“Kurang ajar!” Hardiyanto meradang, nyaris melempar tablet yang ia gunakan untuk membaca berita. “Anak bau kencur itu berani menolak anakku?!” Matanya berkilat marah, menatap tablet yang saat ini menampilkan sebuah berita terhangat.
'Mengejutkan! Arkana Maheswara membatalkan secara sepihak perjodohan dengan keluarga Hardiyanto, apa alasannya?'
Begitu judul artikel berita yang sedang dibaca Hardiyanto. Jelas saja ia marah karena menolak putrinya sama saja dengan menginjak-injak harga dirinya. Dan Hardiyanto pantang sekali diperlakukan seperti itu.
“Papiiiii!” Rengekan putri kesayangannya terdengar melengking, gadis cantik itu berlari kecil memasuki ruang kerja papinya.
“Ada apa, Sayang?” Hardi segera menyambut. Wajah sangarnya berubah lembut.
“Huhuhu, Papiiii! Kak Arka jahat! Kak Arka jahat!” Gadis itu berhambur memeluk papinya. “Bisa-bisanya dia nolak dijodohin sama Lia? Emang apa kurangnya Lia sih, Pi?”
“Nggak ada, Sayang.” Hardi mengusap rambut panjang putrinya lembut. “Jangan berpikir kamu kurang karena Arka nggak mau dijodohin sama kamu. Kamu nggak kurang, Lia. Arka saja yang b*doh menolak perempuan seperti kamu.”
“Huhuhu, Papiiii.” Lia semakin menyurukkan kepalanya ke d**a sang ayah. “Kemarin juga Lia sampai diusir waktu main ke kantor Kak Arka.”
“Apa?!” Sontak Hardi melonggarkan pelukan. Alisnya kembali bertaut. “Dia berani ngusir kamu, Lia?!”
Lia mengangguk-angguk, bibirnya manyun.
“Berani-beraninya!” Emosi yang tadi sempat teredam karena kedatangan putrinya kembali memuncak. Tapi tetap ia tahan karena ia tak bisa memasang wajah marah di depan putri kesayangannya.
“Papi,” panggil Lia pelan. Menyadari raut wajah papinya berubah.
Hardi menghela nafas panjang. Berusaha terlihat tenang. “Kenapa, Sayang?”
“Papi tahu nggak kenapa Kak Arka menolak perjodohan itu?” Lia bertanya hati-hati.
Hardi tampak berpikir sejenak. “Nggak tahu. Memangnya kamu tahu?”
“Lia juga nggak tahu, tapi tadi temen Lia ada yang lihat Kak Arka sama perempuan.” Lia mengeluarkan ponselnya. Membuka aplikasi pesan, mengetuk sebuah kiriman foto dari temannya. “Tuh lihat deh, Pi. Ini jelas Kak Arka, Lia hafal banget apalagi sama mobil merahnya ini. Nah, yang perempuan ini … Lia ragu dia siapa.”
Lia menunjukkan foto yang tampak diambil dari jarak yang cukup jauh. Di sana jelas terlihat Arka sedang mengobrol dengan seorang wanita sambil memunggungi mobil Chevrolet Corvette berwarna merah miliknya. Kejadian di depan salon tadi.
Hardi memicing sembari mengingat-ingat siapa saja kolega bisnis Yaksa yang mungkin punya anak perempuan seusia Arka.
“Coba Lia zoom, ya?” Lia menggerakkan jemarinya, memperbesar gambar di foto itu. “Papi kenal nggak?”
Hardi menggeleng. “Kamu juga enggak?”
Lia menggembungkan pipinya sejenak. “Ada yang Lia curigai sih.”
“Siapa?” sambar Hardi cepat, penasaran.
“Sekretaris Kak Arka. Mirip banget deh, Pi. Apalagi dia memang suka banget ngintilin Kak Arka ke mana-mana. Bener-bener kayak nggak ada kerjaan banget, Kak Arka ke sini diikutin, ke sana diikutin. Sampai pernah… ih, Papi dengerin Lia nggak, sih?”
“Eh, maaf, Sayang. Papi terlalu fokus lihat foto ini.” Hardi mengusap wajah sejenak. “Temen kamu tahu nggak mereka ke mana setelahnya?” tanyanya kemudian.
“Nggak tahu. Tapi mereka masuk bareng ke mobil Kak Arka. Baju mereka juga kayak mau pergi fancy dinner deh, Pi. Huhuhu, Papiiiii, masa Kak Arka nolak Lia karena suka sama sekretarisnya sendiri? Masa Lia kalah sama cewek genit begitu?!” Lia kembali merengek, memeluk tubuh tambun papinya.
Hardi hanya mampu mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Amarah telah mendidihkan darahnya, tapi ia tetap menahan diri dan membalas pelukan putrinya sambil menenangkan rengekan anak bungsunya. Namun, begitu Lia keluar dari ruang kerjanya, wajah Hardi kembali mengeras. Ia meraih ponselnya cepat, menelepon seseorang. Lalu, ketika suara bariton seorang pria menyambut panggilannya, ia segera memberi perintah dalam kalimat yang sangat dingin.
“Cari tahu siapa saja perempuan yang dekat dengan Arkana Maheswara, terutama selidiki tentang sekretarisnya. Secepatnya!”
***
“Jadi, tawaran saya diterima nih?”
Arka tersenyum, bersandar ke badan mobil. “Masih kurang jelas?” Sebelah alisnya terangkat.
“Kalau gitu, sekarang kita pacaran?”
Arka hampir tertawa, tapi urung demi melihat wajah serius Arista. “Bisa dibilang begitu?”
“Kalau begitu, gimana kalau kita mulai dengan mengubah nama panggilan?” usul Arista.
Lagi-lagi, Arka benar-benar tak bisa menebak respons sekretarisnya itu. Sisi frontal Arista ini membuatnya terkejut sekaligus tertarik.
“Hm, boleh. Kamu mau saya panggil apa?”
“Saya suka dipanggil ‘sayang’ seperti tadi,” ucap Arista sambil tersenyum tipis, pipi pualamnya bersemu merah. “Tapi jangan lakukan itu kalau masih di jam kerja.”
Arka maju selangkah, sikap wanita di hadapannya ini benar-benar menggelitik sesuatu di dalam dirinya. Berani tapi juga malu-malu. Rasanya ia ingin menerkam Arista saat ini juga. Sayangnya, mereka sedang di tepi jalan. Tadi Arka ikut turun dari mobil ketika mengantar wanita yang kini menjadi kekasihnya kembali ke apartemen.
“Baru kali ini ada orang yang berani memerintah saya, Ta.” Suara rendah Arka terdengar mengintimidasi, tapi juga s*ksi.
Arista tak menunduk, ia justru membalas tatapan tajam bosnya. “Kalau Pak Arka mau dipanggil apa?”
“Hm, saya nggak pernah berpikir itu perlu. Jadi, suka-suka kamu saja.”
“Oke, sweetheart!”
Arka terbelalak, lantas tergelak. Ia tak pernah tahu bahwa ia suka dipanggil selain menggunakan namanya.
“Oke, itu saja,” ucapnya setelah tawanya reda.
Arista tersenyum manis. “Kalau gitu, saya pamit naik. Oh iya, gaunnya gimana?”
“Buat kamu aja. Hadiah hari jadian kita,” jawab Arka sambil balas tersenyum.
“Oke, Pak. Terima kasih banyak. Akan saya simpan baik-baik.” Arista mengangguk sopan, lalu sekali lagi berpamitan. Namun, baru saja ia berbalik, Arka sudah menahan pergelangan tangannya. “Ada apa, Pak?”
“Soal yang mama bilang tadi ….” Kalimat Arka menggantung.
Arista mengernyit bingung. “Yang mana?”
Pria bertubuh jangkung itu maju mengikis jarak. “Om Hardiyanto, papinya Lia pasti nggak terima saya menolak dijodohkan dengan putrinya. Apalagi sekarang saya bawa kamu masuk ke masalah ini. Cepat atau lambat, om Hardi pasti bakal tahu alasan saya menolak perjodohan. Sebelum kamu terlibat lebih jauh, kamu siap menghadapi apapun masalah yang bakal timbul nantinya?” tanyanya serius.
Arista menelan ludah sesaat. Ia memang impulsif saja menawarkan diri menjadi tunangan Arka, demi kelancaran misinya. Ia lupa bahwa lawan mereka saat ini adalah salah satu keluarga yang memiliki kekuasaan hampir setara keluarga Maheswara.
“Apa yang dibilang eyang Ni dan mama benar, om Hardi nggak bakal tinggal diam. Siapa pun bisa menjadi target kemarahan Om Hardi. Mungkin kita... atau justru bisnis keluarga saya. Jadi sekali lagi saya tanya, Ta. Kamu masih mau melanjutkan semua sandiwara ini?” Arka menatap lurus ke manik mata Arista.
Wanita bermata bulat itu balas menatap. Entah karena tekadnya sudah bulat atau karena ia baru saja terlarut dalam euforia menjadi kekasih Arka, wanita itu mengangguk mantap. “Saya nggak akan berhenti hanya karena itu, Pak.”
Arka tercengang, namun seketika tersenyum. Tanpa sadar mengusap puncak kepala Arista. “Ya sudah kalau begitu. Buat saya jatuh cinta, Ta. Siapa tahu kita benar-benar bisa menjadi pasangan.”
Kini giliran Arista yang tercengang. Tapi buru-buru ia menguasai diri, sekali lagi berpamitan. Ia tak ingin hatinya goyah hanya karena kalimat asal yang diucapkan pria itu.
Arka masih berdiri menatap kepergian kekasihnya hingga hilang di balik pintu lobi apartemen. Bibir tipisnya melengkungkan senyum, lantas ia menggeleng-gelengkan kepala. Arka tak pernah mengira akan menjalin hubungan dengan bawahannya sendiri.
Mobil berwarna merah menyala milik Arka meluncur di jalanan ibukota yang semakin malam justru semakin ramai. Jam di pergelangan tangan pengemudinya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia juga sudah lelah dan ingin segera tidur. Sepertinya malam ini ia akan bermalam di apartemennya saja karena jarak tempuhnya lebih dekat.
Sepuluh menit membelah jalanan ibukota, ponsel Arka berdering. Menampilkan nama Arista di sana. Pria itu menyeringai. “Masa udah kangen?”
Namun, bukannya kalimat manis, telinga Arka justru disambut suara bergetar ketakutan milik kekasihnya. “Tolong saya, Pak!”
Rahang Arka mengeras, tangannya memegang kemudi erat dan segera memutar haluan mobilnya.
“Ada apa, Ta? Saya ke sana sekarang.”
Kalimat-kalimat yang diucapkan eyang Ni dan mamanya segera melintas. Bertalu-talu di kepala Arka, seperti lonceng peringatan adanya bahaya.
“Tolong, Pak. Cepat!” Arista sudah menangis di ujung telepon. Disusul suara berdebam keras. Membuat Arka mengemudi seperti kesetanan.