan tersenyum mendengar ucapan itu. “Ya, Pangeran Gantang akan sangat bersyukur memiliki kalian yang setia. Kembalilah. Aku juga ingin tidur.”
**
Di penginapan yang berbeda.
Seorang wanita mengangkat gelas teh dengan begitu anggun. Meniupnya, lalu meneguk teh itu pelan. Pelayan sekaligus pengawal pribadinya menerima gelas kosong itu. Xiao Yuran ; putri tertua dari istana di Wuhan, tapi dia masih harus melakukan missi membunuh pangeran Gantang agar bisa mendapatkan kepercayaan sang ayah. Dia terbuang, karna ibunya telah selingkuh dengan salah satu mentri di istana Yongheng.
Belajar bela diri puluhan tahun, semua hanya demi bisa kembali ke istananya. Sangat tak suka dengan kehadiran Xiao Yan, anak lelaki yang lahir dari wanita selir. Dan lelaki yang gila wanita itu telah di pilih oleh sang ayah sebagai seorang putra mahkota.
“Jadi … pangeran Gantang sudah masuk di Tang Sha.”
“Benar, putri.”
Putri Xiao mengulas senyum tipis. “Ambilkan tinta dan kuas. Aku harus mengabari hal ini ke kak Qin Yuwan.”
“Baik, putri.”
Qin Yuwan adalah pangeran dari kerajaan Fanrong, pemilik tangan besi yang tak tertandingi. Hanya saja, kepintarannya tentang taktik menguasai dunia masih ada dibawah pangeran Zhao Gantang. Sangat tak terima ketika kaisar dari Dong Yue lebih memilih istana Yongheng sebagai tangan kanan. Akhirnya menggunakan cara licik dengan meracuni pangeran Zhao Gantang.
Putri Xiao Yuran melipat kertas berisi tulisan tangannya, lalu memasukkan ke dalam lingkaran kayu manis yang biasa digunakan untuk berkirim surat.
“Kirimkan ini ke kak Qin dengan merpati putih biasanya.” Perintahnya dengan begitu lembut, tapi tetap berwibawa.
“Baik, putri.”
‘Kak Qin, aku akan memulainya.’ Batinnya dengan senyum licik.
**
Tok! Tok! Tok!
“Tuan, tuan, ini makan malam.” Seorang pelayan mengetuk pintu kamar Gantan.
Gantan yang memang tak bisa tidur, segera beranjak dari tepi tempat tidur. Membuka pintu itu pelan, menerima nampan yang dibawa oleh si pelayan.
“Terima kasih.”
“Tunggu!”
Yang Jin menghentikan langkah si pelayan yang hampir pergi. “Siapa yang memasak?”
Kedua mata pelayan itu sedikit melotot, tentu heran dengan pertanyaan Yang Jin. “Koki kami yang sudah biasa masak untuk semua pembeli.”
“Maukah kau mencicipi masakan kokimu lebih dulu?” pinta Yang jin.
Pelayan menatap Yang jin dan Gantan dengan bergantian, bingung tentunya. Namun dia tetap membuka mulut saat Yang Jin menyuapinya, memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
Begitu daging bebek itu tertelan, kedua mata pelayan itu melotot dengan kedua tangan yang memegangi leher. Dia ambruk.
“Pelayan,” seru Gantan yang saat ini ikut terkejut dengan adegan didepannya. Kenapa dunia berantah ini begitu kejam? Nyawanya benar-benar menjadi sasaran.
Yang jin mengambil sebuah pil dari bajunya, lalu memasukkan pil itu ke mulut si pelayan. Sangat beruntung, karna suasana malam, jadi tak ada banyak orang yang berlalu lalang. Mereka telah sibuk di bawah, mendengarkan pertunjukan musik dari seseorang yang sudah biasa ada di penginapan.
“Yang jin,”
“Tenang, pangeran. Dia akan baik-baik saja.” Seru Yang jin, menerangkan keadaan si pelayan.
Tak begitu lama, pelayan itu mulai membuka mata, sedikit terbatuk dengan memgangi d**a yang berdebar tak biasa.
“Eeggh, tuan ….” Serunya, tak begitu jelas.
“Bangunlah. Lain kali, biar aku sendiri yang menyiapkan makanan untuk tuanku.” Ucap Yang jin dengan posisi masih jongkok.
“Baik, tuan.”
**
Pagi menyapa.
Semua sarapan pagi dibawah, tentu dengan makanan yang aman karna Yang jin menyuruh anak buahnya memasak sendiri. Usai makan, mereka melanjutkan perjalanan menuju kota Lingling. Gantan meminta Yang jin dan semuanya untuk berganti penampilan. Karna kini penjahat telah tau posisinya. Perjalanan yang cukup melelahkan, tiga hari lebih, terhitung hampir empat hari.
Mereka semua memasuki halaman rumah yang berada ditengah pohon bambu hijau. Yang jin menoleh, memberi kode ke beberapa anak buahnya untuk turun dan melihat keadaan sekitar.
Seseorang turun dari kuda, berjalan mengendap-endap, mendekati rumah tua yang terlihat begitu sepi. Ada sumur yang tak jauh dari pintu depan, lalu beberapa rantai besi tergantung di halaman.
Tok! Tok! Tok!
“Permisi!” serunya setelah mengetuk pintu depan.
Hening. Sama sekali tak ada sahutan, membuat semua semakin waspada dengan keadaan sekitar.
Brakk!
Dengan tiba-tiba pintu yang sudah reot itu terpental keluar, membuat anak buah Yang Jin ikut terpental dan jatuh terlempar.