Bab 2. Tawaran Menggiurkan

1282 Kata
Arka kehabisan kata-kata. Ia hanya termangu. Menatap wanita yang selama empat tahun terakhir ini menjadi sekertarisnya dengan raut wajah yang bingung. "Apa kamu yakin, Arista?" "Tentu saja saya yakin, Pak. Bukankah saya adalah salah satu staf yang paling mengerti, Pak Arka? Lagi pula, Bapak juga sangat percaya sama saya, kan?" Arka berdehem pelan. Mengembalikan akal sehatnya yang barusan menguap entah ke mana. Kalimat-kalimat Arista berhasil menyita seluruh perhatiannya dalam sekejap. “Tapi … kalau keluarga saya sampai mendesak untuk bertunangan dan menikah, bagaimana?” “Saya nggak masalah, Pak,” timpal Arista cepat. “Lagipula saya lagi jomblo dan Pak Arka juga sedang butuh pasangan untuk dikenalkan ke keluarga sekaligus untuk membatalkan perjodohan, win-win solution. Bukan begitu, Pak?” Arka menelan ludah. Ia tidak tahu bahwa Arista punya sisi yang sangat frontal begini. “Saya … jadi nggak bisa menanggapi apapun, Ta,” ucapnya canggung. Arista tersenyum. “Nggak perlu dijawab sekarang, Pak. Pak Arka bisa memikirkannya perlahan. Masih ada waktu sampai besok sore, ‘kan? Karena kalau Pak Arka setuju, kita perlu menyiapkan skenario di depan orang tua Bapak.” Ia berhenti sejenak, menyesap tehnya yang mulai hangat. “Saya hanya berpikir cara itu sangat efektif dan efisien. Memangnya Pak Arka masih punya waktu untuk bertemu dan mengenali orang baru selain untuk urusan pekerjaan?” Arka kembali terdiam, kalimat Arista sangat tepat sasaran. Kini, tawaran itu terlihat sangat menggiurkan baginya. ”Benar juga apa yang Arista bilang, lagi pula aku sudah tahu kinerjanya bagus. Mungkin, aktingnya menjadi pacar gadunganku juga akan bagus.” *** “Pak, saya gugup,” ujar Arista begitu keluar dari salon tempatnya merias diri. Ini ide Arka, bahkan gaun yang ia pakai malam ini pun atas saran dari Arka. Katanya, ia ingin mengenalkan Arista dalam kondisi paling prima. Dan lihatlah pria itu sekarang, ia tak bisa memalingkan wajahnya dari penampilan Arista yang baru pertama kali ia lihat. Arista berdiri di hadapannya dalam balutan dress satin selutut berwarna biru muda lembut, model off shoulder menampilkan bahu polos sekaligus tulang selangkanya yang indah, dan sebuah pita berwarna senada menjadi pemanis di sepanjang pinggangnya. Malam ini, rambutnya sengaja diikat low ponytail untuk menampilkan leher jenjangnya. “Pak?” Arista melambaikan tangan di depan wajah Arka. “Eh? Oh, maaf. Tadi kamu bilang apa?” Arka gelagapan, wajahnya sedikit memerah karena salah tingkah. “Saya gugup,” ulang Arista. “Santai aja. Ada saya, lagipula kita udah nyiapin skenario tadi ‘kan?” Arista tersenyum, mengangguk mantap. “Ya sudah, ayo! Jam tujuh kita sudah harus sampai di rumah eyang Ni.” Ya, Arka akhirnya setuju dengan ide Arista. Lagipula, memang tidak ada solusi lain yang lebih baik daripada menjadikan Arista sebagai pacar bohongan. Kalaupun mereka harus terpaksa bertunangan, Arka merasa tidak keberatan mendapat pasangan seperti sekretarisnya itu. Arka dan Arista tiba tepat waktu di kediaman eyang Ni. Seorang asisten rumah tangga mengantarkan mereka ke ruang makan utama. Arista sempat berhenti sebentar sebelum memasuki ruangan, menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan untuk menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. “Arista?!” Dewi, mama Arka terkejut bukan main ketika putra sulungnya masuk bersama seorang wanita yang amat ia kenal. “Jangan bilang pacar yang kamu maksud itu adalah sekretarismu sendiri, Arka?!” tanya Yaksa tajam. Wajahnya mengeras, sangat tidak bersahabat. “Bener, Pa. Kenalin, ini pacar yang Arka bilang kemarin.” Arka mendorong punggung Arista pelan. Wanita di sisinya maju selangkah, mengangguk sopan sambil tersenyum semanis mungkin. “Papa nggak pernah ngajarin kamu kerja sambil pacaran, Arka!” Yaksa berdiri, menggebrak meja makan geram. “Siapa bilang Arka begitu? Kerja ya kerja, pacaran ya pacaran. Apa selama ini Papa pernah merasa nggak puas dengan kinerja Arista atau kinerja Arka? Enggak, kan? Nggak pernah ada keluhan dari siapapun soal kerjaan dia. Kalau pada akhirnya Arka jatuh cinta sama Arista, itu takdir, Pa. Lagipula, memangnya bisa kita mengatur mau jatuh cinta sama siapa?” “Bisa!” sergah Yaksa cepat. “Seharusnya kamu bisa, Arka! Seharusnya kamu nggak jatuh cinta sama sekretarismu sendiri!” “Semuanya, tenanglah!” Eyang Ni, sesepuh keluarga Maheswara akhirnya bersuara setelah beberapa menit hanya menonton drama pertengkaran ayah dan anak itu. “Arka menolak dijodohkan dengan putri Hardiyanto hanya karena seorang karyawan biasa, Ma!” Yaksa protes tak terima. “Mau ditaruh mana mukaku? Dia sudah marah-marah sejak kemarin sore. Kerjasama bisnis dengan Hardiyanto bahkan bisa terancam putus, Ma.” “Aku mengerti.” Eyang Ni mengangguk tenang. “Sekarang duduklah dulu.” Yaksa mendengus kasar, masih melemparkan tatapan tajam ke arah putra sulungnya. Namun, pada akhirnya ia menurut. Duduk dengan wajah ditekuk. Selera makannya sudah menguap. “Kalian duduklah juga.” Kali ini eyang Ni bicara pada Arista dan Arka. Mereka berdua mengangguk, duduk di kursi yang sudah disediakan. Lalu setelah semuanya tenang, eyang Ni kembali berujar. “Arka, kau mengerti konsekuensi dari tindakan yang kau lakukan sekarang?” Tatapan tajam eyang Ni menghunjam ke manik mata cucu sulungnya. “Sangat mengerti, Eyang,” balas Arka mantap. “Kau sudah menyiapkan diri menghadapi Hardiyanto? Dia tidak akan tinggal diam, Arka. Kau membatalkan perjodohan dengan Lia saja itu sudah membuat dia marah. Apalagi sekarang kau sampai membawa perempuan pengganti Lia.” Eyang Ni menunjuk Arista yang masih diam. “Arista bukan pengganti Lia, Eyang. Sejak awal Arka nggak pernah mau dijodohkan dengan Lia,” sahutnya tegas. “Oke, Eyang mengerti.” Eyang Ni mengangguk takzim. “Memang papamu yang salah, sembarangan merilis berita padahal kau belum setuju.” Yaksa melotot, semakin kesal dengan ucapan ibunya. “Eyang juga nggak setuju kamu dijodohkan dengan Lia, meski bapaknya adalah kolega bisnis kita sejak lama. Tapi, bukan berarti Eyang setuju dengan perempuan yang kamu bawa sekarang, Arka.” Arista yang masih bertahan dengan senyumannya, diam-diam mengeluh dalam hati. “Memang, ya. Orang-orang kaya tuh ribet banget.” “Arista.” Suara eyang Ni berubah dingin. “Iya, Eyang?” “Kau tahu seberapa besar tanggung jawab menjadi pendamping Arka?” Kalimat eyang Ni terdengar seperti sembilu, tajam menyayat hati. Wanita bermental tahu takkan sanggup berada di ruangan ini lebih lama. Tapi tentu saja itu bukan Arista. “Tahu sekali, Eyang,” jawab Arista tenang. “Selama bekerja bersama, saya tahu pak Arka telah dipersiapkan menjadi penerus pak Yaksa, beliau juga mendedikasikan hampir seluruh waktu dan tenaganya untuk kemajuan bisnis keluarga. Maka menjadi pendamping pak Arka berarti juga harus mau memegang prinsip itu.” Ruang makan itu lengang sejenak. Kalimat panjang Arista sedikit banyak membuat Arka terkesima. Tapi tidak dengan Yaksa yang justru semakin mengerut tak suka. “Dia pasti mengincar harta keluarga kita, Ma!” Yaksa berseru marah. “Aku mengerti keresahanmu, Yaksa,” tandas eyang Ni, lalu beralih menatap Arista lagi. “Aku bukan orang tua kolot yang akan menolakmu hanya karena aku tak suka, Arista. Padahal kau adalah perempuan yang dicintai cucuku. Karena itu, tunjukkan padaku bahwa kamu benar-benar layak menjadi pendamping cucuku!” “Baik, Eyang. Terima kasih atas pengertian yang Eyang berikan.” Arista mengangguk sopan. “Terima kasih, Eyang Ni, karena sudah memberi kesempatan agar rencanaku untuk merebut salah satu bisnis keluarga Maheswara jadi lebih mudah,” batin Arista dengan seringai tipis. Namun, itu hanya berlangsung singkat karena seringai itu seketika berubah menjadi senyuman manis saat mama Arka mengajaknya bicara. “Kalian saling mencintai?” tanya Dewi penasaran. “Tentu saja, Ma.” Arka menggenggam tangan Arista dan membawanya ke atas meja. Sengaja, supaya terlihat meyakinkan. “Bukan begitu, Sayang?” Sekarang ia bahkan berani mencium punggung tangan sekretarisnya itu. Membuat Arista sedikit bergidik. “Baiklah. Maka tugas kalian bukan hanya meyakinkan kami yang ada di sini, tapi juga memastikan kemarahan papi Lia tidak akan sampai menghancurkan bisnis keluarga kita,” ucap Dewi dengan wajah yang amat serius. Membuat Arka dan Arista bahwa ini bukan sekedar main pacar-pacaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN