Bab 11. Masalah Besar

1226 Kata
Terlambat. Secepat apapun Arista bertindak untuk membungkam staf hotel yang pertama kali menemukan m*yat itu, berita menghebohkan itu tetap tersebar dengan cepat. Seorang tamu hotel yang menyewa kamar di sebelah kamar 305 keluar tepat setelah staf housekeeping berlari terbirit-b***t. Meninggalkan kamar itu dalam keadaan terbuka. Ya, bisa ditebak kelanjutannya. Tamu itu mengintip dengan lancang, menyadari kejanggalan pada dua sosok tubuh di atas ranjang, lantas segera merekam dan mengunggahnya ke media sosial. Tak lupa menyertakan caption kontroversial yang menggiring opini. Kurang dari dua jam, bahkan sebelum hasil autopsi awal keluar, video itu sudah dibagikan hingga lintas platform. Semakin banyak orang yang melihat, semakin banyak dibagikan, semakin cepat wartawan membuat berita, maka semakin cepat pula penurunan angka penjualan kamar hotel Sunflower. “Kamu bilang semua tamu di lantai 3 sudah check out siang ini?” tanya Arista memastikan, wajahnya terlihat pucat dan lelah. “Iya, Bu. Bahkan ada yang seharusnya nginap sampai besok tapi sudah keluar barusan.” Resepsionis wanita itu meringis, tak enak hati menyampaikan berita buruk. Arista memijit pelipis, pening seketika. Ia melirik ke luar lobi hotel. Tempat puluhan pemburu berita sedang berusaha keras menerobos masuk. Beruntung sekuriti hotel yang berkerja sama dengan polisi masih mampu mengendalikan massa. Tapi hanya soal waktu mereka akhirnya bisa masuk dan membuat keributan. “Permisi,” tiba-tiba sepasang suami istri yang membawa balita tergopoh-gopoh mendatangi meja resepsionis. Arista segera menyingkir, memberi akses. “Kami mau check out,” ujar sang istri dengan wajah gelisah sambil menyodorkan kunci kamar. Arista mundur, mengintip layar komputer di bawah meja resepsionis yang berisi daftar nama tamu dan kamar hotel yang disewa. “Baik.” Resepsionis wanita yang tadi mengobrol dengan Arista cekatan membantu proses check out. “Mohon maaf, mengikuti prosedur yang ada kami tidak bisa melakukan proses refund biaya sewa kamar hotel yang sudah dibayarkan.” Keluarga kecil itu baru menginap semalam di hotel Sunflower dari tiga malam yang sudah mereka pesan. “Nggak apa-apa,” sahut sang istri cepat. “Itu nggak masalah. Yang penting kami mau cepat keluar aja.” “Kenapa, Bu?” celetuk Arista tiba-tiba. “Aduh, gimana, ya?” sang istri menggaruk pipinya, wajahnya tampak sungkan. “Soalnya saya punya anak kecil. Kalau nginap sehari lagi aja, takut digangguin sama arwah yang di lantai 3 itu,” ucapnya lugas. Arista menghela nafas, tersenyum masam. Tentu keluarga kecil itu sudah mengetahui soal penemuan sepasang jasad di kamar 305. “Berapa kamar yang masih terisi?” tanya Arista pada si resepsionis setelah keluarga kecil tadi meninggalkan lobi. “Kurang dari 50%, Bu. Kamar yang sudah disewa untuk beberapa hari ke depan juga ada yang dibatalkan.” Arista menggigit bibir. Ini buruk, buruk sekali. Apalagi dengan kecepatan penyebaran berita di media sosial yang sulit dikendalikan. Hanya soal waktu hingga seluruh kamar di hotel Sunflower kehilangan penyewanya. Sementara itu di tempat yang berbeda, di lantai teratas sebuah gedung bergaya futuristik yang berada di pusat kota Jakarta, Hardiyanto tengah terkekeh senang sembari menggulirkan jemarinya di atas ponsel. Membaca satu persatu judul berita yang baru saja diterbitkan. Salah satunya berbunyi, ‘Viral! Penemuan m*yat di kamar hotel Sunflower hingga tamu yang berbondong-bondong check out’. “Hahaha, hahaha!” Hardi tergelak, rona puas menghiasi wajahnya. “Sudah kubilang, kalian salah memilih lawan!” *** Pukul sembilan malam, rapat dadakan yang digelar sejak sore tadi baru saja usai. Belasan jajaran manajer hotel keluar dari ruang rapat dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Namun, ada satu kesaaman gurat di wajah mereka, gelisah. Masalah yang menimpa hotel Sunflower kali ini sungguh menyita banyak sekali tenaga dan pikiran. “Kamu harus bisa menyelesaikan ini kurang dari 48 jam, Arka.” Yaksa berpesan setelah semua orang keluar ruangan. Arka mengusap wajah. “Iya, Pa.” Yaksa beranjak mendekati putranya. “Kamu tahu, belasan tahun lalu, waktu kamu masih belajar di Swiss, hotel Peninsulajuga pernah menghadapi masalah seperti ini." Ia menyebutkan sebuah nama hotel yang pernah berjaya belasan tahun silam. "Sayang sekali, mereka tidak bisa bertindak cepat. Penjualan kamar hotel mereka terus menerus mengalami penurunan. Berita itu menyebar dari mulut ke mulut. Masyarakat yang terlalu mempercayai hal mistis jadi enggan menginap di sana. Sampai akhirnya, lima tahun berselang, direktur baru mereka berhasil mengangkat nama Peninsula lagi. Mereka terbantu karena media sosial di tahun 2010-an belum seramai sekarang. Dan tim mereka sangat pandai memanfaatkan media sosial untuk rebranding dan marketing.” Ruang rapat lengang sejenak. Arka menunggu kelanjutan cerita masa lalu itu. “Papa nggak mau menunggu lebih dari lima tahun untuk menemukan orang yang tepat mengelola hotel ini, Arka,” pungkas Yaksa kemudian. Ia kecewa dengan kejadian hari ini dan ketidakmampuan tim Arka untuk mengendalikan berita, tapi ia juga tahu bahwa kasus ini bisa menjadi proses pendewasaan bagi Arka dan timnya. Arka menelan ludah. Kalimat itu diucapkan dengan nada datar dan tenang. Tapi entah mengapa justru amat membebani Arka. Yaksa berpamitan usai mengobrol satu dua kalimat, berpesan agar Arka juga segera istirahat. Arka menghela nafas panjang setelah sang ayah benar-benar meninggalkan ruangan. Ia melonggarkan dasinya, melepas kancing teratas kemejanya, lantas tertunduk lesu. Arista yang sejak tadi masih berada di ruangan itu mendekat. Menyentuh lengan Arka pelan. “Bapak belum makan malam, ‘kan?” ucapnya lembut. Arka tersenyum getir. “Nggak selera, Ta.” “Tetep harus makan, Pak. Bapak butuh energi buat mikir jalan keluarnya. Tenang, saya temenin, kok.” Arista tersenyum manis meski sebenarnya ia juga pening. “Ya sudah, terserah kamu mau dipesenin apa.” Arka menyerah, membiarkan kekasih sekaligus sekretarisnya mengurusi kebutuhan primernya. Arista sudah hampir keluar ruangan untuk memesan makanan ketika tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalanya. Ia kembali mendekati Arka. “Kenapa balik?” tanya Arka bingung. “Do you need some hugs to make you little bit better, sweetheart?” tawarnya dengan senyum manis. Arka mengangkat alis, terkejut. Tapi akhirnya ia mengangguk. Merentangkan tangannya, menyambut tubuh ramping Arista yang berhambur memeluknya. Mereka bertahan dalam posisi saling berpelukan selama beberapa detik. Arka memeluk pinggang ramping Arista erat, menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher wanita itu, menghirup aroma vanilla yang menguar dari tubuh kekasihnya. Arka lupa kapan terakhir kali ia mendapatkan pelukan hangat dan menenangkan seperti ini. Tapi yang satu ini sepertinya akan membekas untuk waktu yang lama. Tiba-tiba Arka melonggarkan pelukannya. “Sudah merasa lebih baik?” tanya Arista lembut. Arka menggeleng, memasang wajah sedih yang dibuat-buat. “Oh, laper, ya? Sebentar saya pesenkan makan…” “Di sini dulu aja,” lirih Arka. Suara basnya yang rendah membuat Arista merinding. Arista menurut. Membiarkan lengan kekar Arka tetap melingkari pinggangnya. “I think…” Arka melempar tatapan intens. “I need a quick kiss too.” Arista tergelak, namun akhirnya memurut juga. “As you wish, sweetheart,” gumamnya lantas mengikis jarak di antara mereka kemudian memberikan sebuah kecupan singkat di bibir bosnya. Singkat saja, kurang dari 4 detik. Karena di detik keempat, ponselnya berdering nyaring. Sebuah telepon dari penyidik kepolisian. Arista segera melepaskan lengan Arka dari pinggangnya yang membuat pria itu manyun. Seperti anak kecil yang mainan kesayangannya direbut. Tapi Arista tak punya waktu untuk menggubrisnya, ia dengan cepat berbalik membelakangi Arka, berdehem pelan sebelum mengangkat telepon. “Ya, halo? Bagaimana, Pak?” “Ibu bisa ke kantor polisi sekarang? Ada yang perlu kami diskusikan,” ucap pria di ujung telepon tanpa basa-basi. “Ada apa, ya, Pak?” “Sepertinya kami akan menetapkan ini sebagai kasus b*nuh diri. Kami menemukan surat wasiat mereka beserta sebuah rekaman.” Alis kecokelatan Arista bertaut. “Rekaman?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN