Sahabat Kuliah.
Kamar itu gelap, hanya diterangi cahaya lampu meja yang temaram. Aroma parfum pria itu masih tersisa di udara, bercampur dengan kehangatan kulit Luna yang baru saja disentuh.
Hayes menundukkan wajahnya, bibirnya menempel di leher Luna, merasakan detak jantungnya yang cepat. Tangan besarnya menjelajahi punggungnya, menariknya lebih dekat. Luna menutup mata, desahan pelan melepaskan diri dari bibirnya saat tubuhnya menempel di Hayes.
“Ha-Hayes .…” Luna tergagap, tangannya mencengkeram lengan pria itu, tubuhnya bergetar.
Hayes membalas desahannya, suaranya serak, penuh gairah. “Luna … aku … aku tidak bisa berhenti … kamu membuatku kehilangan akal.”
Desahnya semakin liar, tidak terkendali. Ada rasa bersalah, tapi hasrat menguasai setiap pikiran dan gerakannya.
“Ahhh … ya … seperti itu ….” Luna merintih, menekankan lagi tubuhnya ke Hayes.
Hayes membalas dengan lebih intens, tangan dan bibirnya tidak berhenti menjelajahi setiap lekuk tubuh Luna. Napas mereka bercampur, ruangan terasa panas, jantung mereka berdetak cepat, dan dunia di luar seolah menghilang.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan kasar.
“Papa?! Luna?!”
Keduanya tersentak, terengah, dan tubuh Luna otomatis menutupi dirinya dengan selimut. Hayes melompat menjauh, menutupi Luna dengan tubuhnya sendiri.
===
Kopi hitam di gelas kertas itu sudah lama dingin, tapi Luna Miles Sterling masih menatap layar laptop dengan dahi berkerut. Matanya terasa pedih karena sejak pagi ia menuliskan bab tinjauan pustaka skripsinya, tapi belum ada tanda-tanda kalimat itu akan segera selesai. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, sementara bibirnya bergumam lirih.
“Kalimatnya kepanjangan lagi …,” keluh Luna, mencoret-coret kertas coretan dengan pulpen biru.
Axel Ludwig, sahabatnya sejak tahun pertama kuliah, mendengus pelan. Pemuda berambut cokelat gelap itu merebahkan tubuhnya di kursi perpustakaan kampus, menutup buku tebal yang tadi dibacanya. “Na, kamu tahu nggak? Sejak tadi kamu ngomel sama laptop.”
Luna mendongak, menatap Axel dengan kesal. “Salah siapa kamu ngetik cuma dua paragraf doang, sisanya aku yang beresin?”
Axel terkekeh, ekspresinya penuh kemenangan. “Karena kamu lebih pinter, Na. Kalau aku yang nulis, dosen pasti mikir ini makalah anak SMA. Lagian … kamu nggak kasihan sama sahabat tampan kamu ini?”
“Kasihan sama ego kamu, iya.” Luna menutup laptopnya, menghela napas panjang. Rambut hitamnya jatuh ke bahu, sebagian menutupi wajah lelahnya. Meski ekspresinya jengkel, Axel tahu betul Luna tidak pernah benar-benar marah. Dari dulu, gadis itu selalu bisa menoleransi kelakuannya.
Mereka sudah seperti kakak-adik. Axel yang usil, cerewet, kadang seenaknya, sementara Luna yang tegas tapi lembut, selalu bisa mengimbangi.
Axel meraih botol minum dari tasnya, menyerahkannya pada Luna. “Minum dulu. Kamu kelihatan kayak orang habis begadang tiga hari.”
“Terima kasih, tapi ini kebanyakan gula. Aku nggak mau gendut gara-gara kamu,” gumam Luna, tapi tetap meneguk isinya.
Axel terkekeh lagi, menyandarkan kepala ke kursi. “Kalau gendut pun, paling yang peduli cuma cowok-cowok yang naksir kamu. Aku? Aku tetap sahabat setia kamu.”
Luna melirik sekilas, senyum tipis terbit di bibirnya. “Sahabat setia, ya? Sahabat yang nyuruh aku kerjain setengah skripsi, maksudnya.”
Perpustakaan sore itu tidak terlalu ramai. Cahaya matahari masuk lewat jendela besar, menciptakan bayangan lembut di meja tempat mereka duduk. Suara kipas angin berputar pelan mengisi keheningan, hanya sesekali terdengar bunyi gesekan kursi dari mahasiswa lain.
Axel tiba-tiba menegakkan badan, matanya berbinar. “Eh, ngomong-ngomong soal referensi, aku baru ingat. Ada buku bagus di rumah yang bisa bantuin kita. Koleksi lama, edisi terbatas, punya Papa.”
Luna mengernyit. “Papa kamu? Maksudnya, buku teknik?”
“Ya, otomotif, manajemen, sama riset pasar gitu. Papa kan dulu juga kuliah di bidang managemen, teknik mesin sebelum ngurusin perusahaan keluarga. Kamu tahu kan, beliau gila koleksi buku? Banyak banget yang nggak ada di perpustakaan kampus.”
Luna menimbang-nimbang. Ia memang butuh referensi tambahan untuk menguatkan dasar teorinya. “Kamu yakin bukunya relevan sama topik kita?”
Axel mengangguk mantap. “Yakin banget. Lagian sekalian refreshing. Nggak bosan, kamu, tiap hari ketemu aku di kampus?”
Luna terkekeh, menutup laptopnya. “Oke, nanti sore aku ikut kamu. Tapi jangan sampai kamu cuma mau pamer rumah mewah, ya.”
Axel menepuk d**a, wajahnya dibuat serius. “Aku nggak pernah pamer, Na. Aku cuma mau kamu tahu, sahabat kamu ini orang kaya.”
Keduanya tertawa kecil.
---
Sore itu, langit berubah keemasan saat mereka keluar dari kampus. Luna berjalan di samping Axel menuju parkiran, membawa tote bag berisi laptop dan catatan.
“Jangan bilang kamu bawa mobil sport lagi,” gumam Luna sambil menunjuk Porsche hitam mengilap yang terparkir di dekat gerbang.
Axel tersenyum bangga. “Kenapa? Kamu malu nebeng aku?”
“Bukan malu, takut aja. Kalau dosen lihat, bisa-bisa nilai kita langsung diturunin.” Luna menaiki mobil itu, duduk di kursi penumpang dengan hati-hati. Aroma kulit asli dari interiornya membuatnya merasa sedikit canggung. Dunia Axel memang berbeda darinya.
Perjalanan menuju rumah keluarga Ludwig cukup singkat, tapi terasa panjang karena Axel sibuk bercerita tentang rencana bisnis kecil-kecilan yang ingin ia jalani setelah lulus. Luna mendengarkan dengan seksama, sesekali memberikan masukan.
Hingga akhirnya, mobil itu melewati gerbang besi tinggi yang terbuka otomatis. Rumah besar bergaya modern berdiri megah di tengah halaman luas, dengan lampu taman yang sudah menyala meski matahari belum sepenuhnya tenggelam.
“Selamat datang di rumahku,” ucap Axel bangga.
Luna menelan ludah. “Aku kira cuma di film doang rumah kayak gini.”
“Tenang, aku nggak bakal minta kamu bersihin halaman.” Axel tertawa kecil, memarkirkan mobilnya di depan pintu utama.
Mereka turun, dan langkah Luna terasa berat saat menjejak lantai marmer dingin. Ada aura asing sekaligus menekan di rumah itu. Mungkin karena terlalu mewah, mungkin karena ia tidak terbiasa.
Seorang pelayan menyambut mereka, menawarkan minuman. Axel langsung menolak, menarik Luna menuju ruang baca.
“Tunggu sebentar, aku ambil bukunya,” katanya sambil berlari kecil menaiki tangga.
Luna ditinggalkan sendirian di ruang tamu. Ia duduk ragu di sofa kulit berwarna krem, matanya berkeliling mengamati lukisan-lukisan besar yang menghiasi dinding.
Dan di situlah … pintu ruang kerja terbuka.
Pintu kayu besar di sisi ruang tamu bergeser, menyingkap pemandangan yang seketika membuat Luna membeku.
Seorang pria keluar dari dalam, tinggi tegap dengan setelan kasual berupa kemeja putih digulung sampai siku, celana bahan gelap, dan sepatu kulit yang tampak mengilap. Meski tanpa jas formal, wibawa itu terpancar begitu alami. Rambut hitam pekatnya tersisir rapi ke belakang, rahangnya tegas, garis wajahnya matang dan kokoh. Tatapannya tajam—bisa menusuk—namun ada keteduhan samar di sana.
Luna menahan napas. Ia tahu pria ini. Ia sering melihatnya di televisi, di artikel berita, bahkan pernah membaca profil panjang tentangnya di majalah bisnis.
Hayes Ludwig.
Ayahnya Axel. CEO sekaligus pemilik salah satu perusahaan otomotif terbesar di negeri ini.
Kenyataannya berdiri begitu dekat dengannya membuat Luna tercekat. Foto di media tidak pernah benar-benar mampu menangkap auranya. Pria ini … nyata, dengan kharisma yang lebih kuat daripada sekadar gambar.
Mata mereka bertemu sesaat. Hanya sesaat, tapi cukup untuk menyalakan percikan aneh dalam d**a Luna. Ia cepat-cepat menunduk, takut menatap lebih lama.
Hayes berhenti di ambang pintu. Suaranya dalam, berat, dan berwibawa. “Kamu … sahabat Axel?”
Luna menelan ludah, lalu mengangguk cepat sambil berusaha tersenyum sopan. “Iya, Tuan Ludwig. Saya Luna.”
Senyum tipis muncul di bibir Hayes. Senyum yang sekilas hangat, tapi di balik matanya seakan tersimpan sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia melangkah maju, mengulurkan tangan.
“Senang bertemu denganmu, Luna.”
Luna berdiri terburu-buru, nyaris menjatuhkan tasnya. Ia meraih tangan Hayes—hangat, besar, dan mantap. Genggaman itu tidak lama, tapi cukup membuat telapak tangannya sedikit berkeringat.