bc

Menjadi Pacar Gadungan Pak Direktur

book_age18+
797
IKUTI
7.2K
BACA
HE
confident
boss
drama
bxg
office/work place
assistant
like
intro-logo
Uraian

Arkana Maheswara, direktur hotel Sunflower menolak perjodohan yang direncanakan orang tuanya dengan dalih telah memiliki pacar. Arista Widya, sekretaris direktur yang mempunya misi balas dendam dalam mendekati Arka segera menawarkan diri untuk menjadi pacar gadungan sang direktur. Mereka pun terlibat dalam sandiwara cinta yang memabukkan. Perlahan-lahan, Arista justru merasa nyaman dengan perannya sebagai kekasih sang direktur. Hingga akhirnya rencana licik Arista terbongkar dan Arka bertemu kembali dengan wanita dari masa lalunya, Jovanka.

Bagaimana Arka menyikapi kehadiran wanita yang pernah mencampakkanya dahulu? Akankah Arista tetap berpegang pada tujuan utamanya untuk membalaskan dendam? Dan, bagaimana akhir kisah sandiwara cinta Arka dan Arista?

Yuk, ikuti terus kisah Arka dan Arista dalam ‘Menjadi Pacar Gadungan Pak Direktur’.

Selamat membaca dan selamat jatuh cinta...

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1. Menolak Perjodohan
“Apa-apaan berita ini? Perjodohan … kapan aku menyetujuinya?” Seorang direktur Hotel Sunflower bernama Arkana Maheswara tampak menggebrak meja kerjanya saat membaca salah satu portal berita lewat ponselnya. Bagaimana tidak, berita itu memuat sebuah kebohongan besar bahwa ia akan menikah dengan putri dari salah satu partner bisnis keluarganya. Perjodohan yang sejak beberapa bulan lalu memang sering dibahas orang tuanya. Namun, Arka – biasa pria itu dipanggil, selalu mengalihkan pembicaraan dan tak pernah sekalipun mengiyakan rencana perjodohan itu. “Pasti papa dalangnya! Hobi banget sih ngejodohin anaknya!” Kedua alis tebalnya bertaut, wajahnya merengut kesal. Pria bertubuh jangkung itu segera menggulirkan jemari di atas ponsel untuk menghubungi sang ayah yang ada di balik berita bohong itu. Namun, belum juga ia menekan ikon telepon berwarna hijau, suara keributan terdengar dari balik pintu ruang kerjanya. “Ini lagi, siapa sih yang bikin keributan pagi-pagi?!” Arka berdecak kesal, melangkah lebar menuju pintu. Satu meter sebelum mencapainya, pintu itu sudah terbuka lebar. Menampilkan wajah sumringah seorang wanita yang namanya bersanding dengannya di berita tadi. “Kak Arka!” Suaranya melengking riang. Membuat wajah kesal Arka semakin mengeras. “Maaf, Pak. Saya sudah berusaha menahannya karena kak Lia belum buat janji temu lebih dulu, tapi Kak Lia memaksa masuk.” Arista Widya, sekretaris direktur yang sudah bekerja dengan Arka selama empat tahun terakhir itu menjelaskan dengan sopan. Arka mendengus, menatap tajam wanita yang dipanggil Lia. “Ngapain kamu ke sini?!” desisnya marah. Wajahnya terlihat sangat tidak ramah. “Ih, ngapain lagi dong? Menyapa calon suamiku.” Lia berlari berhambur memeluk lengan Arka, bahkan tanpa permisi nyaris mencium pipi pria itu. “Lepaskan, Lia!” Arka berteriak marah. Wajahnya merah padam. “Nggak mau!” Lia semakin mengeratkan pelukannya. “Memangnya Kak Arka belum baca berita? Kita bakal nikah, loh. Masa gini aja Kak Arka malu? Oh, atau karena masih ada orang lain?” Lia melirik Arista yang masih berdiri di pintu yang masih terbuka. “Ah, iya, maaf. Kalau gitu, saya buatkan minum dulu,” ucap Arista sambil buru-buru menutup pintu. “Nah, sekarang sudah nggak ada orang. Masa masih malu?” Lia berjinjit, memonyongkan bibir hendak mencium pipi Arka. “Minggir, Lia!” Arka berseru sambil mendorong wajah Lia menjauh. “Saya nggak pernah setuju dengan perjodohan itu!” Ia bahkan menghempaskan lengan Lia kuat-kuat. Membuat pelukan gadis itu terlepas dan Lia meringis kesakitan. “Tapi beritanya sudah diumumin di media, Kak,” cicit Lia takut-takut sembari mengusap lengannya. “Saya nggak peduli! Saya akan merilis berita pembatalannya sore ini juga!” Arka melotot marah, emosinya sudah di ubun-ubun. Ia paling tidak suka keputusan tanpa musyawarah seperti ini. Lia menggembungkan pipinya, manyun. “Jangan, Kak. Nanti semua keluarga kita yang malu, Kak.” “Apa urusan saya?! Waktu mereka merilis berita ini apa ada yang mikirin saya?!” ucap Arka tajam. Lia terdiam. Ia hampir tak pernah bertemu dengan sosok Arka yang sangat marah begini. “Sekarang kamu keluar, Lia. Urusan perjodohan ini biar saya yang batalin. Resikonya juga biar saya yang tanggung.” Arka sudah kembali ke kursinya, bersiap menelepon seseorang. “Tapi, nanti papi dan om Yak–” “Keluar, Lia!” bentak Arka geram. Kesabarannya sudah habis. “Tapi, Kak–” “Saya bilang, KELUAR!!!” Suara basnya membahana ke seluruh ruangan, bahkan terdengar hingga ke luar ruangan. Lia tercekat di tempat. Ia tak pernah dibentak seperti ini oleh orang lain. Maka gadis itu berbalik dengan air mata di pelupuk. Lantas berlari keluar ruangan dengan wajah yang basah. Nyaris menabrak Arista yang hendak masuk mengantarkan minuman. Arka mendesah panjang, tapi ia tak punya banyak waktu untuk menenangkan diri. Perjodohan itu harus segera dibatalkan. “Halo, Pa?” sapanya begitu panggilan teleponnya tersambung. “Halo, ada apa, Nak?” suara berat papanya, Yaksa, terdengar di ujung telepon. “Arka sudah baca berita soal perjodohan dengan Lia.” “Bagus! Kalau begitu, besok kita adakan—” “Arka menolak!” sergah Arka cepat. “Apa kamu bilang?!” Suara Yaksa berubah tajam dan dingin. “Arka nggak pernah setuju dengan perjodohan itu, kenapa bisa tiba-tiba ada berita yang rilis?!” Arka mengepalkan tangannya kuat-kuat, sebisa mungkin tak terdengar membentak papanya. Bagaimanapun, ia sangat menghormati Yaksa baik sebagai seorang papa maupun sebagai senior di bidang bisnis. “Apa alasanmu menolak Lia? Papa sudah memberitahumu jauh-jauh hari soal ini, Arka! Jangan tiba-tiba menolak ketika berita sudah dirilis begini! Mau ditaruh mana–” “Arka nggak pernah bilang setuju, Pa!” “Ya, tapi sekarang berita sudah rilis, Arka! Nama kamu dan Lia sudah dipastikan bakal–” “Arka sudah punya pacar,” potong Arka asal. Padahal boro-boro pacar, teman dekat wanita saja ia tak punya. Tapi hanya itu satu-satunya alasan yang menurutnya bisa membuatnya terhindar dari perjodohan itu. “APA?!” Arka menjauhkan ponselnya sejenak, suara Yaksa melengking tajam di ujung telepon. “Apa kamu bilang? Punya pacar? Jangan bercanda, Arka!” “Arka serius, Pa. Arka sudah punya pacar. Memang belum pernah dikenalin ke keluarga, karena baru beberapa bulan pacaran,” tutur Arka tanpa ragu. Benar kata pepatah, orang akan jadi pandai berbohong ketika terdesak. Dan begitulah Arka sekarang. Lengang sejenak, baik Arka maupun Yaksa sama-sama terdiam. Hingga akhirnya terdengar suara helaan nafas berat di seberang telepon. “Baiklah, kalau begitu bawa pacarmu ke rumah Eyang Ni besok malam. Sekalian ikut malam keluarga. Kalau sampai kamu nggak bisa bawa pacarmu itu, nggak ada alasan apapun lagi. Kamu harus menikah dengan Lia.” Yaksa sudah memutuskan. Arka tersenyum senang. “Baik, Pa.” Tapi senyum itu hanya bertahan sejenak. Karena setelah telepon terputus, kepalanya mulai terasa pening. “Dari mana aku bisa dapat pacar dalam sehari?” gumamnya frustasi. “Permisi, Pak.” Tiba-tiba Arista masuk ke ruangannya bersama nampan berisi dua cangkir teh. “Sebenarnya ini teh untuk kak Lia dan Pak Arka tadi, tapi kak Lia sudah pergi. Jadi….” “Taruh di sana, Ta.” Arka menunjuk meja kaca yang dikelilingi sofa berwarna abu tua di tengah ruangan. “Kamu juga duduk di sana. Temani saya ngobrol. Kepala saya pusing sekali.” “Baik, Pak.” Arista tersenyum manis, menurut. Arka menghempaskan tubuhnya di sofa, bersamaan dengan helaan nafas panjang. “Kenapa, Pak? Ada masalah?” tanya Arista setelah duduk tepat di hadapan bosnya. Empat tahun bekerja dengan Arka, ia hampir bisa mengartikan setiap perubahan sikap bosnya itu. Arka diam, menatap sekretarisnya lekat. “Kalau aku cerita, apa Arista bisa membantuku?” gumamnya dalam hati. “Pak Arka?” tegur Arista setelah Arka terdiam cukup lama. “Saya butuh perempuan, Ta,” ucap Arka tiba-tiba. “Apa, Pak?!” sontak Arista melotot. “Maksud Bapak … butuh perempuan untuk ….” Ia mengisyaratkan tanda kutip dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. “Oh, bukan bukan!” Arka menggeleng tegas. Memperbaiki posisi duduknya sejenak lantas memutuskan untuk menceritakan masalahnya. “Saya berbohong sama orang tua saya kalau saya punya pacar. Yah, dan selanjutnya kamu tahu sendiri. Mereka minta saya bawa pacar saya ke hadapan mereka besok, saat makan malam di rumah Eyang Ni.” “Oh, gitu.” Arista mengangguk-angguk. Arka melipat bibir, menyugar rambutnya kasar, sedikit kecewa dengan reaksi datar sekretarisnya. “Ya jelas aja dia nggak bisa membantu, ini urusan pribadi bukan urusan pekerjaan. Dia nggak punya kewajiban buat membantuku.” “Pak Arka butuh perempuan yang gimana emang?” tanya Arista lagi. Arka berpikir sejenak. “Saya butuh perempuan yang bisa berakting menjadi pacar saya di depan keluarga saya dan meyakinkan mereka bahwa hubungan kami nyata.” Arka tahu konsekuensi dari mengenalkan perempuan ke keluarganya, apalagi di tengah berita pembatalan perjodohannya dengan Lia. Pastilah keluarganya takkan mungkin langsung percaya. Jadi, ia harus benar-benar bisa meyakinkan mereka bahwa yang ia bawa adalah benar kekasihnya. “Kalau … sama saya gimana, Pak?” tawar Arista tanpa ragu. Arka melotot sempurna. Benar-benar tak menyangka kalimat itu akan keluar dari bibir sekretarisnya. “Kamu serius, Ta?” “Tentu saja, Pak,” jawab Arista sambil tersenyum manis. “Tentu saja aku serius, apalagi ini demi kelancaran rencanaku,” batin Arista berseru girang. Ini benar-benar kesempatan emas bagi Arista. Dan ia takkan pernah mundur demi keberhasilan rencana yang membawanya sampai di titik sekarang ini.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Tentang Cinta Kita

read
215.1K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.6K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.8K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
173.3K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
296.1K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.7K
bc

TERNODA

read
193.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook