Kedatangan sang Ancaman

1317 Kata
Klara tergopoh menuju ke luar panti asuhan saat mendengar nama pria yang tidak ingin ia dengar tersebut. Matanya membulat melihat Dean yang sudah ada di sana. Ia tengah berdiri dan menyandar malas di pintu mobilnya sambil menatapi pohon kelengkeng tua di halaman panti yang sudah lama tak berbuah. “Apa yang harus kulakukan?” monolog Klara kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi pria kasar sepertinya. Klara sudah mencap Dean sebagai pria kasar dan tidak tahu aturan sejak pertama kali mereka bertemu. Dia mirip seperti serigala liar yang tidak mungkin Klara jinakan. Dean memalingkan pandangannya, ia menatap lurus pada Klara yang mendadak kaget seperti kelinci yang ketakutan. Mau tidak mau, Klara akhirnya berjalan dengan pandangan tertunduk menghampirinya. “Eh … anu …,” gumam Klara tidak jelas. Ia mendadak kehilangan kalimat yang sudah terangkai baik di pikirannya. Ini adalah kebiasaan buruk Klara lainnya, yang mana dia mudah kehilangan kendali dan gugup berlebihan di depan orang lain. Klara pusing, apa yang harus ia katakan di situasi seperti ini? Otaknya mendadak blank dan semua kata menghilang dari kamus pikirannya. Terlebih lagi, Dean menatapnya dengan intensif dan hal itu membuat tulang-tulang di kaki Klara melunak seperti agar-agar dan ia hampir kehilangan pijakannya. “Berapa banyak?” “Hah?” Klara mengerjap, mendadak lepas dari kegugupannya.  “Maaf, apa yang baru saja kamu katakan?” Dean menghela napasnya lelah. Ia menaikan sebelah alisnya. “Kamu menyetujui pernikahan ini karena uang, ‘kan? Katakan berapa banyak yang kau mau. Akan kuberikan sekarang, mungkin jika jumlahnya melebihi seratus juta akan kuberikan ceknya saja. Jadi, pergi dan katakan pada ibuku yang sangat perhatian itu bahwa kau menolak—” PLAK! Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Dean dan membuat wajah pria itu menghadap ke arah kanan. Dean langsung naik pitam dan melihat Klara dengan marah. Berani-beraninya, wanita rendahan seperti dia menampar wajahnya sampai memerah! Dean terdiam. Ia tidak mengeluarkan sumpah serapah yang sudah merentet meminta untuk diucapkan dan hanya terdiam saat melihat wajah Klara yang bergetar menahan tangis. Tidak, tunggu. Gadis itu terlihat marah, bahkan jauh lebih marah dari yang Dean terka. Dean tidak paham, apa yang membuatnya marah seperti ini? Bukannya ia seharusnya senang saat Dean memberinya apa yang menjadi tujuan aslinya saat menerima pernikahan bodoh ini? “Aku …,” ucap Klara, bergetar menahan tangis yang sebentar lagi akan pecah. Dean tidak menyanggahnya lagi, ia hanya sedikit penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh gadis itu. Klara mengulum bibirnya sejenak, sebelum ia kembali melanjutkan perkataannya. “Aku … tidak menerima pernikahan ini karena uang ataupun harta. Aku sudah terbiasa hidup tanpa semua hal itu dan aku tidak menginginkannya sama sekali.” “Lalu, apa yang kamu inginkan?” tanya Dean tiba-tiba. Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Dia ingin mendengar jawaban dari gadis tersebut. Klara menurunkan pandangannya dan menatap tanah berumput yang kini ia pijak dengan kaki jenjang miliknya. “Kebahagiaan, mungkin.” Klara lalu mengangkat wajahnya kembali, matanya yang sebening bola kelereng itu langsung mengejutkan pria berhati dingin tersebut. Klara mengecap bibirnya kecil, “Bukan kebahagiaanku. Namun, milik orang lain. Demi kebahagiaan mereka, aku mampu melakukan apapun. Hanya itu saja yang kuinginkan.” Klara hanya menatap bingung pada pria yang kini terdiam, padahal dia sendiri yang bertanya apa yang Klara inginkan sebenarnya. Apa jawabannya masih kurang memuaskan untuknya? Memangnya dia siapa, seorang kritikus pendapat orang lain? Mengesalkan. “Oh, begitu.” Dean hanya memberikan respon pendek seperti itu. Ia lalu membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam, meninggalkan Klara yang masih kebingungan di luar sana. “Eh, apa yang baru saja terjadi?” tanya Klara tidak paham. Jendela mobil kemudian terbuka, memperlihatkan profil samping dari Dean yang bahkan terlihat sangat mempesona. Dia menoleh. Matanya menyorot dingin pada Klara. “Lebih baik hentikan saja keinginan bodohmu itu. Aku paling benci dengan orang munafik sepertimu. Jangan pernah berharap jika wanita rendahan sepertimu bisa bersanding dengan seseorang sepertiku.” Klara membisu, ia tak mampu mengatakan apapun untuk membalas ucapannya. Memang benar jika Klara hanya wanita sebatang kara yang bahkan sedari awal tidak pantas untuk bersanding dengan pria sekaya dirinya. Dean kemudian menyalakan mesin mobilnya, ia berbicara lagi. “Silahkan saja lanjutkan pernikahan ini jika kau ingin menderita seumur hidupmu. Aku sudah memperingatkanmu sejak awal dan tidak akan ada peringatan kedua.” Mobil itu langsung melaju pergi di jalanan, meninggalkan Klara yang kini berdiri sendirian di tengah halaman panti yang lengang. Klara tiba-tiba merosot, duduk bersimpuh di atas rerumputan dengan wajah yang lelah. Bibir Klara kembali bergetar. “Kenapa dia mengatakan banyak sekali hal jahat padaku? Padahal … padahal aku juga tidak menginginkan pernikahan ini. Aku sama sekali tidak pernah memikirkan untuk menikah dengan pria sepertinya.” “Klara?” Gadis itu langsung menegakan bahunya saat mendengar suara yang familiar di telinganya tersebut. Ia mengusap matanya yang hampir berair dengan telapak tangan sebelum berbalik dan menatap kedatangan ibunya tersebut. Bu Hasna berdiri di gerbang panti sambil membawa sekeranjang sayuran yang ia beli di pasar pagi ini. Wanita itu menjatuhkan belanjaannya dan langsung berlari menuju Klara. “Kamu kenapa, Nak? Apa yang terjadi? Kamu kok ada di sini sendirian? Mana Ratih? Ratih! Ratih!” “Buk, Ibuk, Klara enggak apa-apa kok. Tadi Klara cuma keluar sebentar, mau cari angin segar. Sumpek di dalam ruangan terus, eh malah keterusan duduk di sini.” Klara menenangkan Bu Hasna yang sering mengalami gejala panik. Ini juga salah satu alasan mengapa Klara tidak mengatakan apa-apa dan menyimpannya segala sesuatu pada dirinya sendiri. Bu Hasna menggeleng, “Klara. Ibuk tahu kamu paling buruk dalam urusan berbohong. Katakan, Nak, kok kamu bisa di sini sendirian? Apa yang baru saja terjadi? Cerita sama Ibuk, Klara.” Klara mengulum senyumnya dengan perasaan getir. Ibunya itu memang paling tahu dirinya luar dan dalam. Namun tetap saja, Klara menggeleng dan enggan membicarakannya. Ia tidak mau membuat kesehatan ibunya itu semakin memburuk. Klara sering merasa sesak sendiri saat melihat Bu Hasna meminum pil pereda nyeri kepala setiap malamnya. Bahkan akhir-akhir ini, obat yang ia konsumsi bertambah lagi. Klara sudah tidak mau menambah beban pikirannya. “Sudah kubilang ‘kan, Buk. Aku enggak apa-apa. Eh, belanjaannya kok malah ditinggal di sana, sih. Padahal udah ditunggu aku sama Ratih sejak tadi, yaudah sebentar tak ambil dulu. Ibuk masuk aja ke dalem terus minum air putih yang banyak. Nanti kubawakan belanjaannya ke dalam. Sana, sana.” Klara mendorong Bu Hasna untuk kembali berjalan ke depan. Tidak ada pilihan lain, Bu Hasna menurut saja dan berjalan ke depan sambil menatap Klara dengan nanar. Ia merasa khawatir dengan putrinya tersebut. Klara melambaikan tangannya sambil melemparkan senyuman kecil agar menenangkan sang ibu. Saat Bu Hasna sudah masuk ke dalam panti, Klara berbalik dan mengambil keranjang berisi sayuran tersebut. Ia menatap deretan sayur-mayur itu dengan sorot yang sayu. Klara lalu menatap gedung panti yang sudah menjadi tempat bernaungnya selama dua puluh satu tahun tersebut. Ia tersenyum getir. “Maaf, Ibuk. Klara akan tetap menjalani pernikahan ini meski Klara tahu bahwa yang akan Klara temui di sana hanya tebing yang terjal dan tidak mudah untuk dilalui. Meski kebahagiaan tidak akan datang padaku, asal itu datang padamu dan kalian semua. Aku siap untuk menjadi orang paling menderita di dunia.” Klara menggeleng kecil. “Tidak, bukan hanya aku.” Klara menatap jalanan yang membentang di depannya. “Dia juga menderita, seperti seekor serigala yang terluka parah, dia juga sama menderitanya sepertiku. Mungkin kami akan jadi pasangan aneh, pasangan yang saling menderita satu sama lain. Memang … hal yang cukup menarik, ‘kan, Buk?” “Kak! Sayurnya mana? Airnya udah mau mendidih itu. Lama banget ditungguin deh!” teriak Ratih dari balik pintu panti asuhan. Klara berbalik dan tersenyum kecil. “Maaf, tadi ada rombongan sapi lewat. Aku akan segera ke sana, kembalilah ke dapur.” Klara melambaikan tangannya untuk mengusir Ratih kembali ke dapur seraya berjalan menghampirinya. Ratih mengernyit bingung. Ia memiringkan kepalanya sambil bertanya-tanya. “Rombongan sapi lewat? Memangnya di sini ada yang angon sapi, ya? Baru tahu aku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN