Kembali ke Rumah Ludwig

1053 Kata
Luna terkekeh kecil. “Betah sih … tapi jangan sering-sering, nanti aku jadi malas ke kampus.” Axel menjentikkan jarinya. “Sip.” Obrolan ringan itu sedikit banyak membuat Luna lebih tenang. Mereka mulai membuka laptop, menyalin catatan, membahas kerangka bab yang harus disusun. Sesekali Axel melontarkan komentar konyol yang membuat Luna tertawa. Namun setiap kali tawanya mereda, bayangan itu kembali muncul. Seolah tatapan Hayes masih menempel di kulitnya. Seolah kapan saja, pria itu bisa muncul dari balik pintu dengan aura dinginnya. Luna menunduk, berusaha fokus pada layar laptop. Tapi tangannya sedikit gemetar saat mengetik. Siang menjelang. Axel berdiri, merentangkan tubuh. “Break dulu ah. Aku lapar. Kamu mau aku bawain makanan?” “Boleh. Apa aja deh,” jawab Luna, matanya masih menatap layar. Axel melangkah keluar. “Tunggu sini, aku ke dapur dulu.” Begitu pintu menutup, ruang belajar itu jadi hening. Terlalu hening. Dan dalam keheningan itu, Luna mendengar suara langkah berat dari arah lorong. Deg. Matanya terangkat, menatap pintu yang setengah terbuka. Bayangan seseorang melintas di sana. Tinggi, tegap, gerakannya berwibawa. Luna menelan ludah. Jangan bilang … Luna menahan napasnya sejenak. Jantungnya berdetak tak karuan ketika bayangan itu hilang begitu saja dari celah pintu. Ia hanya sempat melihat sekilas: siluet tegap, bahu lebar, gerakan yang tegas tapi tidak tergesa. Dan meski tak ada satu pun kata terucap, tubuhnya bereaksi seperti sudah tahu persis siapa orang itu. Aroma samar memenuhi udara—maskulin, dalam, dengan lapisan kayu dan rempah yang khas. Parfum mahal, bukan sembarang wewangian. Aroma itu begitu familiar, karena baru kemarin menusuk indra penciumannya untuk pertama kali. Hayes Ludwig. Luna menggenggam pulpen lebih erat, seakan benda kecil itu bisa menjadi jangkar. “Tidak … mungkin cuma kebetulan,” bisiknya, tapi suaranya terdengar begitu lemah di telinganya sendiri. Matanya kembali menatap pintu yang bergoyang perlahan karena angin dari ventilasi. Kosong. Tak ada siapa pun. Tapi bulu kuduknya berdiri, tubuhnya menegang. Ia tahu betul, itu bukan imajinasi. Langkah itu nyata. Aroma itu nyata. Kehadiran itu nyata. Detik-detik berlalu dengan lambat. Luna nyaris tak berani bergerak, khawatir jika ia menoleh lagi, ia akan benar-benar menangkap sosok yang tak semestinya ia lihat terlalu dekat. Jantungnya bergemuruh di d**a, memukul-mukul seperti genderang perang. Namun tiba-tiba— “Lunaaa!” Suara riang Axel membuyarkan semua ketegangan. Pintu terbuka lebar, cahaya dari lorong masuk deras, dan aroma makanan segar segera memenuhi udara, menggantikan wangi maskulin yang barusan menghantui. Luna tersentak kecil, hampir menjatuhkan pulpen. Axel masuk dengan senyum lebar, diikuti dua pelayan yang masing-masing membawa nampan besar. “Tadaaa! Servis kelas satu. Kita skripsian kayak raja sama ratu sekarang.” Pelayan pertama menaruh gelas-gelas berisi jus segar, kopi, dan teh di meja panjang. Pelayan kedua menata piring-piring kecil berisi sandwich, pastel goreng hangat, potongan buah, bahkan sepotong kue cokelat yang masih beraroma manis. “Silakan, Tuan Muda,” ucap salah satu pelayan sambil sedikit menunduk. Axel tertawa kecil. “Makasih ya, nanti kalau kurang kita panggil lagi.” Keduanya mundur dengan sopan, meninggalkan ruangan yang kini terasa lebih hidup. “Gila, Xel ….” Luna berusaha tersenyum, meski wajahnya masih sedikit pucat. “Kita beneran skripsian atau pesta ulang tahun nih?” “Ya ampun, kamu pikir aku tega nyiksa kamu kelaperan di rumah ku? Nggak lah,” jawab Axel sambil duduk lagi. Ia meraih sandwich, menggigitnya puas. “Lagipula kalau begini kan betah. Bisa kerja sampai malam.” Luna mengangguk pelan, pura-pura sibuk merapikan buku di depannya. Padahal pikirannya masih berputar pada aroma yang baru saja menguasai ruangan. Aroma yang hilang tepat ketika Axel masuk bersama para pelayan. Sangat kebetulan. Terlalu kebetulan. Tangannya bergetar tipis saat ia meraih segelas jus. Ia meneguknya cepat, berharap rasa asam manis itu bisa menetralkan kegelisahan dalam dadanya. Tapi sia-sia. Wangi itu masih tersisa samar di hidungnya, menempel di indera seolah enggan pergi. Axel tak menyadari apa pun. Ia sibuk mengomentari isi buku referensi. “Lihat nih, teori Porter ini ribet banget. Kayak dosen kita nggak cukup ngasih penderitaan. Kadang aku curiga penulis buku manajemen tuh sengaja biar kita tersiksa.” Luna terkekeh kecil, meski suara tawanya rapuh. “Mungkin biar mahasiswa belajar sabar.” “Sabar? Aku bisa tua duluan kalau sabar terus.” Axel mengacak rambutnya sendiri, lalu menoleh ke Luna. “Eh, kamu baik-baik aja kan? Dari tadi diem banget.” Luna terperanjat kecil. “Aku? Iya … baik.” “Beneran?” Axel mengernyit, matanya penuh selidik. “Muka kamu kayak tegang gitu. Jangan bilang gara-gara skripsi. Baru juga buka bab dua.” Luna buru-buru menggeleng. “Enggak, serius. Aku cuma … kepikiran bagian metode aja. Belum nemu alurnya.” Axel langsung mengangguk, menerima alasan itu mentah-mentah. “Oh iya, itu emang nyebelin. Tapi tenang, nanti kita bisa tanya asistennya dosen. Jangan stress duluan.” “Hmm.” Luna tersenyum tipis. Ia kembali menunduk pada laptopnya, mengetik beberapa kata sekadar mengalihkan perhatian. Sementara itu, dalam kepalanya, pertanyaan berputar tanpa henti: apakah benar Hayes yang barusan lewat? Kalau iya, kenapa ia tak masuk? Kenapa hanya meninggalkan aroma yang menusuk lalu pergi begitu saja? Atau … apakah itu justru cara pria itu menunjukkan keberadaannya tanpa harus bicara? Pikirannya semakin kusut. *** Waktu berlalu. Cemilan habis, jus tinggal setengah, tumpukan kertas di meja semakin tebal dengan coretan dan catatan. Axel terlihat semakin santai, meski sesekali mengeluh. “Kalau aku bisa bayar orang buat nulis skripsi, aku udah lakuin dari dulu,” katanya sambil melipat kertas. “Eh, jangan gitu. Dosen pasti tau kalau bukan kamu yang nulis,” sahut Luna, mencoba bercanda. Axel mendengus. “Ya, tau sih. Tapi tetep aja nyiksa.” Ia merebahkan tubuhnya ke sandaran kursi, menghela napas panjang. Lampu gantung di atas kepala menyinari wajahnya yang sedikit lelah. “Tapi enak ya kalau ngerjain bareng gini. Aku nggak berasa sendirian.” Luna mengangguk, menahan senyum. “Iya, sama.” Namun, sekali lagi, matanya melirik ke arah pintu yang sudah ditutup Axel sejak tadi. Masih terbayang jelas bayangan itu. Masih terasa wangi itu. Dan hatinya berbisik pelan, hampir seperti pengakuan: seharusnya ia hanya memikirkan skripsi, atau paling jauh memikirkan Axel. Tapi semakin ia berusaha menepis, semakin kuat pula bayangan Hayes menempel di kepalanya. Tatapan pria itu kemarin. Parfum yang menempel hari ini. Semua terasa terlalu dekat. Terlalu nyata. Sementara di sampingnya, Axel masih sibuk berceloteh, tidak sadar bahwa gadis yang duduk bersamanya tengah menyimpan rahasia kecil yang mulai tumbuh menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN