Bab 9. Siapa Musuhmu?

1260 Kata
Tidak, semalam tidak terjadi apa-apa. Mereka melanjutkan makan cemilan dan mengobrol seputar pekerjaan. Terutama soal rencana pembangunan hotel baru di kawasan wisata yang menjadi tujuan besar Arka tahun ini. Selanjutnya mereka tidur di kamar masing-masing. Dan berangkat ke kantor bersama pagi ini. “Wah, wah, apa yang terjadi nih?” Emir mengekor di belakang Arka yang baru saja tiba. Arka tak menggubris. Ia melepas jasnya dan menyampirkannya di sandaran kursi. Menggulung lengan kemejanya hingga siku, lantas duduk dan mulai memeriksa berkas. Puluhan tahun berteman dengan Arka, Emir sudah terbiasa dengan sikap tak acuh pria itu. “Berangkat bareng, semobil dan lo sendiri yang nyetir? Ck ck ck, ini udah di luar kebiasaan lo sih.” Emir sedang bermonolog. Pasalnya, puluhan tahun berteman dengan Arka, Emir hampir tak pernah melihat sahabatnya itu mengantar jemput teman perempuan. Satu-satunya teman perempuan yang pernah mengisi kursi penumpang di sebelah kursi pengemudi di mobil Arka adalah senior kampus mereka dahulu. Perempuan yang kini entah berada di mana. Arka masih tak menggubris. Ia sibuk menandatangani berkas yang sudah disusun sedemikian rupa oleh sekretarisnya. “Jadi…” Emir mendekatkan wajahnya ke wajah Arka. “Arista udah berhasil menggantikan posisi kakak senior kesayangan lo?” “Ck!” Arka berdecak, meletakkan pulpennya kasar. “Lo ngapain ke sini sih?” “Lo kenapa deh selalu sensi kalau ngebahas dia?” “Cepetan, Emir!” Emir berdehem sejenak. Ia sadar sudah mengusik sahabatnya. “Nanti malam diajakin meeting sama Arion. Kemarin gue bilang kalau gue baru ikut konferensi. Mungkin kita bisa diskusi lebih lanjut soal pembangunan hotel itu, Ka,” ucap Emir serius. “Di mana? Gue juga udah dapat izin papa buat lanjutin proyek itu.” “Bebas. Lo mau di mana?” Arka mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan telunjuknya, berpikir. “Gue tanya Arista bentar, malem ada jadwal atau enggak.” Tepat ketika Arka meraih ponselnya hendak menelepon sekretarisnya, sebuah telepon masuk lebih dulu. Ia berbicara di telepon sejenak, wajahnya berubah mengeras. Lalu, telepon singkat itu bersambung dengan telepon singkat lain yang memanggil Arista untuk segera ke ruangannya. “Iya, Pak? Ada apa?” Tak butuh waktu lama, Arista sudah berdiri di depan Arka. “Nanti malam saya ada jadwal?” “Nggak ada, Pak. Jadwal terakhir Anda jam 6 sore.” “Oke.” Arka beralih menatap Emir. “Udah denger ‘kan? Iyain aja. Tempatnya lo sendiri yang cari sekalian dinner. Nah, sekarang lo keluar. Gue mau ngobrol berdua sama sekretaris gue.” “Wah, gue diusir? Tega banget lo, Ka!” Emir pura-pura memasang wajah sedih. “Nggak usah lebay. Dah, sana pergi!” “Oke, deh! Gue bilang Arion, ya? Detailnya ketemu di mana dan jam berapa nanti gue imess aja.” “Ya ya ya, terserah lo.” Arka melambaikan tangan di depan wajah, menyuruh Emir segera pergi. Setelah pintu ruang kerjanya berdebam ditutup oleh Emir, Arka segera berpaling menatap Arista. “Kamu punya musuh, Ta?” “Hah?! Tiba-tiba banget, Pak?” tanya Arista bingung. Arka mendesah pelan. “Polisi nggak bisa ngorek apapun dari pelaku. Dia bahkan bilang siap mati dan tetep nggak bakal mau bicara.” Mulut Arista terkunci. Ini situasi buruk baginya. “Karena itu saya tanya, kamu punya musuh, Ta? Polisi yakin pelaku nggak sembarangan menetapkan target. Dia memang mengincarmu.” Arista masih diam. Ia menggali memori, mencari kemungkinan orang yang menaruh dendam padanya. Atau mungkin pada mendiang ayah dan ibunya. Wanita bermata bulat itu melirik Arka yang juga tengah berpikir. “Ada, Ta?” tanya Arka tiba-tiba. “Sepertinya nggak ada, Pak. Saya jarang sekali berinteraksi dengan orang lain selain urusan pekerjaan. Ah, saya cuma satu teman dekat. Dia tinggal di gedung yang sama dengan saya.” “Ke mana dia semalam?” Arka memajukan tubuhnya, menopang dagu dengan kedua tangan. “Neneknya sakit, dia nginap di rumah sakit.” Arka mengangguk-angguk. “Kalau begitu, sementara kamu tinggal di apartemen saya saja. Saya bisa bayar orang untuk memperketat keamanan di sana.” “Baik, Pak. Terima kasih.” “Oh iya, nanti malam kamu nggak perlu ikut meeting dengan Pak Arion.” “Baik, Pak. Saya juga mau jenguk nenek teman saya sepulang kerja.” “Oke. Kalau gitu, sampai ketemu di apart,” Arka tersenyum, tatapannya berubah hangat. Arista mengangguk, balas tersenyum kemudian berbalik dan meninggalkan ruang kerja Arka. “Musuh?” gumam Arista sambil menutup pintu. “Satu-satunya musuh gue tuh elo dan keluarga lo, Arka.” *** “Nggak apa-apa, La. Gue aman sekarang,” ucap Arista meyakinkan. Nola menatap sahabatnya sendu. “Maafin gue, ya? Gue malah nggak ada di saat lo butuh. Untung aja bos lo itu belum jauh.” “Nggak apa-apa. Nenek lo ‘kan sakit, lo harus ada di samping beliau terus.” Nola menghela nafas pendek. “Iya. Lo tahu sendiri ‘kan keluarga gue sekarang tinggal nenek gue doang? Ah, iya. Nasib kita sama. Lo malah udah nggak punya siapa-siapa.” “Jangan sedih-sedih gini, ah! Gue nggak suka,” protes Arista, sambil sedikit manyun. “By the way, lo beneran nggak mau tinggal di apart gue aja sementara? ‘Kan enak lebih deket, Ris. Lo bisa ngawasin apart lo juga dari sana.” Arista menggaruk pipinya, meringis. “Gue justru takut kalau tetep di sana. Takutnya orang yang ngincer gue punya komplotan terus datang lagi.” “Ah, iya!” Nola menepuk jidatnya pelan. “Gue nggak mikir sampe ke sana.” Arista tersenyum. Menghabiskan jus jeruknya hingga tandas. “Ya udah, gue pamit, ya? Titip salam buat nenek lo.” Arista merapikan barang-barangnya. “Iya. Maafin juga lo jadi nggak bisa ketemu nenek. Baru tidur, kasihan kalau ditemuin.” “Apaan, sih, lo maaf-maaf mulu. Nggak lagi lebaran ini,” seloroh Arista sambil beranjak dari duduknya. Nola terkekeh, ikut berdiri. “Habis ini langsung pulang?” Sepasang sahabat itu berjalan beriringan keluar kantin rumah sakit. “Enggak. Gue masih ada urusan sebentar.” Nola mengangguk. “Lo hati-hati, ya? Jangan pulang terlalu malem.” Arista tersenyum, mengangguk mantap. Lantas keduanya berpisah di depan kantin. Nola kembali ke ruangan neneknya di rawat, sementara Arista berjalan menuju gerbang depan rumah sakit. Taksi online yang ia pesan sudah menunggu. *** Berbeda dengan pertemuan terbuka yang dilakukan Arista dan Nola, urusan Arista selanjutnya ini bersifat rahasia. Bertempat di ruang VIP sebuah restoran Indonesia bergaya tradisional. Dengan hidangan nusantara yang melimpah di atas meja. Memisahkan Arista dengan seorang pria separuh abad yang tampak menikmati hidangan. “Kamu berpacaran dengan Arka?” tanyanya dingin. “Om sudah dengar?” Arista balik bertanya. “Jadi itu benar?” gerakan tangan pria itu terhenti. Beralih menatap Arista tajam. “Tenang saja, Om. Saya nggak lupa dengan perjanjian kita,” ucap Arista santai, sambil menikmati opor ayam yang dihidangkan sedemikian rupa hingga tak terlihat seperti opor ayam biasanya. “Kenapa kamu ambil keputusan sendiri tanpa pertimbangan Om?” Arista ikut meletakkan alat makannya. Menatap pria di hadapannya. “Coba Om pikir, mana yang lebih mudah, merampas dari luar dengan paksa atau merebut dari dalam dengan bergerak seperti belut? Licin, gesit, tapi mematikan.” Pria itu terdiam, masih memperhatikan gerak-gerik Arista. “Ayolah, Om! Ada banyak jalan menuju Roma, loh!” “Kamu mencintai Arka?” tanyanya tiba-tiba. “Hm? Mungkin?” “Iya. Kamu jatuh cinta, Arista! Kamu sudah termakan kelicikannya!” sembur pria itu geram. Bukannya takut, Arista justru tertawa pelan. “Ya… gimana, Om? Dia ganteng, tinggi, badannya bagus, kaya, susah buat nggak jatuh cinta, Om.” Pria di hadapan Arista mendengus kasar. Kembali ke makanannya. “Pastikan perasaanmu tidak menghambat rencana kita, Arista!” “Baik, Om,” sahut Arista santai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN