Klara mengerjap. Ia menggerakan bola matanya ke kiri dan ke kanan, melihat dirinya saat ini tengah terperangkap di tempat asing yang ia datangi. Suasana di sekelilingnya terasa mencekam, seperti tengah berjalan di atas lantai kaca yang rapuh, tidak tahu kapan akan hancur dan jatuh. Sudah sepuluh menit lamanya, ketiga orang itu, termasuk Klara, diam tanpa bicara sepatah katapun. Tidak, sebenarnya, Nyonya Ayunda sudah gelisah ingin berkata sesuatu tetapi ada suatu hal yang menghalanginya. Sementara Dean, pria misterius dengan aura aneh yang menyelimutinya itu, bersikap tidak peduli pada sekelilingnya dan terus fokus memainkan ponselnya. Hanya Klara yang diam sambil memainkan jari-jarinya.
Klara membatin resah. Bisakah aku pulang saja?
“Dean, apa kamu mau makan—”
“Bisa langsung ke intinya saja?” Dean mengangkat pandangannya dari layar ponsel dan menatap ibunya tersebut tanpa kasih sedikitpun. Klara melihatnya, itu adalah tatapan yang sangat menyakitkan. Ayunda kaget dan langsung mengulum bibirnya dalam diam. Ia lantas menormalkan ekspresinya dan kembali tersenyum hangat. Dia berganti menatap Klara yang nampak masih sedikit canggung.
“Bagaimana kalau Nak Klara yang makan sama Tante? Kamu mau, ‘kan?”
Tanpa sadar, Klara melirik sejenak ke arah pria yang duduk di seberangnya. Dean nampak tidak peduli dengan percakapan mereka dan tetap fokus dengan ponselnya. Klara kembali menatap Nyonya Ayunda, ia menjadi sedikit kasihan padanya. Klara tidak tahu apa yang terjadi pada hubungan ibu dan anak di masa lalu sampai seburuk ini akibatnya, tetapi Klara paling tidak bisa mengabaikan permintaan seorang ibu sepertinya. Dia lalu mengangguk.
“Boleh, Tante.” Ucapan Klara dibalas wajah sumringah oleh Ayunda.
Pintu masuk tiba-tiba saja dibuka keras. Seorang pria muda lengkap dengan kemeja putihnya masuk. Keringat deras mengucur di wajahnya, napasnya pun tidak karuan saat menghampiri ketiga orang yang ada di sofa ruang tamu. Ayunda melebarkan matanya.
Ia menghampiri putra bungsunya. “Bryan, kamu datang juga rupanya. Tadi siang, Mama sudah telepon kamu tapi kamu bilangnya gak mau datang ke rumah.”
“Rey bilang padaku kalau Kakak hari ini datang ke rumah.”
Klara menoleh. Dia mirip dengan Dean, tetapi memiliki fitur wajah yang lebih lembut dan dingin di waktu yang sama. Bryan menghampiri Ayunda dan menggenggam tangannya erat, seolah khawatir akan terjadi sesuatu pada ibunya tersebut. Bryan mengebut dari kantornya hanya untuk memastikan bahwa ibunya baik-baik saja.
“Mama gak apa-apa, ‘kan?”
Ayunda menggeleng kecil. Ia mengusap tangan Bryan yang terasa dingin itu. “Mama gak apa-apa, Nak. Ayo duduk dulu, sapa kakakmu yang baru aja keluar dari penj—”
“Kenapa kamu datang ke sini, Kak? Apa yang kamu mau lagi dari kami? Bukannya Almarhum Papa sudah memberimu banyak sekali harta dan juga belasan villa pribadi? Apa itu masih kurang juga untukmu?” tanya Bryan beruntun sambil menatap Dean penuh permusuhan. Orang yang ditatap, tidak mau mengalah, Dean meletakan ponselnya dan balik melihat lurus pada Bryan tanpa sangsi sedikitpun.
“Tanyakan saja pada ibu tercintamu itu, alasan kenapa dia sampai repot-repot memanggil anak yang ia buang sejak dahulu ini kembali ke rumah. Mungkin sebentar lagi dia akan mati dan mau membagi warisannya padaku, siapa yang tahu?” Dean menyunggingkan senyum meremehkan miliknya, membuat Bryan ingin maju dan menonjok wajahnya sekarang juga. Klara meneguk liurnya sendiri. Dia tidak sadar kenapa semuanya tiba-tiba menjadi seruwet ini. Klara tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
Bryan mengacungkan telunjuknya ke depan. Wajahnya terlihat marah. Urat di pelipisnya sampai menonjol akibat kemarahannya tersebut. “Jaga ucapanmu, Kak. Kau tidak bisa berkata seperti itu pada ibu kandungmu sendiri.”
Dean memutar matanya jengah. Ia menepis jari telunjuk itu dengan mudahnya dan menautkan alisnya marah. “Ibu kandung kau bilang … orang sepertinya mengaku jadi seorang ibu? HAH! Aku ingin tertawa rasanya.”
Bryan hendak maju dan menarik kerahnya sebelum dilerai oleh sang ibunda. Ayunda langsung berdiri di antara mereka. Ia kemudian segera mendorong Bryan ke sisi yang berlawanan agar tidak terjadi pertengkaran. Dean duduk kembali di sofanya sambil meludah ke arah lain. “Bryan, Dean! Sudah! Mama mohon sudahi pertengkaran kalian. Mama malu dilihat oleh Klara.”
Mendengar nama yang asing di telinganya, Bryan langsung menoleh pada wanita yang duduk dengan ekspresi kikuk di sofa. Klara menunduk, ia kehilangan keberaniannya saat dipandangi seperti itu. Bryan mengacak rambutnya kesal. Dia akhirnya mau duduk di sofa yang cukup jauh dari Dean.
Klara menutup matanya sendiri. Ia benar-benar ingin pulang sekarang. Klara tidak bisa bertahan lebih lama lagi dengan suasana mencekam seperti ini. Ayunda kembali duduk di sebelahnya, wanita itu menatap kedua putranya yang sudah dewasa itu secara bergantian. “Tujuan Mama manggil kalian berdua kemari itu ada hubungannya dengan permintaan terakhir Mama.”
“Permintaan terakhir?”
Klara menggigit kecil bibirnya. Ia sedikit takut saat membayangkan reaksi yang akan datang ketika mendengar permintaan tersebut.
“Iya.” Ayunda mengangguk. Ia lalu menoleh pada putra sulungnya. “Dean, kamu mau ya, menikah dengan Klara. Ini satu-satunya permintaan Mama sama kamu. Untuk yang terakhir kalinya, Mama pengin lihat kamu bahagia.”
Suara gelas yang tiba-tiba jatuh ke lantai mengagetkan semua orang. Bryan melotot kaget. Dean juga melebarkan matanya seolah tidak percaya dengan ucapan wanita tersebut. “Pernikahan? Kau bercanda, ‘kan?”
“Mama enggak bercanda, Klara juga sudah menerima lamaran pernikahan ini.” Sejenak tatapan buas itu mengarah padanya, membuat sekujur tengkuk Klara merinding hebat karenanya. Ayunda lalu menoleh padanya. “Benar, ‘kan?”
“Be—benar, Tante.” Klara mengecilkan volumenya. Ia memang sangat penakut. Ia hanya memiliki keberanian apabila hati nurani ditambah logikanya menyuruhnya demikian, tetapi sekarang hati nurani serta logika Klara mengatakan bahwa ia tidak seharusnya mencari masalah dengan pria itu.
“Tch.” Dean mengumpat kesal.
“Dean …,” lirih Ayunda, “Mama cuma pengin lihat kamu—”
Dean menendang meja di depannya hingga terbalik. Klara berjengit takut hingga mundur ke belakang. Dean berdiri dengan raut yang penuh kemarahan. “Apa wajah anak buanganmu ini terlihat bahagia? Tidak sama sekali. Jadi, terima kasih atas penawarannya.” Pria itu langsung pergi ke luar.
“Dean, tunggu! Dean! Klara, maaf Nak. Sepertinya malam ini kamu harus pulang lebih dulu, Tante bakal minta Pak Supri buat nganterin kamu pulang lagi.” Ayunda langsung berdiri dan menyusulnya. Diikuti oleh Bryan yang takut apabila terjadi sesuatu pada sang ibu, dan akhirnya meninggalkan Klara sendirian di sana. Klara yang masih syok akibat pertemuan ini hanya bisa terdiam tanpa berkata apa-apa lagi. Ia menoleh ke arah jam antik raksasa yang menggantung cantik di atas dinding.
“Pulang saja, deh,” monolog Klara lemas dan berjalan ke luar rumah. Di sana, ia sudah ditunggu oleh Pak Supri, pria tua yang sama dengan yang menjemputnya tadi. Klara menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan dari mulut. Ia membuka matanya kembali. Klara harus memantapkan hatinya sekali lagi. Dari titik ini, Klara sudah tahu bahwa hidupnya ke depannya tidak akan sama seperti sebelumnya. Mungkin, itu sudah dimulai sejak malam ini.
֍
“Jadi, gimana pertemuannya, Kak?”
Klara membeku sesaat, ia menoleh pada Ratih yang terlihat antusias sekaligus penasaran tersebut. Kemarin malam, Klara sampai di panti asuhan sekitar pukul satu dinihari dan semua orang sudah tidur, untung saja Klara selalu membawa kunci cadangan.
Klara tersenyum tipis, “Iya … baik-baik saja.”
Ratih berbinar. Ia meletakan mangkuk berisi kangkung segar yang tengah ia buangi batangnya dan menatap Klara penuh kagum. Ratih memutuskan untuk bertanya sedikit jahil. “Emmm. Kakak ketemu sama calon suami? Ganteng gak, Kak?”
Klara sontak memerah karena malu. Ia melemparkan batang kangkung di tangannya tepat ke wajah Ratih hingga gadis itu sedikit tertawa. “Calon suami apaan. Diem, jangan resek.”
“Ih, kok aku dibilang resek. Cie Kak Klara salah tingkah sendiri. Pasti ganteng banget ya, Kak. Ibunya aja cantiknya bikin orang pangling.” Ratih menangkup pipinya sendiri, mengagumi wajah Nyonya Ayunda yang memang menolak konsep tua tersebut. Klara mengulum senyum getir, ia bahkan tahu bahwa kemarin malam tidak bisa disebut sebagai sebuah pertemuan yang ‘normal’.
Klara menghela napas lelah. Aku harap tidak bertemu pria itu lagi untuk sekarang ini.
“Klara?” panggil Bu Shella dari balik pintu dapur, membuat kedua gadis itu menoleh bersamaan. Bu Shella adalah pengurus panti asuhan ini selain Bu Hasna. Hanya saja, Bu Shella juga memiliki keluarga di rumah dan hanya mampir kemari sesekali untuk membantu beres-beres serta memasak untuk anak-panti. Klara yang dipanggil kemudian berdiri, membersihkan tangannya yang kotor akibat sisa-sisa tanah di batang kangkung dan menghampiri Bu Shella.
“Ada apa, Bu?”
“Kamu punya teman laki-laki?” tanya Bu Shella langsung.
Klara mengernyit tak paham. “Enggak, teman Klara cuma anak-anak panti aja kok. Klara gak punya teman lain.”
“Terus, yang nungguin kamu di depan panti siapa dong? Katanya mau ketemu langsung sama kamu.”
“Si … siapa memangnya, Bu?” Klara menggenggam tangannya sendiri erat, entah kenapa merasa sedikit takut apabila tebakannya benar-benar terjadi.
“Ibu enggak tahu, tapi dia bilang namanya Dean.”