Pertemuan Pertama

1744 Kata
Saat mataku bertemu dengan milikmu untuk yang pertama kalinya, firasatku mengatakan bahwa aku harus menjauh darimu saat itu juga. ֍ “Masih belum cocok juga, bu?” Klara mendesah lelah untuk yang kesekian kalinya. Jarum pendek di jam dinding sudah melewati angka tujuh namun Bu Hasna sudah meminta Klara untuk mencoba seisi lemari dan belum menemukan pakaian yang memuaskan pandangannya. Malam ini Klara akan datang ke rumah Nyonya Ayunda, wanita cantik yang kemarin datang dan tiba-tiba saja melamarnya untuk jadi menantu perempuannya. Ingatannya mendadak berputar ke satu hari yang lalu. Klara mengeratkan genggamannya. Perasaan di dadanya mendadak berkecamuk, “Apa aku harus menerima pernikahan mendadak ini?” “Coba katakan padaku, Has. Apa kamu juga menghendaki Klara untuk jadi menantuku? Kamu yang sudah merawat dan membesarkannya, aku tidak mau memberatkanmu dengan permintaan egoisku ini.” Ayunda menatap Hasna yang langsung mengubah wajahnya menjadi muram. Benar juga apa yang Ayunda katakan, ia telah merawat Klara selama dua puluh satu tahun lamanya. Dia yang pertama kali melihatnya merangkak, berjalan, bahkan menangis karena jatuh dari sepeda. Hasna tersenyum tipis, “Aku hanya menginginkan Klara untuk bahagia dengan pilihannya sendiri, Nyonya. Entah menikah maupun tetap melajang, selama ia tidak kehilangan pegangan hidupnya, itu sudah cukup bagiku. Seorang ibu palsu sepertiku tidak boleh terlalu egois dalam kehidupannya. Klara bahkan tidak mau diadopsi hanya karena mau menemaniku di sini.” Mendadak tetesan air mata keluar dari pelupuknya. “Aku takut. Aku takut jika nantinya aku tidak bisa melepaskannya. Aku …,” Ayunda mengangguk dan menepuk pundak Hasna yang sudah bergetar tersebut. “Aku tahu apa maksudmu. Kita para Ibu memang paling lemah jika berhubungan dengan anak kita sendiri. Tidak perlu dipaksakan, Has. Aku yakin jika Klara juga menyayangimu sebagaimana kamu menyayanginya. Percayalah padanya, Has. Itu yang satu-satunya bisa kamu dan aku lakukan pada anak-anak kita yang sudah memasuki usia dewasa. Percayalah. Lepaskan tangannya perlahan dan genggamlah hatinya.” Sungguh memilukan menatap wanita tua itu menangis tersedu-sedu, takut akan sepi yang selalu membayanginya. Klara, dari balik dinding, menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan sambil menahan tangisnya agar tidak bersuara. Dia merasa sesak, mendengar pengakuan itu. Klara sudah tahu jika Bu Hasna memang menyayanginya, meski ia sangat susah diatur dan selalu sibuk di dunianya sendiri. Namun, Klara tidak tahu sedalam ini kasih seorang ibu pada anaknya. Kasih yang tidak mungkin dapat Klara balas hanya dengan nominal maupun perhatiannya. Klara harus melapangkan dadanya. Ia akan menerima pernikahan ini. Suka atau tidak suka, Klara akan mengikuti kutipan di buku favoritnya. Witing tresno jalaran saka kulino. Dia akan menjalani pernikahan tanpa cinta ini dan berusaha menjadi istri selayaknya. Demi dirinya, demi ibu yang selalu mendoakan kebahagiaannya. “Mbak, cobain baju yang ini deh.” Ratih datang dengan sepasang baju lainnya. Itu adalah blouse katun lengan panjang berwarna soft blue dengan rok lipat yang memiliki warna seperti kopi s**u kesukaan Klara. Banyak krim dan sedikit gula. Sangat nikmat untuk menemani petualangannya saat membaca buku-buku di perpustakaan. Bu Hasna melebarkan matanya, merasa bahwa pakaian itulah yang cocok untuk Klara saat ini. Dia segera mengambil set pakaian itu dari tangan Ratih, membolak-baliknya seperti tengah meneliti apakah ada cacat di sana. “Dapat dari mana pakaian bagus seperti ini, Tih?” Ratih menengok ke arah pintu tempatnya datang. “Katanya dikirim sama Nyonya Ayunda, supirnya yang nganterin ke sini, bu.” Di ujung sana berdiri seorang pria tua berwajah ramah yang sudah menunggu kesiapan Klara. Bu Hasna menepuk jidatnya. Dia langsung menyerahkan pakaian itu pada Klara. “Cepat pakai, gih. Jangan lama-lama. Ayo cepet sana,” perintah Bu Hasna sambil mendorong Klara untuk masuk ke kamar. Klara hanya mendelik tidak paham. Padahal, yang sedari tadi memintanya untuk mencoba baju ini dan itu ‘kan Bu Hasna sendiri. Namun, sekarang dia juga yang menyuruh Klara agar bergerak cepat. Memang Klara tidak pernah akan bisa paham dengan para ibu-ibu sekarang ini. Tidak perlu banyak waktu untuk berganti, Klara sudah keluar dari kamarnya menggunakan baju yang dibawa oleh Ratih tadi. Sesaat kedua wanita itu tercengang melihat penampilan Klara yang sangat mempesona. “Uwah, cantik banget! Bener ‘kan, Bu?” tanya Ratih sambil menutup mulutnya kagum. Bu Hasna mengangguk cepat dan mengacungkan kedua jempol tangannya ke depan. Klara mesem-mesem sendiri karenanya. Dia lalu mengambil tas selempang yang senada dengan atasannya dan menghampiri Bu Hasna untuk berpamitan. “Klara pergi dulu,” tuturnya sambil mencium punggung tangan sang Ibu, meminta doa restu serta keselamatan yang akan selalu menyertainya. Bu Hasna mengangguk, “Hati-hati di jalan. Kalau sudah pulang jangan lupa ketuk pintu biar langsung Ibu bukain.” “Iya, Bu. Tih, kamu jaga ibu baik-baik ya. Suruh ibu minum obatnya setelah makan malam.” Klara mengusap puncak kepala gadis yang lebih muda empat tahun darinya tersebut. Ratih mengangguk menjawab ucapan Klara. Dia lalu pergi melewati pintu depan dan mendatangi pak supir terlebih dahulu. “Maaf pak, saya sudah siap untuk pergi.” “Oh, iya neng. Ayo masuk.” Pria paruh baya dalam balutan seragam supir itu lalu membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Klara untuk masuk ke dalamnya. Klara mengucapkan terimakasih terlebih dahulu sebelum menjatuhkan bokongnya di atas jok mobil yang ternyata sangat empuk dan nyaman. Wajar saja, Klara hampir tidak pernah menaiki mobil kecuali saat wisata panti asuhan ataupun acara-acara penting lainnya.  Mobil dinyalakan, desingannya terdengar halus dan menenangkan. Sangat mencirikan bagaimana seharusnya mobil mahal itu terepresentasikan. Klara ingin merangkai beberapa puisi hanya dari mendengar betapa selarasnya bisikan angin malam dan gesekan ban mobil di jalanan aspal yang saling bergantian berbicara. Netra Klara menggulir ke samping, menatap pepohonan yang berderet di tepi jalan, terlewati satu-persatu, seiring meningkatnya kecepatan mobil itu di jalanan. Pikiran gadis itu kini melayang entah kemana, ia memang selalu banyak berpikir. Mungkin Klara saat ini tengah memikirkan akan jadi apa hidupnya nanti, apakah keputusannya sudah benar dan satu hal yang mengganjalnya sejak kemarin, “Seperti apa calon suamiku nanti? Apa dia pria menyeramkan dengan wajah garang dan badan bertatto? Apa dia akan memukuliku setiap aku berbuat salah nantinya?” “Pak,” panggil Klara tanpa sadar. Ia mengerjapkan matanya karena kaget dengan ucapannya sendiri. Klara menutup mulutnya cepat. Sebenarnya apa yang dia pikirkan sampai keceplosan seperti ini? “Iya, neng?” Pak supir itu menengok dari spion dalam, melihat Klara yang mendadak kebingungan karena ucapannya datang tanpa diminta. Klara menggaruk kepalanya, ia harus menanyakan apapun untuk saat ini. “Eh …, anu pak. Mas Dean yang diceritakan sama Bu Ayunda, itu kayak gimana orangnya pak?” Klara menggigit bibirnya keras, kenapa dari sekian banyak pertanyaan, basa-basi ataupun hal lainnya yang bisa ia lontarkan, mulutnya harus mengeluarkan pertanyaan itu. Tidak dipungkiri, Klara memang ingin mengetahui seluk-beluk dari seseorang yang akan menjadi calon suaminya tersebut. Anggap saja sebagai modal dasar agar Klara tidak diusir hanya karena sang calon suami ternyata sudah punya selingkuhan dan memilih untuk tinggal bersama selingkuhannya atau hal-hal yang sering ia baca di novel roman lainnya. Bapak itu nampak seperti menghela napas, ia sendiri bingung bagaimana mau menjawab pertanyaan Klara. “Gimana ya, neng … bapak juga sudah sepuluh tahun lebih enggak ketemu sama tuan Dean. Sejak remaja, tuan Dean jarang pulang ke rumah kecuali pas ada acara-acara besar keluarga. Itu pun hanya sebentar saja. Sejak kabar tuan masuk penjara gara-gara ikut dalam gembong penjualan illegal, saya udah gak pernah ketemu lagi sama tuan.” “Oooh, gitu ya pak.” Klara mengulum bibirnya pelan, jadi orang seperti itu yang akan Klara nikahi nantinya? Apa dia masih diperkenankan untuk menolak? Klara menggeleng kuat, tidak, dia tidak boleh menolaknya. Mengingat kondisi Bu Hasna yang semakin hari semakin lemah, Klara tidak tahu apakah beliau masih bisa hadir di pernikahannya jika mengundur terlalu lama. Juga, Klara sudah cukup umur untuk menikah. Dia tidak pemilih dalam menentukan siapa pendamping hidupnya. Asal itu membuat ibunya dan Bu Ayunda merasa bahagia akan pernikahan ini, tidak apa-apa jika Klara nantinya tidak bahagia. Ia sudah menemukan kebahagiaannya sendiri, dengan tumpukan buku kesayangannya. “Tapi, neng. Saya bisa jamin tuan Dean orang yang baik dan penyayang. Dia hanya sedang tersesat di dalam dirinya sendiri.” “Maksudnya, pak?” tanya Klara tak paham, tersesat di dalam dirinya sendiri? Apa itu sebuah perumpamaan atau memang Dean memiliki kondisi kejiwaan yang terganggu? Bapak itu tidak menjawabnya dan terus melajukan mobil di jalanan, sampai mereka berbelok di sebuah kompleks super megah yang membuat mata Klara langsung terbuka begitu lebar. Semua pertanyaan tadi terarsip dengan sendirinya dan berganti dengan ungkapan kekaguman pada rumah yang sangat besar di depan mereka. “Sebenarnya keluarga seperti apa yang akan aku datangi?” gumam Klara sedikit takut. Bulu kuduknya merinding dan tegak berdiri. Orang normal tentu saja akan merasa takut bukannya senang saat melihat eksterior yang mirip dengan milik istana di Kerajaan Inggris yang pernah Klara baca di buku Ensiklopedia. Mobil yang ia naiki memarkirkan diri di depan pintu masuk. “Sudah sampai, neng. Ayo turun.” “Hah?” Klara melongo kecil, masih tidak tanggap akan ucapan supir tersebut. Otaknya yang biasanya bekerja cepat itu bahkan melambat saat menatap semua furnitur berlapis emas yang berjejer rapi di depannya. Klara lalu kembali ke kesadarannya, “Oh, iya. Saya turun.” Pintu mobil ia buka dengan satu tangan, kakinya ia tegapkan agar tidak bergetar saat menginjak lantai marmer yang harganya melebihi uang bulanan di panti asuhan tempatnya hidup hingga sekarang. Klara terdiam, matanya masih asyik memandangi dekorasi yang menempel di atas pintu masuk. Seperti lukisan di zaman renaisans dengan warna kilauan yang tidak luput dari emas. Entah berapa lama Klara sudah berdiri di situ sambil memperhatikan satu-persatu detil pintu masuk itu. “Minggir,” perintah seseorang dari arah belakang. Klara melonjak kaget. Ia berbalik cepat dan menatap seorang pria yang tidak pernah ia lihat di dalam hidupnya—Siapa dia? Mata sedingin serigala itu melirik ke arah Klara, menelisiknya dari atas hingga bawah. “Siapa kamu?” “S-saya?” Klara mendadak tergagap, ia tidak tahu mengapa tangannya bergetar hebat seperti ini hanya dengan tatapannya. Ia seperti ranjau berbahaya yang tidak boleh Klara dekati, Klara tidak nyaman berada di dekatnya. Sangat menakutkan, mengintimidasi. “Klara, kamu udah datang, nak?” Klara langsung mengalihkan tatapannya pada Bu Ayunda yang datang menyambutnya. Syukurlah, Klara ingin segera pergi dari pria di sebelahnya ini. Bu Ayunda mendadak terdiam saat menatap pria tersebut. Matanya langsung berkaca-kaca. Entah menangis haru, rindu atau bersalah. “Dean!” “Apa?” gumam Klara kaget. Seperti mendapat hunjaman keras di jantungnya, Klara langsung terpukul fakta mendengar pria yang ingin ia hindari saat ini adalah calon suami masa depannya nanti. Klara menatap kaget pria yang kini mengeluarkan seringaian kecil tersebut. “Aku pulang.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN